Sepotong Surat tentang Cinta dan Harapan
Menjadi pengarang yang dikenal di mana-mana karena keberhasilan satu buku tertentu bisa jadi dilematik. Publik cenderung terpaku pada satu judul itu dan selalu tergesa-gesa membandingkan buku lain dengan buku yang sukses tersebut, meski kadang-kadang caranya tidak proporsional. Mereka enggan melihat lebih dalam bahwa setiap buku memiliki sisi yang memperlihatkan pencapaian baru, sejarah sendiri, keunikan tertentu. Artinya buku tersebut harus ditimbang dengan kriteria lebih adil; apalagi bila mereka bukan penulis tipe ‘one book wonder‘ yang hanya bisa menghasilkan satu buku fenomenal dan terus terpaku, seolah-olah tak bisa beranjak dari sana.
Jostein Gaarder persis kerap mengalami serupa; semua bukunya selalu hendak dikaitkan dengan fenomena Sophie’s World (1995; Sofies verden, 1991). Keberhasilan Sophie’s World—diterjemahkan dalam 53 bahasa, terjual lebih dari 26 juta eksemplar—kadang-kadang merupakan bumerang bagi karir kepenulisannya. Ini dia alami di manapun, datangnya tak bisa terduga. Salah satunya terjadi waktu dia berada di Buenos Aires, Argentina, ketika mengunjungi pameran buku dan mampir ke pasar loak setempat. Begitu terkenalnya wajah Gaarder, sampai penjaga kios loak itu langsung menyapanya dengan ‘El mundo de Sofia?’–Sofies verden dalam Spanyol. Akibatnya dia tak bisa belanja manuskrip kuno dengan harga murah. Tapi untunglah manuskrip itu jadi bahan salah satu bukunya, yakni Vita Brevis (That Same Flower), 1996.
Mitch Albom juga mengalami hal serupa, meski bentuknya beda. Luapan keberhasilan Tuesdays with Morrie (1997), yang menjadi bestseller empat tahun berturut-turut di Amerika Serikat malah membuatnya gamang dan takut. Gamang karena buku itu awalnya tak berhasil memikat siapa pun, namun setelah berhasil, dia takut bila sampai menjadi penulis yang mengulang-ulang kisah serupa dan akhirnya stagnan. Dalam sebuah wawancara dia menolak permintaan agar menulis sekuel. Kata dia, “Tak akan ada Wednesdays with Morrie, tak akan ada seri self-help-nya.” Jadi dia menunggu sampai sesuatu memberinya inspirasi sebagaimana dilakukan buku itu. Akibatnya, dia baru bisa menulis novel lagi selang enam tahun kemudian.
Gaarder pun begitu; sejauh ini dia tak pernah berniat membuat sekuel Sophie’s World. Tapi berbeda dengan Albom, Gaarder tidak perlu menunggu inspirasi maupun tercengang terus oleh keberhasilan buku itu, melainkan bergerak segera menjelajah subjek yang jadi ketertarikan perhatiannya, yakni filsafat, kehidupan, pendidikan, dan sastra. Dia membuktikan diri sebagai penulis profesional yang mampu menerbitkan buku baru minimal dua tahun sekali. Ciri khas karyanya ialah ketakjuban dan rasa penasaran (ingin tahu) tentang makna hidup berikut teka-teki di dalamnya. Meski sebenarnya tema itu termasuk berat dan serius untuk pembaca muda, gagasan dalam bukunya mampu menginspirasi pembaca untuk berpikir dan mempertanyakan sejumlah aspek dalam diri manusia, misalnya kasih sayang, keluarga, juga sejarah. Hanya dengan kemampuan bercerita dan berbahasa memikat sesuai golongan remaja buku-bukunya jadi relatif mudah dipahami, bisa dinikmati siapa saja, termasuk orang dewasa. Mayoritas protagonis novelnya adalah remaja, seperti Sophie Amundsen (Sophie’s World) dan Hans Thomas (The Solitaire Mystery). Sementara dalam Gadis Jeruk (judul aslinya: Appelsinpiken, diterbitkan tahun 2004) hadir Georg Røed, remaja yang ditinggal mati ayahnya sejak usia empat tahun, hidup bersama ibu kandung, ditemani ayah dan adik tiri.
Lepas dari kekhawatiran hasilnya akan selalu dibandingkan dengan Sophie’s World dia tahu ada banyak tema menarik yang patut disuguhkan kepada jutaan pembaca setianya. Bagi Gaarder, cara terbaik memperkenalkannya adalah dengan mencantolkan tema itu pada rasa penasaran anak remaja, apalagi dia memang ahli menulis dari sudut pandang pikiran itu. Kata dia, “Anda tak perlu mengajari filsafat pada anak-anak. Mereka sudah jadi filsuf. Jauh lebih penting mengajari orang dewasa, sebab bersamaan kita tumbuh, kita jadi begitu terbiasa dengan dunia, dunia jadi candu.” Beruntung karya Gaarder bisa dinikmati siapa pun, sebab fiksinya rata-rata masuk dalam kategori young adult (dewasa muda).
Jika memperhatikan empat buku Gaarder edisi Indonesia, teknik yang dia gunakan ternyata agak klise, yaitu mengungkap misteri makna hidup yang disembunyikan melalui surat ataupun tulisan. Dunia Sophie, Misteri Soliter, Vita Brevis, dan Gadis Jeruk sama-sama terus memancing rasa ingin tahu lewat tulisan. Dalam Vita Brevis pembaca diajak berspekulasi apakah surat panjang Floria Aemelia otentik; dalam Gadis Jeruk dikisahkan Georg diberi surat yang disembunyikan ayahnya sebelas tahun lalu di kotak kereta dorong, persis prakiraan bahwa dia akan membacanya di usia remaja. Surat itu terutama berisi kisah cintanya pada ‘Gadis Jeruk’ ditambah pertanyaan yang tampaknya terlalu maju bagi remaja paling cerdas sekalipun, misalnya “Apakah waktu itu?”, “Adakah kehidupan setelah kehidupan ini?”, belum lagi sentilan tentang kesempatan, takdir, dan kerasnya pilihan hidup. Dia mengulang tema serupa dengan teknik kurang inovatif, tapi khas, yakni lantas menggunakan argumen dan penelusuran dengan persuasi memikat.
Gaarder sudah lama terpikat dan bersemangat terhadap misteri kehidupan, kebajikan, dan alam semesta, dia menempuh cara tertentu untuk memahaminya. Bila dalam Vita Brevis subjek khususnya adalah teologi, kali ini yang dia ketengahkan adalah astronomi. ‘Waktu’ sendiri merupakan subjek yang sangat menantang bagi semua pemikir, baik dari kalangan filsafat, agamawan, maupun fisikawan. Sekali lagi, disadari atau tidak, tampaknya Gaarder hendak meneruskan eksplorasi atas ‘waktu’ maupun adagium ‘hidup itu singkat’ yang pernah diinisiasi St. Agustinus dalam The Confessions. Di luar itu bagi pembaca Indonesia setting Gadis Jeruk pasti menarik, sebab mengetengahkan kota Oslo, Norwegia dengan detail cukup lengkap, dibubuhi budaya dan kehidupan sosialnya.
Wajar memang bila akhirnya pembaca tetap bersikeras segera ingin mengaitkan kembali Gadis Jeruk dengan masterpiece Gaarder sebelumnya; hal itu bisa jadi tak terhindarkan. Untung kepiawaian bercerita Gaarder tetap memikat, sehingga sosok Georg terlihat wajar sekali menjalani masa akil balik. Perhatikan bagaimana dia mulai jatuh cinta pada ‘gadis biola’ teman kursusnya, tergugah oleh pertanyaan kritis ayahnya, menghadapi ayah tiri yang sedikit dingin, padahal dia sendiri tak punya bayangan tentang ayah ideal, juga kecintaan yang besar pada ibu. Surat itu merupakan bekal berharga menuju dewasa. Pembaca remaja bisa mengidentifikasi diri pada Georg dalam menghadapi perubahan psikologi maupun intelektual; sedangkan orangtua bisa mencontoh Jan Olav (ayah Georg) bagaimana mewujudkan cinta pada anak dan keluarganya. Sebuah buku yang pantas dijadikan bacaan keluarga maupun hadiah ulang tahun. Satu-satunya kekurangan yang patut disebut pada buku ini adalah penggarapan desain cover yang mengecewakan, apalagi bila dibandingkan dengan terjemahan yang mutunya di atas rata-rata.
Sari Meutia, editor Mizan yang pada 10 Oktober 2003 menghadiri rencana peluncuran serentak sedunia Appelsinpiken di hotel JW Marriott Frankfurt, menyebutkan buku tersebut langsung diterjemahkan dalam sembilan belas bahasa asing bahkan ketika edisi Norwegia maupun Inggrisnya belum terbit. Prestasi ini membuktikan betapa Gaarder adalah garansi bagi bacaan bermutu. Buktinya, Jaroslava Vrbova–penerjemah edisi Ceko–meraih The Golden Ribbon 2004, anugerah untuk terjemahan buku anak-anak terbaik di even Bookworld 2005 di Praha. Di Ceko buku itu terbit sebagai Dívka s pomerancí.
Terbitnya Gadis Jeruk membuktikan bahwa Gaarder tak perlu mabuk oleh keberhasilan sebuah buku yang tampaknya memang mustahil akan pernah terulang lagi. Dia terus menajamkan pena, mengasah nalar, mengajarkan kebajikan, belajar menghayati kehidupan. Katanya, “Cerita adalah bahasa ibu kita. Otak diciptakan untuk cerita, lebih dari sekadar itu diciptakan untuk menyimpan informasi. Guru yang baik adalah seorang pencerita yang bagus, dan saya melakukan kedua-duanya.” Tak bisa disangkal dia bahkan melakukannya dengan istimewa. Bagaimanapun dipandang buku ini tetap istimewa dan harus diperlakukan dengan adil.
[Anwar Holid]
Gadis Jeruk, Sebuah Dongeng Tentang Kehidupan
Judul asli: The Orange Girl
Penulis: Jostein Gaarder
Penerjemah: Yuliani Liputo
Penerbit: Mizan, 2005
Tebal: 242 halaman
Kineruku juga mengoleksi karya-karya Jostein Gaarder yang lain seperti The Ringmaster’s Daughter, Vita Brevis, Maya, dan Putri Sirkus Dan Lelaki Penjual Dongeng. Selengkapnya tengok di sini.