Please select a page for the Contact Slideout in Theme Options > Header Options

Semalam Lagi Bersama Eliana

Semalam Lagi Bersama Eliana
04/12/2009

Sekitar tujuh puluh orang hadir saat Budi Warsito, pengelola Kineruku, membuka acara. Hujan turun rintik-rintik. Tidak besar, tetapi terasa. Hanya segelintir pengunjung yang duduk di atas karpet yang digelar di atas hamparan rumput, karena kebanyakan lebih memilih berdesakan di teras belakang yang dinaungi atap. Beberapa laron terbang di dekat layar. Perangkat pemutar film sudah diselubungi plastik.

“Mungkin kalau orang sebanyak ini berdoa bersama-sama dalam hati masing-masing, hujan nggak jadi deras,” tukas Budi, meyakinkan pengunjung serta dirinya sendiri.

Sabtu petang (28/11), di Jalan Hegarmanah 52, Kineruku Special Screening diselenggarakan dalam suasana nostalgia. Kineruku mengajak para penikmat film di Bandung menengok ke belakang, untuk sekali lagi melihat film Eliana, Eliana (2002) yang pernah berlayar di bioskop-bioskop Indonesia kurang lebih tujuh tahun silam. Menyimak kembali Eliana, Eliana, pengunjung tak hanya bisa melakukan retrospeksi terhadap karya-karya para pembuat filmnya, namun juga berkesempatan mengukur sejauh mana sejarah film Indonesia melangkah sejak dirilisnya film ini. Apalagi kali ini hadir pula pembuat filmnya: Riri Riza dan Prima Rusdi.

Jam tujuh malam para penonton lantas bertemu dan berkenalan lagi dengan Eliana (Rachel Maryam). Gadis itu baru saja menendang selangkangan laki-laki hidung belang yang mengganggunya di toko pakaian tempat ia bekerja. Alhasil ia dipecat, kehilangan penghasilan yang bahkan tak mampu menutupi pengeluarannya sehari-hari. Padahal hidup di ibukota tak gampang bagi Eliana, yang kabur dari rumah ibunya di Padang, dan dari pernikahan yang disiapkan untuknya selepas SMA. Di saat yang sama, Heni (Henidar Amroe), teman serumah yang sudah ia anggap seperti saudara sendiri, menghilang. Lalu bagaimana cara menghadapi pemilik rumah kontrakan, seorang laki-laki yang mengejar para penunggak uang sewa dengan sepeda motor? Ada jalan, tetapi berarti melanggar prinsip: ia bisa bekerja seperti temannya, Ratna (Marcella Zalianty), yang setiap malam bernyanyi di bar, menghibur para laki-laki, mungkin termasuk laki-laki yang siang tadi ditendang selangkangannya oleh Eliana.

Di tengah situasi tersebut hadirlah Bunda (Jajang C. Noer), ibu Eliana di Jakarta. Sosok Bunda yang mengenakan kain, mencari-cari alamat anak perempuannya di buku catatan bersampul batik, sungguh tidak cocok dengan hiruknya kota apalagi dengan keadaan Eliana saat ini. Pertemuan mereka berlangsung canggung. Tangan Bunda yang sudah terulur untuk dicium, dibiarkan saja oleh Eliana. Sebaliknya, cangkir teh buru-buru diangkat Bunda ketika Eliana hendak menyendokkan gula. Berbekal dua tiket pesawat pertama ke Padang, Bunda meminta putrinya itu pulang dan mempertanyakan apa yang dicarinya di kota ini. Eliana menghindar. Keduanya lantas berkeliling dengan taksi carteran mencari Heni di tengah gelapnya malam Jakarta.

Menyaksikan film ini, penonton memang akan merasakan eksplorasi media yang dilakukan sutradara Riri Riza. Gambar cenderung gelap dan bergoyang-goyang karena diambil kamera secara handheld. Namun yang paling menarik adalah bagaimana film ini menawarkan tema yang berlapis. Perjalanan Eliana dan Bunda memang satu malam saja, tetapi perjalanan itu mampu bercerita banyak. Penonton diajak meresapi hubungan ibu dengan anak (Bunda memiliki film ini sama besarnya dengan Eliana, keduanya diperankan dengan solid), kekuatan perempuan, kehidupan perantau di Jakarta, hingga soal pilihan-pilihan yang berujung pada kehilangan. Tak heran ketika film selesai masih banyak di antara mereka yang tetap duduk sembari berharap-harap cemas, semoga pertanyaan di benaknya akan terjawab di dalam diskusi.

Produksi dan Manifesto I-Sinema
Eliana, Eliana diproduksi dengan kesadaran bahwa film mesti menjangkau penonton. “Maksudnya masuk jaringan bioskop 21,” jelas Riri Riza. “Dulu di benak kami, film yang bisa masuk bioskop itu cuma filmnya Pak Teguh (Karya), Slamet Rahardjo. Garin Nugroho saja sudah susah. Tapi Kuldesak (1998) waktu itu berhasil masuk bioskop. Padahal bikinnya tanpa izin, masa produksinya 4 tahun, editing 1 tahun. Film itu sempat tersimpan di lemari, kalau nggak ada reformasi mungkin gagal. Dengan naiknya Kuldesak ada keinginan memunculkan lebih banyak film lagi.”

Setelah kesuksesan Petualangan Sherina (2000), Riri dkk. merasakan kebutuhan untuk membuat film yang “lebih personal, lebih susah, lebih nggak mungkin, dan lebih menantang dramanya.” Lantas mereka menggagas Eliana, Eliana. Prima Rusdi dan Riri Riza menulis skenario bersama. Semula film ini terdiri dari tiga babak dengan rentang waktu lima tahun kepergian Eliana dari Padang. Namun karena sebelum produksi Riri mendapatkan beasiswa penulisan skenario ke London, terjadi banyak perubahan saat produksi dimulai, baik dari segi pemeran maupun dari cerita. Diputuskan Eliana, Eliana hanya akan bercerita tentang satu malam. Film yang sekarang merupakan pengembangan 10 halaman terakhir dari skenario lamanya.

“Untungnya waktu itu belum ada ketergesaan. Yang penting jelas blue print-nya. Dulu orang nggak yakin dengan kamera digital,” ungkap Prima Rusdi. “Hebatnya, Riri nggak memaksakan kamera digital jadi seperti kamera beneran. Film ini sangat personal. Kalau ada gambar yang goyang-goyang bisa jadi itu bukan kebetulan. Konsekuensi dari semua itu adalah hasil akhir Eliana, Eliana harus sampai pada pencapaian terbaiknya.” Dan ketika film ini selesai diproduksi, Prima menyadari bahwa membuat film itu bukan hal bercanda atau main-main.

Eliana, Eliana merupakan salah satu film yang muncul sebagai bagian dari Manifesto I-Sinema. Manifesto ini lahir dari pencarian para pembuat film muda ketika itu atas sebuah gerakan (movement). Mereka merasa industri film Indonesia mengalami stagnansi, sehingga perlu ada gerakan estetika yang mengatur bentuk (form) film, seperti French New Wave atau Dogme 95. “Manifesto itu dibuat dengan banyak diskusi dan lebih banyak lagi minum kopi. Tempat-tempat ngopi yang dipilih juga eksklusif di Kemang. Artwork-nya dikerjakan Dimas Djay. Saking nyeni-nya sampai-sampai susah dibaca…” canda Riri.

Menjawab pertanyaan Adel tentang perbedaan bentuk yang disepakati Manifesto I-Sinema dengan bentuk pembuatan film Indonesia sebelumnya, Riri mengatakan, “Dulu batasan dalam membuat film itu banyak. Biaya produksinya meskipun bisa dibilang kecil, tetap saja mencapai ratusan juta. Ini sangat berpengaruh kepada style dan form film yang dihasilkan.”

“Terus apa pengaruh manifesto ini terhadap metafora yang digunakan di dalam film?” sahut Adel. “Apa I-Sinema masih ada sampai sekarang?”

“Nggak terlalu banyak,” jawab Riri. “Kalau French New Wave memang dipelopori para penulis jurnal film di sana, di Indonesia sulit menemukan formulasi melalui sebuah gerakan. Manifesto ini sekarang mungkin sudah jarang terdengar. Tapi orang-orang yang dulu ikut menandatanganinya masih kami ‘ganggu’ sampai sekarang. Kalau ketemu kami teriakin, ‘Kalian masih punya utang!‘”

Bahasa, Anak-Anak, dan Jakarta
Riri Riza membawa buku kecil untuk mencatat pertanyaan pada sesi tanya jawab. Sementara itu, Prima Rusdi tampak segar dengan rambut pendek, celana jeans, tas penuh pin, dan kacamata berbingkai merah. Duduk di atas sofa bergaris-garis vertikal, sesekali Riri bergurau, sesekali jawaban Prima melebar; tetapi mereka seolah tak pernah kewalahan menjawab pertanyaan penonton. Seperti ketika ditanyai Lodra tentang mengapa Eliana dan Bunda tidak berbahasa Minang.

“Karena saya bukan orang Padang… ” Riri berseloroh. Namun ia buru-buru serius, “Bahasa bisa jadi tools dalam pembentukan karakter. Tapi itu cuma salah satunya saja. Dulu bahasa Minang nggak digunakan pertimbangannya supaya penonton nggak melihat Eliana terlalu aneh. Mungkin kalau bikinnya sekarang, saya akan lebih berani bermain dengan bahasa.”

“Suku Padang itu termasuk suku yang paling sering dijumpai di Indonesia,” timpal Prima. “Mereka biasa merantau sambil membawa dapurnya. Kebudayaan nggak bisa dikenali secara sempit melalui bahasa saja. Ada banyak cara untuk bersentuhan dengan kebudayaan asing, misalnya makanan. Siapa coba yang belum pernah makan Nasi Padang?”

Penulis skenario yang sebelumnya bekerja di bidang periklanan ini juga menyinggung kekuatan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di Indonesia, tidak seperti India yang tak mempunyai bahasa pengantar. “Multikulturalisme di Indonesia bukan cuma sebuah konsep melainkan sesuatu yang memang ada. Saya berharap Eliana, Eliana menawarkan kompleksitas kebudayaan dan membuka dialog. Setelah menonton kita jadi berpikir lagi, kebudayaan Indonesia itu seperti apa?”

Lalu Ajad, seorang pengunjung, menjabarkan bagaimana anak-anak sering bermunculan dalam film-film Riri Riza. Mulai dari Petualangan Sherina, Untuk Rena, Laskar Pelangi, bahkan dalam Eliana, Eliana pun ada karakter anak-anak, “Apakah Mas Riri merasa tertarik dengan anak-anak?” tanya Ajad. Kontan saja pengunjung yang lain tertawa.

“Jelas saya suka anak-anak. Saya punya anak dua,” jawab Riri dengan bangga. “Waktu lulus dari IKJ, film dokumenter saya Sonata Kampung Bata juga memotret kehidupan anak-anak. Pada tahun ’90-an para pembuat film berbicara dengan bahasa simbolis. Anak-anak biasanya mewakili sesuatu yang bersifat simbolis itu.”

Officer Kineruku, Meicy, tak ketinggalan bertanya, “Kenapa lokasi yang dipilih adalah Menteng, Melawai, dan Blok M? Karena lebih urban?”

Menurut Riri daerah-daerah tersebut sangat penting untuk menunjukkan sisi gelap dari Jakarta. “Dulu saya kuliah di IKJ. Pagi, siang, dan malam di kampus selama lima tahun. Saya sering main di tempat kos teman, cari minum, ditunjukin tempat beli ganja…” Alhasil ketika syuting Eliana, Eliana, Riri mencari tempat yang ia kenal, “Dulu waktu latihan band sering main di situ. Kalau malam suasananya ramai, banyak perempuan-perempuan pegawai toko yang pulang kerja, pakai jaket. Mereka berbeda, tapi kelihatannya serupa. Sangat kuat sekaligus sangat rapuh.”

Riri menambahkan, karena penata kamera Eliana, Eliana, Yadi Sugandi dan Rahmat Syaiful menyukai pencahayaan alami, maka besar kontribusi cahaya juga menjadi salah satu pertimbangan dalam pemilihan lokasi, “Waktu syuting kami cuma bawa satu boom mic dan satu lampu. Sisanya cahaya lampu kota.”

“Lokasi-lokasi itu juga punya banyak sisi,” Prima angkat bicara. “Pagi-pagi ia jadi tempat di mana anak-anak berangkat sekolah, kalau malam lain lagi. Di Jakarta ada banyak kantong yang bisa kita buka. Bayangkan saja satu kota dengan 25 juta penghuni. Jadi semacam chaos yang terorganisir. Seperti ada perjanjian nggak tertulis di antara penduduk-penduduknya mengenai kapan mereka bekerja dan kapan mereka tidur.”

Ketika melihat film ini sekali lagi setelah tujuh tahun, Prima Rusdi merasa terharu karena lokasi-lokasi di dalamnya merupakan lanskap tempat ia tumbuh besar. Prima merasa ini merupakan bentuk pencatatan sejarah melalui media audio visual. “Restoran Padang yang di film itu sekarang masih ada,” katanya. “Warung Titi sudah nggak ada.”

Jakarta memiliki makna tersendiri bagi Riri Riza. Meskipun lahir di Makassar, ia menetap di Jakarta sejak berumur sepuluh tahun. Tinggal di daerah Tanjung Priok dan bersekolah di Rawamangun membuat Riri mesti berangkat sekolah pagi-pagi dengan bus. Ia masih ingat ibu-ibu yang membawa ember berisi ikan lele untuk dibawa ke pasar. Riri sadar betul Jakarta mengubahnya, “Jakarta bisa menjadi tempat yang keras, gelap, sekaligus penuh cahaya, tempat orang bisa mengembangkan kemampuan dan mencari kesempatan.”

Di adegan pamungkas film yang terang, penonton melihat Jakarta di pagi hari, berbeda jauh dengan Jakarta tempat Eliana dan Bunda bertualang. Eliana berjalan dengan kepala tegak. Meskipun sendiri, gadis itu tersenyum karena pilihannya. Kalaupun ia gagal, penonton tahu Eliana tak akan menyalahkan siapa-siapa. “Mungkin Eliana akan mengalami sesuatu yang baik di Jakarta,” gumam Riri Riza.

“’Mungkin’?”

“Ya. Kita nggak akan pernah tahu,” jelas Riri, tersenyum. “Karena kalau diperhatikan lagi, di adegan itu Eliana berjalan menjauhi kita, penonton.”

Ah, bisa saja Riri Riza ini.

Andika Budiman,
melaporkan dari Kineruku, Bandung

Trivia tentang Eliana, Eliana:
•    Syuting dilakukan selama 14 hari di bulan puasa, sudah termasuk Riri Riza berkeliling sendiri mengambil gambar dengan kamera DV.
•    Peran Eliana awalnya diplot untuk Ade Fitri Sechan.
•    ‘Soundtrack’ Prima Rusdi ketika menulis skenario film ini adalah album solo pertama Melly Goeslaw, Melly (1999).
•    Berhubung Eliana, Eliana banyak mengambil latar di daerah-daerah kantong Jakarta, para kru lantas melakukan ‘koordinasi’ dengan preman-preman setempat demi menjamin keamanan dan kelancaran proses produksi.
•    Salah satu inspirasi untuk karakter Bunda adalah seorang ibu dari Padang yang anaknya, seorang aktivis PDI Perjuangan waktu itu, hilang karena dituduh terlibat sebuah kerusuhan. Di film ada sekilas adegan seorang ibu bertanya di mana anaknya.
•    Meskipun DVD Eliana, Eliana tidak dirilis di Indonesia, tetapi DVD film ini dirilis di Amerika Serikat oleh Facets Video, salah satu produsen film asing terbesar di Amerika Serikat. Rumah Buku/Kineruku mengoleksi DVD ini.
•    Dalam closing credit Rachel Maryam menggunakan nama Rachel Sayidina.

 

 

suasana-screening suasana-diskusi suasana-diskusi2
suasana-diskusi4

Comment (1)

Pingbacks

  1. Author

    […] Sang Penari, tentunya), juga ada Impian Kemarau (tapi Ravi Bharwani sendiri malah nggak dateng!), Eliana, Eliana (ini personal favorite saya dan Ariani), Babi Buta yang Ingin Terbang-nya Edwin, dan lain-lain. […]

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Subscribe