Please select a page for the Contact Slideout in Theme Options > Header Options

Telepon Genggam: Menghamili Kata-kata, Membuahi Makna

Telepon Genggam: Menghamili Kata-kata, Membuahi Makna
26/08/2008

Telepon Genggam (Kumpulan Puisi)
Penulis: Joko Pinurbo
Penerbit: Kompas, Mei 2003
Tebal: x + 79 hlm

Membaca dan menafsir puisi Joko Pinurbo—dia akrab dipanggil Jokpin—bisa jadi merupakan dua hal berbeda. Tafsir-tafsir panjang dan sistematik Sapardi Djoko Damono, Ignas Kleden, dan Nirwan Dewanto terhadap karya-karyanya tentu merupakan cara menikmati puisinya secara serius dan memaknainya sedalam mungkin. Nirwan Ahmad Arsuka yang mengulas dan mengomentari buku Telepon Genggam pun ternyata melakukan hal serupa. Mereka semua berusaha mencari kedalaman makna yang disembunyikan Jokpin dalam puisinya yang kebanyakan berselimut humor, kelucuan, dan ledekan. Tentu saja itu adalah usaha bermanfaat dan berguna, meski di sisi lain berisiko kehilangan nuansa dasar puisinya, bisa membuat orang awam ketakutan membaca atau membeli buku puisi, karena khawatir tak mampu menafsir sedalam dan seluas mereka. Padahal puisi Jokpin itu sudah mampu memberi kenikmatan mendasar bahkan jika tak ditafsirkan sama sekali.

Coba kita biarkan puisi Jokpin itu terbaca sendiri sebagaimana yang ditulisnya. Bisa jadi pembaca akan terpingkal-pingkal karena ternyata dia sangat nakal, dan begitu selesai mereka mungkin akan berani bicara, “Kalau seperti ini, saya juga pasti bisa bikin puisi!” Membaca menjadi sebuah kenikmatan, suatu perjalanan menyenangkan. Puisinya sudah bisa dinikmati begitu saja karena sejak pembacaan pertama terasa sajaknya tak memiliki pretensi tentang bahasa yang suci. Dia mencoba menghilangkan kesakralan bahasa yang tinggi atau rumit dipahami menjadi kelucuan, parodi, dan penyamaran. Dia sembunyikan puisi itu sebagai rimba, telepon genggam, foto, mahasiswa, boneka, ibu, anak kecil, binatang, perempuan pelukis, gadis manis, perempuan misterius, lelaki tanpa celana, ibu, buku, tanda baca, dan sudah tentu: tubuh, yang merupakan keahlian dan nyaris merupakan obsesi dari seluruh buku puisinya.

Begitu memasukinya, pembaca tidak berhadapan dengan struktur sajak yang rapi, rima teratur, bunyi manis, atau pilihan kata asing yang sukar dipahami dan butuh kamus untuk mencari kemungkinan makna tersiratnya. Yang dia sodorkan justru berbagai kosakata sehari-hari yang hampir tak ada bedanya dengan percakapan orang-orang di televisi atau bantah-bantahan di ruang umum. Kalau puisi ternyata bisa berbentuk seperti prosa yang hampir kehilangan ikatannya dengan bentuk, bunyi, dan ciri khas puisi lainnya, apa yang membuat puisi bebas karya Joko Pinurbo ini tampak istimewa?

Yang utama bisa jadi permainan bahasa dan makna. Kadang-kadang petanda permainan itu dengan sengaja dia tunjukkan dengan penggunaan huruf italic dan pengulangan. Dia berusaha mengejutkan dan menggoyahkan iman pembaca karena ternyata bahasa yang digunakannya sering penuh teka teki dan permainan. Dia mengejek pandangan umum dengan membolak-balikkan susunan kata, melemparkan kesan harafiah jauh-jauh ke laut, kemudian mencoba membiarkan kata itu berkembang dan main-main sendiri, atau dia pupuk, kalau tidak, akan dia buahi kata-kata itu biar membawa makna baru yang segar dan penuh isi.

Upaya itu dia tekadkan beberapa kali, misalnya di bagian ke-5 sajak “Sudah Saatnya” dengan seperti ini: sudah saatnya kata-kata yang mandul kita hamili; yang pesolek ngapain dicolek, toh lama-lama kehabisan molek. Sudah saatnya kata-kata yang lapuk diberi berahi. Supaya sepi bertunas kembali, supaya tumbuh dan berbuah lagi. Di puisi terakhir buku ini, “Selesai Sudah Tugasku Menulis Puisi”, dia mewisuda lulusan kata-kata dengan sebab kata-kata sudah besar, sudah selesai studi, dan mereka harus pergi cari kerja sendiri. Jokpin agaknya makin enggan menggunakan bait dan baris. Sebagai gantinya dia berdayakan alinea (paragraf) yang lazim dilakukan penulis prosa. Dengan begitu dia berada di antara ketegangan jalan yang ditempuh Sapardi Djoko Damono dan Sutardji Calzoum Bachri, meskipun kecondongan pada penyair senior pertama itu lebih terasa, karena bisa dilihat dari cara dia memarodikan sajak Sapardi atau menulis dalam gaya Sapardi, misalnya bahwa terjadinya rima terasa bukan diupayakan sebagai kesengajaan, melainkan lahir dari suatu konsekuensi atau suasana. Sedangkan dari Sutardji Jokpin mendapatkan ruh pembebasan kata, meski tak sampai mengambil jalan mantra.

Dalam hal memain-mainkan bahasa, Jokpin sudah tak lagi segan dan ragu. Bisa jadi dia merupakan eksponen utama penyair kontemporer Indonesia yang tak pernah lelah mencoba melelehkan kekakuan bentuk dan bahasa puisi, mendekatkannya sedemikian rupa kepada pembaca bahkan dengan menggunakan kosakata profan sekalipun, sehingga pembaca tak lagi berjarak dengan bahasa dan ungkapan. Meski terkesan mudah dan terang karena penggunaan teknik itu, sebagaimana kata semua kritik, puisi Jokpin tidak bisa jatuh jadi murahan. Itu karena dia ternyata pandai menyembunyikan kedalaman, misteri, dan menunggu munculnya kejutan, salah satunya dalam “Selamat Tinggal” yang hanya terdiri dari kalimat pendek: Ia tidurkan telepon genggamnya di kuburan, lalu ia buang ke laut. Rasanya puisi seperti itu pasti bukan untuk kaum awam, melainkan justru harus didedah berpanjang-panjang oleh sejumlah pakar. Tapi pasase ini pasti mengundang tawa karena mengejek kepura-puraan: “Anda lupa ya bahwa Anda belum pernah bertemu saya? Mengapa harus mengingat-ingat?”

Telepon Genggam memperlihatkan proses lebih lanjut bahwa unsur main-main Jokpin memang menonjol sekali, melebihi yang pernah dilakukannya pada tiga buku sebelumnya, sambil di sana-sini meletupkan parodi, memunculkan kejutan, aforisme, dan truisme. Dari yang sederhana, misalnya mengganti “malang dapat ditolak, untung dapat diraih” hingga perlambang serius, contohnya “mandikanlah dia hingga tak tersisa lagi luka.” Dia gemar sekali memasukkan unsur keseharian, makian, olok-olok ke dalam puisi-prosanya bisa jadi karena ingin tahu sebenarnya apa dampak penggunaan itu terhadap pembacaan dan pemaknaan. Perkiraannya ada dua kemungkinan, pertama Jokpin ingin mendekatkan puisi kepada pembaca dengan mencari kekuatan ungkapan sebagaimana iklan televisi yang suka pernyataan hiperbolik kepada pemirsa. Agar pembaca terus terpana dan tak berhenti sebelum selesai. Kedua dia ingin agar puisinya bisa merambah ke mana saja, dengan subjek, kosakata, diksi, dan gaya yang baru. Kemungkinannya bisa sangat luar biasa, sebab citra-citra yang digunakan Jokpin tak pernah usang. Untuk buku ini jumlahnya tak perlu banyak, cukup 32 buah, rasanya Jokpin bisa menjamin pembaca akan memiliki pengalaman baru atau terheran-heran ternyata ada puisi yang bisa lancar sekali dibaca, bahasanya bersih, membuat segar, tak membuat orang terbata-bata atau terhenti terhalang kosakata tak dimengerti atau bisa bikin alergi.

Joko Pinurbo makin dalam masuk ke bentuk puisi-prosa. Ini kecenderungan cukup kuat yang harus “diwaspadai” ke mana muaranya, sementara sejumlah penulis prosa malah mencari keindahan dan menempuh eksperimentasi lewat kalimat-kalimat puitik dan penuh metafora. Puisi terpanjang di buku ini, “Laki-laki Tanpa Celana”, sudah sempurna betul sebagai prosa, lengkap dengan permainan waktu dan percakapan. Apa dia betul-betul kerasukan adagium William Wordsworth bahwa puisi adalah “kata yang tepat dalam susunan yang tepat”, maka tak ragu lagi menempuh jalan itu? [Anwar Holid]


 

Comments (0)

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Subscribe