Muhammad Rangga Padika adalah mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia jurusan Sastra Inggris yang sedang magang di Kineruku. Selama tiga bulan, dia membantu Kineruku merapikan buku-buku di rak, membaca dan mengulas buku koleksi perpustakaan, membantu Andika Budiman menulis konten untuk medsos Kineruku, hingga mencatat data barang di toko daring. Rangga bercita-cita menjadi penulis yang karyanya dipublikasikan di media cetak.
Rangga mengaku senang karena selama dia magang ada tiga penulis yang diundang ke Kineruku untuk membicarakan karyanya. Dia bertugas membuat catatan tentang acara yang diadakan di Kineruku. Biasanya tugas itu dikerjakannya sendirian, tapi karena Andika dan Rangga sama-sama sangat menyukai kumpulan cerpen Manifesto Flora karya Cyntha Hariadi (terbitan Gramedia Pustaka Utama, 2017) kali ini mereka mencoba mengerjakannya berdua. Meskipun biasanya kalem, kalau sudah bersemangat dan menyenangi sesuatu, Rangga akan menunjukkannya.
Berikut ini percakapan mereka, setelah menyimak bincang buku Manifesto Flora di Kineruku pada 7 April 2018 lalu.
* * *
Andika: Rangga, gimana sih kamu bisa sampai baca Manifesto Flora?
Rangga: Aku baca Manifesto Flora untuk persiapan acara di Kineruku waktu itu. Mau tidak mau aku harus baca bukunya, bukan?
Andika: Hahaha! Ngomong-ngomong, kamu tahu nggak gimana sebuah buku bisa dibuatkan bincang bukunya di Kineruku?
Rangga: Nggak sih, Kak. Aku cuma menduga-duga saja, selama ini kulihat Kineruku punya relasi ke penerbit dan penulis. Mungkin acara diselenggarakan bermula dari relasi itu ya?
Andika: Bisa dibilang begitu, tapi nggak semua relasi dibuatkan acaranya. Semua ditentukan dari selera bacaan para pengelola Kineruku. Aku ingat ketika bincang buku Manifesto Flora, moderatornya, Mbak Rani, mengaku bahwa pengalamannya membaca buku itu menyenangkan karena dia bisa dengan seru membicarakannya dengan Mas Budi. Ada cerita yang membuatnya melongo, lalu mondar-mandir tidak jelas hanya untuk memahami apa yang dirasakannya. Buku Manifesto Flora bahkan selalu ada di tas mereka, dibawa ke mana-mana. Kalau ada buku yang kita anggap oke, sudah sewajarnya, kan, kita ingin membicarakannya?
Rangga: Hmm, kalau gitu mungkin aku punya selera yang mirip dengan pengelola Kineruku. Buku kumpulan cerpen Cyntha Hariadi ini bikin aku mempertanyakan terus hal-hal yang mungkin nggak akan terjawab, tapi tetap saja menyebalkan kalau nggak diutarakan. Misalnya saja:
- Kenapa cerita di dalam buku ini semuanya berkisah tentang kehilangan?
- Juga kenapa cara Cyntha menarasikan ceritanya itu cenderung dingin dan keras? Apa dia mengalami sedemikian banyak kehilangan sampai perlu diutarakan di sini?
- Siapa tokoh-tokoh dalam buku Manifesto Flora? Dari mana mereka muncul? Apa sepenuhnya bagian dari imajinasi si pengarang, atau terinspirasi dari kehidupan nyata dia?
Aku paling ingat tokoh dokter Agnes, seorang dokter kecantikan yang pada awalnya terlihat sempurna dan siap membantu orang-orang yang datang ke tempatnya, padahal sebenarnya dia punya banyak kegelisahan tentang orang-orang yang mendambakan kecantikan. Menurutku itu ironis dan bertolak belakang dengan apa yang dia kerjakan, tapi mungkin begitulah karakter-karakter dalam Manifesto Flora. Mereka kerap mempertanyakan atau bahkan mendebat diri mereka sendiri.
* * *
“Kulitnya putih seperti arang itu gelap. Dahi, mata, hidung, mulut, dan dagu terpahat dengan jarak sempurna di bundar mungil wajahnya yang damai sampai ia nyaris kelihatan suci. Semasa sekolah ia selalu terpilih menjadi Bunda Maria dalam sandiwara Natal. Sebuah kebetulan. Sesuatu yang tak direncanakan. Ujar Maria, terjadilah padaku menurut kehendakMu. Dan itu, dari kecil Agnes yakini betul.”
(dari cerpen “Dokter Agnes” oleh Cyntha Hariadi di buku Manifesto Flora)
Rangga: Setelah membaca cerita “Dokter Agnes”, menurutku pesannya—yang harus disampaikan ke orang lain (mungkin juga ke semua orang)—adalah ‘kau tak akan tahu penderitaan orang lain sampai kau merasakannya sendiri!‘
Andika: Hahaha!
Rangga: Cerita “Dokter Agnes” bisa membawakan pesan tersebut tanpa memberi kesan menggurui atau menyebalkan! Kalau cara membawakannya seperti bagaimana aku mengungkapkannya barusan, tentu bakalan terasa mengesalkan!
Andika: Aku terkesan bagaimana kecantikan Agnes membuat pasiennya percaya akan kemampuan Agnes mengubah wajah dan nasib mereka. Seolah setelah Agnes menangani wajah mereka, mereka akan berbahagia sebagaimana Agnes. Padahal Agnes pun bisa merasa tidak bahagia. Apa yang dianggap orang lain cantik, bisa jadi sumber ketidakbahagiaan bagi pemilik kecantikan tersebut, dan tentu banyak sumber ketidakbahagiaan yang lainnya.
Rangga: Itulah yang kusukai dari cerita-cerita Cyntha. Dia bisa mengungkapkan bagaimana sesuatu yang kelihatan baik di luar, belum tentu terasa baik juga di dalam. Cantik bukan menjadi patokan kebahagiaan. Rumah yang besar dan kokoh bisa hancur dari dalam. Pasangan yang terlihat mesra bisa saja menyimpan kebencian pada satu sama lain. Cara Cyntha mengatakan semua itu mendekatkanku dengan karakter-karakternya.
Andika: Kamu tahu nggak Cyntha pernah mewawancarai seorang dermatologist terkenal di Singapura, dr. Georgia Lee, untuk majalah Clara?
Rangga: Wah aku nggak tahu itu! Apa wawancaranya berpengaruh kepada cerpen “Dokter Agnes”?
* * *
Cyntha Hariadi: Apakah cantik jaminan bahagia?
Dr. Georgia Lee: Memperbesar kemungkinan, ya. Saya sering bilang ke pasien-pasien saya yang muda bahwa jadi wanita cantik seperti kado Natal. Yang bungkusannya paling menarik, pasti yang paling pertama dibuka. Tapi pas dilihat dalamnya kosong, ya tidak ada gunanya. Harus ada substance, bisa skills atau intelligence.
Cyntha Hariadi: Apakah ada usaha cukup untuk mencapai kecantikan?
Dr. Georgia Lee: (berpikir sejenak) Pertanyaan sulit, karena bagaimana kita tahu batasannya? Tapi, saya pikir harus ada batasnya. Tergantung pada tingkat kepercayaan diri seseorang, orang-orang di sekitarnya, dan dokternya. Orang-orang terdekat bisa memberi sedikit pujian. A “You look great today.” can make your day. Dokter memiliki peran yang sangat penting karena ia yang membuat batasan itu menjadi nyata, konkrit.
(dari artikel “Vanity is Fair” oleh Cyntha Hariadi di majalah Clara)
Andika: Sebelum kita membaca sebuah buku, kupikir kita menimbang dulu apa buku itu pantas dibaca. Mungkin seringkali yang jadi pertimbangan adalah yang ‘kelihatan’. Misalnya apakah buku itu memenangkan penghargaan kesusasteraan, disebut-sebut oleh penulis kesukaan kita, diulas media yang kita baca, disukai teman kita, dan sebagainya. Seandainya Manifesto Flora bukan buku kesukaan para pustakawan Kineruku, apa kamu tertarik membacanya?
Rangga: Memang daya tarik visual merupakan pertimbangan. Toh indra yang paling kita andalkan selama hidup adalah mata, jadi wajar saja kalau buku yang terlihat baru dan segar lebih sering dipilih daripada buku yang sampul depannya kosong atau tampak lusuh. Dan wajar juga jika kita mencari buku yang sudah direkomendasikan. Mungkin kita tidak ingin buang-buang waktu dengan membaca buku yang ternyata tidak kita sukai, atau mungkin juga kita mencari ‘penerimaan’ di kalangan kita dengan membaca buku yang sudah terpilih. Direkomendasikan atau tidak, mungkin aku akan tetap membaca Manifesto Flora. Cerita demi cerita aku baca, dan tanpa sadar aku sudah mengulangi membaca.
Andika: Apa harapan kamu ketika datang ke bincang buku Manifesto Flora?
Rangga: Kadang-kadang aku senang ketika seorang penulis buku datang dan membicarakan pengalamannya menulis. Itu membuatku terpacu menulis. Namun aku juga berharap bahwa sang penulis tidak terlalu banyak membeberkan tentang arti cerita menurutnya, karena buatku itu dapat mengurangi keasyikan interpretasi. Kalau Kakak sendiri bagaimana?
Andika: Tidak bisa tidak, aku penasaran apa cara Cyntha bercerita secara lisan akan sama dengan caranya bercerita di dalam tulisan. Dan aku sependapat denganmu, banyak cerita sedih dalam Manifesto Flora. Aku terkesan karena cara Cyntha menuturkannya tidak dramatis. Kata-katanya tersusun apik tapi nggak bikin kita terlalu sibuk mengagumi susunan katanya sampai lupa dengan apa yang diceritakan. Sebelum bertemu, kamu membayangkan Cyntha orangnya seperti apa?
Rangga: Kukira orangnya kelam sebagaimana ceritanya. Hahaha! Ternyata ketika bertemu langsung, anggapanku terhadap Cyntha langsung terjungkirbalikkan. Jauh dari itu, ternyata Cyntha sangat ceria dan banyak bicara. Mood acara jadi ringan dan banyak tawa. Banyak yang dia bicarakan. Mulai dari ‘pengalaman batin’ yang membuatnya menulis cerita-cerita dalam Manifesto Flora, yang sebagian didapatnya dari kehidupan nyatanya sehari-hari. Dia juga mengaku dirinya tidak suka menceritakan hal-hal ‘wah’, dengan cara yang terlalu ‘wah’.
Andika: Aku menangkap Cyntha kelihatan senang ketika bertemu sekelompok yang orang sudah membaca bukunya maupun yang penasaran dengan ceritanya. Dia mengaku ketika menulis cerpen dan puisi, dia tidak memikirkan siapa yang akan membaca tulisannya. Berbeda ketika dia menulis iklan, yang sasarannya ditentukan. Mikael Johani ikut membahas Manifesto Flora bersama Cyntha dan Mbak Rani. Kebetulan Mikael menjadi juri Sayembara Manuskrip Puisi Dewan Kesenian Jakarta 2015, di mana karya Cyntha terpilih menjadi Pemenang III. Ketika jadi juri, Mikael tidak tahu siapa penulis manuskrip yang dinilainya. Ada satu manuskrip yang berkesan baginya karena penulisannya rapi, dengan punchline yang disimpan di bagian akhir. Mikael curiga penulis manuskrip itu adalah copywriter, karena iklan biasanya juga ditulis seperti itu. Rupanya betul! Itu adalah manuskrip puisi Cyntha, yang lama bekerja sebagai copywriter. Mikael bertanya-tanya, bagaimana ya kalau Cyntha menulis dengan lebih lepas? Pertanyaannya terjawab ketika membaca Manifesto Flora.
* * *
Andika: Mbak Rani bilang cerita-cerita di buku Manifesto Flora seperti danau kecil tenang yang diam-diam memiliki kedalaman luar biasa, sementara ada penulis yang karyanya seperti lautan lepas dengan ombak bergulung-gulung. Seingatku Cyntha tertawa, lalu menanggapi bahwa dia punya analogi sendiri: ketika menulis dia tidak punya karpet terbang, yang dimilikinya adalah kaca pembesar.
Rangga: Kalau nggak salah, Mikael bilang dia merasa akrab dengan tulisan Cyntha karena mereka banyak membaca karya penulis yang sama, penulis dari Amerika, seperti Lorrie Moore, Lydia Davis, dan Tennessee Williams.
Andika: Aku tersentuh waktu Cyntha mengaku dia tidak menemukan dirinya di cerpen koran yang cenderung mengutamakan lokalitas. Suatu kali, dia pernah mengirimkan cerita ke koran, dan cerita itu tidak dimuat. Cyntha juga pernah berbagi pengalamannya mengikuti sebuah workshop penulisan skenario film, di mana skenario yang dia tulis dianggap tidak mungkin difilmkan karena menggunakan alegori. Kupikir pada dasarnya penulis ingin karyanya diterima, tapi dalam perjalanan mungkin dia bakalan bertemu dengan orang-orang yang sudut pandangnya berbeda dan tidak berusaha mengerti dari mana penulis ini berasal. Namun, kalau penulis itu tidak berhenti berusaha, pada akhirnya dia akan berjumpa dengan orang-orang yang sungguh menerima dan menyayangi karyanya.
* * *
Di bawah kaki,
tanah membuka mata, kakinya tergelitik
tanah menggelinjang, ia melompat
tanah menyembur, ia terlempar dan tersungkur
mengusap dengkul, ia membuka mata
dan bertemu alamanda.Sejak saat itu, ia tahu apa artinya bersemi
yang tampak mati ternyata hidup
yang sungguh mati bisa hidup lagi
bila ibu marah bisa senyum lagi
bila ayah senyum ia juga bisa marahyang kecil tumbuh menjadi besar
yang besar mengecil karena menua
tak ada orang yang sedih terus
tak ada yang senang terus.Ketika alamanda merunduk dan jatuh ke tanah
ia tahu alamanda akan abadi.(puisi “Bersemi” oleh Cyntha Hariadi di antologi Ibu Mendulang Anak Berlari)
Andika: Sebelum memulai bercerita, pada buku Manifesto Flora Cyntha menggunakan kutipan dari karya Tennessee Williams, “Segala yang manusiawi tidaklah membuatku jijik, Tuan Shannon, kecuali sesuatu yang tak berhati, biadab.” Menurutmu, apa bedanya antara yang manusiawi dan yang tak berhati?
Rangga: Hmm… Aku tidak tahu konteks kalimat tersebut dalam cerita Tennessee Williams, namun menurutku apa yang dimaksud ‘manusiawi’ adalah sesuatu yang mungkin dilakukan manusia untuk mempertahankan eksistensi dirinya dan orang lain, sementara sesuatu yang ‘tak berhati’ mungkin merujuk pada kejahatan atau keburukan yang tak perlu dilakukan. Jika dihubungkan dengan kumpulan cerpen Cyntha, aku merasa bahwa semua yang para karakter utama lakukan, baik atau buruknya, adalah kelakuan yang sifatnya ‘manusiawi’, seperti meninggalkan seseorang demi yang lebih dicintai, membenci seorang teman lama, ataupun membuat cerita sedih untuk seorang kerabat. Bagiku, karakter-karakter itu cukup mudah dikenali. Aku tidak punya teman yang berprofesi sebagai dokter kulit, atau kenalan seorang suster di gereja. Tapi aku kenal orang-orang yang tersenyum di depan umum, sementara kesakitan ketika sendirian; mereka yang kehilangan anggota keluarga tercinta; orang-orang yang tidak dapat memiliki sesuatu atau seseorang yang ia cinta.
Andika: Karena tergambarkan dengan baik, maka mereka nggak cuma hidup sampai akhir cerita pendek, tapi tetap hidup di kepalaku. Sekalipun dalam cerita, mereka menghadapi peristiwa yang tidak membahagiakan, aku percaya ada cerita lain di mana mereka berbahagia. Dalam cerpen “Setengah Perempuan II”, tokohnya Lydia, perempuan yang tidak merasa berkekurangan meskipun dia dan suaminya tidak punya anak. Mertuanya menyayangkan kondisinya, lalu Lydia menemukan brosur tentang mengadopsi anak dari panti asuhan, dia lantas mengunjungi panti asuhan itu. Aku menganggap kunjungan itu merupakan keberanian, karena tidak semua orang punya keberanian mendekati apa yang asing bagi mereka. Lydia mempertimbangkan suara yang berbeda dengan dia, kupikir sifat itu akan memungkinkan dia menjalani hidup yang baik. Baik as in nggak predictable, dan penuh dengan pemaknaan baru. Aku melihat ‘tak berhati’ sebagai ketidakmampuan untuk memaafkan dan memaklumi. Kegagalan untuk menempatkan diri di posisi orang lain. Ketidakmampuan untuk merasakan apa yang mereka rasakan. Aku merasa Lydia berhati, itulah yang membuatnya tetap hidup.
Rangga: Bisa jadi begitu, karena seseorang yang memiliki perasaan ‘manusiawi’ akan dapat mengerti penderitaan orang lain dengan lebih mudah. Memang rasanya karakter-karakter dalam Manifesto Flora tercipta dengan komplit. Mereka punya kekurangan, namun juga memiliki kelebihan dan daya tarik yang membuat kita terus membaca. Aku setuju bahwa karakter itu hidup bahkan setelah titik terakhir dituliskan. Bahkan, aku rasa semua karakter ini bisa bahagia setelah menanggung berbagai kesulitan. Siska (dalam cerita “Dua Perempuan di Satu Rumah”) bisa saja belajar lagi mencintai Norman bersama Bi Onah, ketimbang memusuhinya. Ibu Kumala (dalam “Rumah Batu Kali) mungkin suatu saat akan berdamai dengan kematian suaminya. Karakter lainnya pun mungkin akan bahagia ketika saatnya tiba. Mungkin bukan ‘happy ending’ yang ideal, tapi memangnya ada ‘happy ending’ yang ideal di dunia nyata?
Andika: Menurut Cyntha, dia menulis karakter-karakter tersebut berdasarkan orang yang dia jumpai. Orang-orang yang tidak selalu dia senangi, dan bisa mudah saja dia hakimi. Namun, dia berusaha memahami mereka dengan menulis cerita tentang mereka.
Rangga: Suara-suara itu adalah Cyntha, tapi juga bukan Cyntha.
* * *
Andika Budiman &
Muhammad Rangga Padika
Comments (2)
Dika dan Rangga yang baik,
wah wah kalian luar biasa pendalamannya! Sampai aku lagi makan rujak belimbing biasanya cepat ludes sampai lama seperti mengeja haha. Rani sebetulnya sudah lama bilang ke aku tentang tulisan obrolan kalian ini tapi baru kali ini sempat baca tuntas. Ketemu aja lagi artikel Dr. Lee dan iklan terakhir aku di dunia itu! Kalian penulis yang rajin cap dua jempol. Terima kasih banget ya atas apresiasimu, semoga cita-cita kalian berdua apa pun itu aku doakan tercapai. Salam hangat, Cyntha- Author
Cyntha habis makan rujak blimbing jangan lupa minum yah : )
Dika