Please select a page for the Contact Slideout in Theme Options > Header Options

Time to Leave | François Ozon, 2005

Time to Leave | François Ozon, 2005
16/09/2008

Time to Leave. François Ozon, France, 2005. Color, 81 min, DVD.

Setelah pingsan ketika memotret dua model, Romain (diperankan baik oleh Melvil Poupaud) mendapati kenyataan bahwa kanker stadium lanjut diam-diam telah menggerogoti tubuhnya. Merasa peluangnya teramat kecil, pria gay sinis ini menolak kemoterapi. Ia lantas memanfaatkan sisa hidup untuk bertengkar dengan keluarga, membeli kokain, hingga meremukkan hati kekasih yang dicintainya. Sementara Romain mulai mendapat kunjungan dari dirinya semasa kanak-kanak, hanya neneknyalah orang terdekat yang ia beritahu kondisinya. Time to Leave menyorot perjalanan Romain berdamai dengan dirinya sendiri.

Harus diakui premis film ini standar: seorang muda yang mendapati dirinya penyakitan dan akan hidup pendek. Kalau sudah begini, yang bisa membuat penonton tetap duduk manis hanyalah kreativitas pembuat filmnya. Bagaimana mereka menceritkan sesuatu yang familiar, tetapi tetap terasa baru. Beruntung, Time to Leave berasal dari seorang sutradara yang biasa menulis skenarionya sendiri bernama François Ozon. Dalam membuat film, Ozon termasuk yang kerap berganti gaya. Mulai dari teatrikal dalam Water Drops on Burning Rocks, thriller sensual dalam Swimming Pool, sampai film terbarunya Angel yang diadaptasi dari novel pop klasik The Real Life of Angel Deverell.

Walaupun demikian, tema tetap menjadi benang merah pemersatu karya-karya Ozon. Ini membuat film-filmnya selalu terasa personal. Gaya dan cerita selalu berubah tetapi temanya selalu di kisaran yang sama. Entah seksualitas, homoseksualitas, kepenulisan, egoisme pribadi, maupun rasa kehilangan. Penggemar setia Ozon dijamin tak akan pernah bosan dan menyambut film-filmnya dengan bertanya penuh harap, “Apalagi nih yang baru?”

Time to Leave adalah film kedua dari trilogi duka yang dimulai François Ozon pada film Under the Sun (2000). Kekuatan film ini terutama terletak pada plot dan adegannya yang melambungkan imajinasi penonton. Kenangan masa kanak-kanak yang membayangi Romain tak hanya bisa diibaratkan pertanda semakin dekatnya kematian, tetapi juga merupakan refleksi bagaimana Romain tumbuh menjadi pria dewasa yang berbeda dari bocah laki-laki yang senang bermain dengan kakak perempuannya. Sedikit banyak Time to Leave patut dicurigai sebagai bocoran kegelisahan Ozon sebagai manusia, yang kebetulan gay, saat berhadapan dengan pertanyaan seberapa perlu dirinya memiliki dan membesarkan anak-anak.

Bahkan kematian Romain seperti metafora yang merangsang penonton bersikap kritis menghadapi kematian. Apakah kematian? Saat nyawa manusia meninggalkan raganya, atau saat tak ada lagi kemanusiaan dalam diri manusia yang hidup? Dan ketika kesadaran akan kematian membuat seseorang mempertanyakan sesuatu yang tak bakalan diajukan pada diri sendiri apabila sedang sehat, apakah kematian masih bisa diperlakukan sebagai suatu hal yang buruk? [Andika Budiman]

Comments (0)

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Subscribe