Please select a page for the Contact Slideout in Theme Options > Header Options

The Spirit of the Beehive | Victor Erice, 1973

The Spirit of the Beehive | Victor Erice, 1973
26/08/2010

INT/EXT. SEBUAH DESA TERPENCIL DI ANTARA BUKIT DAN PEGUNUNGAN.
Spanyol tahun 1940-an sedang mengalami alienasi dan isolasi setelah perang saudara berakhir. Seorang ayah (Fernando Fernán Gómez) mengajak keluarganya pindah ke sebuah rumah besar terpencil namun luas, terobsesi pada hobinya bereksperimen dengan lebah. Si ibu (Teresa Gimpera), yang hanya sesekali muncul dalam adegan, sibuk mengirimkan surat kepada orang-orang terkasih yang tak jelas nasibnya akibat perang.

INT. RUANG KOSONG. SEBUAH BALAI DESA MULTI FUNGSI.
Putri mereka, Ana (Ana Torrent) dan Isabel (Isabel Tellería), terkesima menonton film keliling. Dipasanglah Frankenstein, sebuah film lawas tentang monster ciptaan manusia. Di layar kita melihat monster itu sedang berbincang dengan seorang anak perempuan.

INT. RUANG TIDUR, DI SEBUAH RUMAH HAMPIR KOSONG, BESAR SEKALI.
Ana: Kenapa monster itu ngebunuh si anak perempuan? Kenapa orang-orang ngebunuh si monster itu?
Isabel: Monsternya gak ngebunuh anak itu kok. Orang-orang juga gak ngebunuh si monster.
Ana: Kok kamu tahu?
Isabel: Semua yang ada di film itu bohongan. Lagian, aku pernah ketemu monster itu.
Ana: Di mana?
Isabel: Gak jauh dari sini. Dia cuma keluar malem-malem. Orang lain gak bisa lihat dia.
Ana: Emang dia hantu?
Isabel: Bukan, semacam roh. Roh itu gak punya badan. Makanya gak bisa mati.
Ana: Kok kamu bisa ngobrol sama dia?
Isabel: Namanya juga kan roh. Kalo kamu temennya, kamu bisa ngobrol kapan aja. Kamu tinggal merem, dan bilang… “Ini Ana… Ini Ana…”

EXT. SEBUAH LAPANGAN LUAS DEKAT BANGUNAN RUNTUH. DI SAMPINGNYA, SEBUAH SUMUR TUA.
Ana: “Ini Ana… Ini Ana…”

* * *

Di lapisannya yang paling permukaan, karya Victor Erice yang seringkali kita temukan dalam daftar ‘greatest films of all time‘ ini adalah sebuah sinema minim dialog minim gerak kamera, dengan gambaran indah tentang sebuah desa Spanyol berpemandangan alam luar biasa indah. Mata dan telinga kita dimanjakan, namun semakin kita hanyut dalam lapisannya yang lebih dalam, gambaran indah itu perlahan menjalar, mencekam.

Dalam lapisan berikutnya kita bertemu dengan permasalahan utama cerita: alienasi keluarga, potret muram tentang kepolosan seorang anak kecil, kesulitannya membedakan realitas dan ilusi. Fantasi menjadi penghiburannya. Dunia Ana yang digambarkan jauh dari hingar bingar ini, membuat kita menerka bahwa ada sesuatu yang salah. Ketika kedua orang tuanya menghabiskan waktu di luar gambaran keluarga yang ia dambakan, si anak kecil memilih mencari teman tak kasat mata, roh yang kapan saja dapat ia panggil bermain. Tapi benarkah si monster ini adalah teman?

Lapisan ketiga bisa saja tidak perlu kita selami. Namun di lapisan terdalam sebuah karya selalu ada metafor yang menarik untuk diketahui. Semacam trivia, atau tebak-tebakan sore. Desa indah itu adalah si traumatis Spanyol yang baru saja habis digempur perang antar saudara. Sang ayah adalah Francisco Franco, pemimpin baru nasionalis Spanyol yang asyik mendikte negerinya sendiri tanpa peduli pada kebutuhan paling dasar rakyatnya. Ana, si anak kecil, adalah golongan muda yang tengah bergejolak dan seringkali terperangkap pada pemberontakan (atau: ilusinya) sendiri. Lalu simbol atas apakah si monster fiktif?

Bagi seorang anak kecil seperti Ana, monster fiktif adalah jawaban atas rasa penasarannya. Ketika ia mendengar dongeng tentang monster ciptaan Frankenstein dari kakaknya, Ana mempercayainya tanpa ragu. Ia mencarinya, dan dalam sebuah adegan digambarkan bahwa ia akhirnya bertemu dengan monster itu. Hal seperti ini tentunya hanya terjadi dalam karya fiksi, karena penonton tahu bahwa fantasi Ana adalah ilusi yang diciptakan oleh Mary Shelley sang penulis cerita, yang kemudian didongengkan kembali dalam bentuk film oleh James Whale di tahun 1931.

Monster fiktif bagi Victor Erice, secara simbolik merepresentasikan harapan masyarakat Spanyol pada masa regime Franco berkuasa. Rakyat yang tertekan (termasuk dirinya) memimpikan keberadaan sosok seseorang yang baik hati walau buruk rupa (kebalikan dari representasi Franco sebagai diktator fasis-nasionalis). Namun, seperti halnya monster ciptaan Frankenstein, harapan tidak akan membuahkan kebahagiaan bila ia diproyeksikan secara tidak manusiawi, larger than life. Bagi Victor Erice, premis semacam ini adalah cerita horor yang otentik.

Di awal bincang-bincang tentang proyek, Victor Erice yang mengidolakan film Frankenstein sejak kecil, diberi tugas untuk membuat sebuah film serupa dalam versi negeri Spanyol. Ia tentu menyambut gembira rencana ini, lalu dengan tekun mempersiapkan sebuah skenario. Saat persiapan produksi tengah berlangsung, tiba-tiba tim pendana menghentikan rencana tersebut karena kekurangan biaya. Suatu hari, ketika Victor Erice sedang tertunduk lesu di ruang kerjanya, ia terpana melihat potongan gambar dari film Frankenstein: si monster sedang berbincang penuh kasih dengan anak perempuan di tepi danau. Dalam pikirannya, berkelebatlah potongan-potongan cerita yang kemudian menjadi film The Spirit of the Beehive, sebuah kisah humanis tentang anak kecil yang berusaha menaklukkan fantasinya.

 



(salah satu adegan di film Frankenstein, James Whale, 1931)

Sama seperti Ana, Victor Erice juga berhasil menaklukkan fantasinya, berkonfrontasi dengan si monster fiktif. Walau hanya membuat dua film lagi dalam dua dekade setelahnya—The South (1983), Quince Tree of the Sun (1992)—Victor Erice selalu mampu membumikan harapan tiap-tiap karakter yang ia ciptakan. Dalam The South, seorang anak perempuan yang ditinggal mati sang ayah, berhasil memaknai kembali kehadirannya lewat perjalanan waktu dan ruang (ia melakukan perjalanan tapak tilas dari utara menuju selatan Spanyol). Dalam Quince Tree of the Sun, seorang seniman (diperankan oleh senimannya sendiri: Antonio Lopez Garcia) secara instingtif selalu berusaha melukis tanaman buah pir setiap musim gugur datang. Ia melakukannya tahun demi tahun hingga berusia senja, tanpa sadar benar atas tujuannya. Namun, Erice rupanya ingin menggarisbawahi bahwa tujuan tidaklah seberapa penting, selama kita mampu memaknai kehidupan dan bahagia atas keseharian yang kita jalankan.

Meskipun kisah-kisahnya bernuansa melankolik (anak yang ‘ditinggalkan’, pria tua yang hidup sendiri), Victor Erice tidak pernah jatuh sentimentil. Ia tidak mendengung-dengungkan kesepian juga mendewakan kesedihan. Seperti Ana dalam The Spirit of the Beehive, Erice selalu bergerak mencari, mungkin tanpa tujuan, mungkin hanya karena rasa penasaran. Dengan tekun dan tidak terburu-buru, Erice terus melakukan pencariannya. Karena dengan itu, ia berhasil menemukan. [AD]

The Spirit of the Beehive (El espíritu de la colmena)
Victor Erice, Spain, 1973
DVD, 95 min, Spanish with English subtitle.

Comments (0)

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Subscribe