Siapa di antara kita yang semasa kanak-kanak pernah begitu bersemangat saat membuka atlas dunia? Melafalkan nama negara yang asing dan membayangkan seberapa jauh jaraknya dengan negeri sendiri terasa menyenangkan, karena kita masih menyimpan angan-angan kelak akan mengunjungi semua negara di dunia. Rasanya setiap anak-anak berharap ketika nanti dewasa, dia akan berkesempatan ‘to see everything‘. Namun, semakin jauh perjalanan seseorang di dunia, semakin besar kesadaran bahwa dia tidak bakalan bisa melihat dan memahami semuanya. Jangankan melihat dan memahami semua yang ada di dunia, melihat dan memahami diri sendiri saja seolah pekerjaan mustahil. Perlahan kita menyadari meskipun bumi diciptakan bulat dan tidak berbatas, kemampuan kita memahaminya terbatas. Buku Atlas of Remote Islands: Fifty Islands I Have Never Set Foot On and Never Will (Penguin Books, 2010) merupakan usaha Judith Schalansky untuk menerima keterbatasan tersebut. Judith meneliti sejarah bagaimana manusia terdahulu mencapai wilayah yang belum terjamah olehnya, dalam hal ini pulau-pulau kecil terpencil; serta bagaimana interaksi manusia dengan wilayah yang ‘baru’ tersebut. Manusia memberi nama, membuat batas, dan menggunakan wilayah itu sesuai kepentingannya. Pada akhirnya, atlas yang dibuat Judith tidak sekadar menunjukkan pulau yang asing, tetapi juga menunjukkan sifat manusia. “Depicting a world that could be taken in at a glance was not easy. All the projections provided a skewed picture: either the distances were wrong or the angles or the scale of the surfaces. Thus a representation of the world was arrived at that was true to the angles but shamelessly distorted the size of land masses, so that Africa, the second largest continent, looked the same size as Greenland, the world’s largest island, which is actually fourteen times smaller.” Demikian menurut Judith Schalansky, penulis dokumen menarik ini. Buku tersebut tersedia di perpustakaan Kineruku.
[Andika Budiman]