Berikut ini adalah sebagian buku, musik, dan film yang baru tiba di koleksi perpustakaan Kineruku, pada November-Desember 2013. Selamat baca-dengar-tonton!
MUSIC.
Marcel Thee – With Strong Hounds Three (CD, 2012)
Setelah Sajama Cut, Marcel Thee mengutak-atik musik noise dalam proyek Roman Catholic Skulls (bersama Danif Pradana) dan memanipulasi bunyi-bunyian kaset untuk proyek ambient/drone Strange Mountain. Seolah tak cukup dengan kedua proyek musik “berat” tadi, ia juga meluncurkan album solonya—kali ini memakai namanya sendiri—berjudul With Strong Hounds Three. Semua komposisi lo-fi di album ini berlirik bahasa Inggris, dengan iringan musik gospel yang membuat kita berpikir bahwa katedral dan kamar tidur ternyata tak terlalu jauh berbeda. Ada 12 nomor yang hampir semuanya berkesan sendu, meski lagu “Party Drowned In Wine (1921-1942)” terdengar sedikit lebih ceria dengan selipan tepuk tangan di sela-sela gitar dan piano gospel. Liriknya (“I couldn’t sleep/ let alone stare at the darkness of every night/ it’s not enough…“) dilantunkan sedemikian rupa sehingga satu-satunya bagian dari elemen musik yang mestinya bisa terbangun sedikit terang malah menjadi semakin kelam (“..why do we cry each night?“). Kata “cry” dengan segala variannya bertebaran di beberapa lagu di album ini, termasuk di track favorit kami, “Night Surf”. Mungkin seperti penggalan puisi W.B. Yeats yang dicomot sebagai judul album, “We rode in sorrow, with strong hounds three..“, kejeniusan Marcel Thee justru terletak pada hasratnya untuk terus melaju—sekelam atau seberduka apapun perjalanan itu—dalam meramu musik, jika tak ingin disebut mencipta. Relijius dengan caranya sendiri.
[RA/BW]
Tigapagi – Roekmana’s Repertoire (CD, 2013)
Layaknya repertoar, Tigapagi pada album penuh pertamanya menghadirkan 14 lagu berturut-turut tanpa jeda. Dibutuhkan kejelian telinga untuk menandai perpindahan tiap lagu—jika tak ingin curang mengintip petunjuknya di sleeve yang cukup ribet—dari album yang dibangun dalam situasi September 1965 dengan tokoh utama bernama Roekmana. Dalam rilisan pers album ini, C. Mahmoed dan A. Poeri Handajani menulis dengan gaya ejaan lama (meski sebetulnya ejaan Van Ophuijsen sudah tak berlaku lagi sejak 1947), “…ada banjak tjeritera tentang pentjarian-pentjarian Roekmana jang soedah mentjapai oesia sendja.” Apa yang diharapkan dari pencarian itu adalah, “Roekmana mengidamkan negerinja ada dalam keadaan jang sesuai dengan makna namanja: tjemerlang.” Menggabungkan musik diatonik dan pentatonik (gabungan musik Barat dengan sentuhan musik Sunda) yang melenakan, repertoar ini didukung sejumlah musisi cemerlang seperti Firza Achmar Paloh dari Sore (yang juga adalah produser album ini), Ajie Gergaji dari Themilo, Cholil Mahmud dari Efek Rumah Kaca, dan Ida Ayu Made Paramita Sarasvati dari Nadafiksi (apakah kita berada di The Cranberries ataukah mereka mengundang vokalis The Cranberries?). Departemen lirik bakal lebih kuat andaikan mereka teguh memilih bernyanyi dengan bahasa ibu saja. Soal muatan tema 1965 yang sebetulnya tak cukup matang untuk menopang konsep album baik secara isi maupun kemasan, di komposisi terkuat “Batu Tua” entah dia sadari atau tidak, frontman Sigit Agung Pramudita sudah melantunkan “tetap menjadi jingga/ meski lelah kau mencoba“. Jika saja Tigapagi lebih fokus mendengarkan diri mereka sendiri dan tak terlampau keras mencoba memaksakan segala embel-embel itu, repertoar ini bakal lebih murni memancar. Setidaknya ini album pengantar tidur yang mujarab.
[RA/BW]
BOOKS.
Publik dan Reklame di Ruang Kota Jakarta
(ruangrupa, 2013, xxvii + 269 halaman)
Penyunting: Ardi Yunanto, Robin Hartanto, Leonard Bartolomeus
Penulis: Amalia Handayani, Erni Setyowati, dan Rival Ahmad, Ardi Yunanto, Leonhard Bartolomeus, Robin Hartanto, Yuka Dian Narendra
Rencana pemerintah Jakarta: billboard bakal dibasmi dan diganti dengan reklame LED yang menggunakan teknologi video agar wajah kota lebih teratur dan pajak lebih mengalir. Tetapi, apakah dengan begitu reklame di ibukota akan berkurang? Pun, apakah warga kota selama ini ingin melihat reklame sebagaimana pengiklan ingin reklamenya dilihat oleh calon konsumennya? Persoalan menjadi semakin pelik, ketika banyak reklame selain billboard yang turut menyewa ruang privat warga—ruang terakhir yang bisa dipertahankan warga dari dominasi kepentingan segelintir pihak yang seolah tak pernah merasa cukup hanya dengan mendiami ruang publik kota. Buku yang diterbitkan oleh ruangrupa, hasil penelitian jurnal Karbon dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia ini menelusuri masalah reklame di ruang kota Jakarta, yang sebetulnya telah mengakar puluhan tahun lamanya, melewati sekian masa jabatan gubernur. Berisi lima tulisan (dari tujuh penulis yang sekaligus menjadi peneliti bersama tiga peneliti lain) dan puluhan foto berwarna dan hitam putih (diambil pada Juli-September 2013) yang merekam kondisi reklame di Jakarta, buku ini menunjukkan bahwa ada yang selama ini luput diperhitungkan dari persoalan reklame di Jakarta. Terutama jika mengingat bahwa dari setiap reklame yang didirikan, ada ruang publik yang digunakan, dan ada hak warga yang diabaikan.
[dari kutipan di sampul belakang buku, dengan sedikit tambahan]
Memuliakan Penyalinan: Bagaimana Penyalinan Bekerja dan Menjadi Dasar Hidup Manusia
(Marcus Boon, KUNCI Cultural Studies Center, 2013, x + 304 halaman)
Selain hukum dan stigma yang melekat padanya, budaya kontemporer dipenuhi hasil penyalinan yang bisa ditemukan di mana saja. Mulai dari dompet Louis Vitton sampai Harry Potter dan hip-hop: sebut apa saja dan kemungkinan besar ia telah disalin di suatu tempat, dengan suatu cara. Namun sebagai konsep filosofis, penyalinan tidak dipahami dengan baik. Bekerja secara komparatif melintasi budaya dan waktu, Marcus Boon melakukan pemeriksaan mengenai arti penyalinan—lewat tinjauan sejarah, budaya, filosofis—dan bagaimana ia menimbulkan ketakutan dan menarik perhatian kita. Dia berargumen bahwa perkembangan hukum, kekayaan intelektual telah mengacuhkan proses imitasi yang lebih luas dan yang turut menyusun komunitas manusia serta terus membentuk berbagai bentuk subkultur saat ini. Boon mendiskusikan sikap penolakan terhadap penyalinan yang ada di berbagai masyarakat, menelusurinya kembali pada ketakutan terhadap kefanaan dan transformasi, dan mengajukan model filosofis untuk berdama dengan ketakutan tersebut. Menelusuri seni kontemporer, musik dan film (ada bagian yang membahas mixtape, mix-CD dan playlist iTunes), sejarah estetika, teori kritis, dan filsafat Budha, buku yang dalam bahasa aslinya berjudul In Praise of Copying (2010) ini berupaya menunjukkan bagaimana penyalinan bekerja, mengapa ia menjadi aktivitas fundamental manusia, dan apa yang dipertaruhkan secara politis dalam cara kita melihat penyalinan di era globalisasi.
[dari kutipan di sampul belakang buku, dengan sedikit tambahan]
Kamus -Isme -Isme
(Yapi Tambayong, Penerbit Nuansa Cendekia, 2013, 368 halaman)
Nantikan wawancara dengan penulis buku ini di web Kineruku ini. Segera!
Pakkurru Sumange’: Musik, Tari, dan Politik Kebudayaan Sulawesi Selatan
(R. Anderson Sutton, Penerbit Ininnawa, 2013, xx + 338 halaman)
Buku ini melacak sejarah seni pertunjukan Sulawesi Selatan mulai 1940-an hingga tahun-tahun menjelang pergantian milenium, sekaligus menceritakan pada kita bagaimana tradisi musik dan tari itu berkembang dari praktik-praktik ritual masa lampau sampai menjadi acuan dalam seni avant garde. Sang penulis, Anderson Sutton, menuntun kita menuju sebuah kaleidoskop sejumlah acara pertunjukan di Sulawesi Selatan, menelusuri kedalaman bunyi-bunyian, struktur-struktur, dan kekuatan simbolik dari sinrilik (lagu dan syair epos berbahasa Makassar), lagu-lagu liris yang diiringi kacaping, dan permainan gendang, sekaligus melacak perkembangan musik pop kawasan ini. Diterbitkan pertama kali dalam bahasa Inggris dengan judul asli Calling Back the Spirit: Music, Dance, and Cultural Politics in Lowland South Sulawesi pada 2002, buku ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Anwar Jimpe Rachman. “Setiap ahli Indonesia harus punya buku ini, dan bukan hanya bagi mereka yang tertarik pada budaya musik atau pertunjukan. Buku ini memuat beberapa soal penting mengenai ketegangan-ketegangan yang mendasari Indonesia kontemporer,” demikian Benjamin Brinner, Guru Besar Etnomusikologi, University of California, Barkeley. Sementara Andrew N Weintraub, seorang profesor musik dari University of Pittsburgh yang menulis buku Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia mengatakan, “Pemahaman Sutton mengenai sistem kesenian dan pendidikan di Indonesia tak ada bandingannya dalam kajian Indonesia.”
[dari kutipan di sampul belakang buku, dengan sedikit tambahan]
FILMS.
Sex, Lies, and Videotapes
(Steven Soderbergh, 1989, DVD, 100 menit, berwarna, English)
Pembohong adalah tipe manusia kedua paling hina di dunia setelah pengacara, demikian kata Graham (James Spader), seorang pembuat video, pada sebuah makan malam yang kikuk dengan teman lamanya, John (Peter Gallagher) dan istrinya, Ann (Andie MacDowell). Sejak Graham tiba satu per satu perilaku busuk pasangan ini terhadap perkawinannya sendiri mulai terkuak. John, seorang pengacara, rutin meniduri adik istrinya, Cynthia (Laura San Giacomo), sementara Ann mulai terpikat pria lain, dan serapi apapun kebohongan itu coba disimpan, semesta tetap akan membongkarnya—dengan cara apapun dan seringkali tak terduga. Film independen ini adalah debut Steven Soderbergh, yang ditulisnya selama hanya delapan hari, dengan syuting lima minggu saja. Dialognya blak-blakan (“I think that sex is overrated. I think that people place far too much importance on it.“) dan intens (“Being happy isn’t all that great. I mean… the last time I was… really happy… I got really fat.“). Mengangkat perilaku unik manusia yang seringkali justru bisa lebih jujur pengakuannya saat direkam kamera, film ini mengupas sisi-sisi kelam hubungan antarmanusia (suami-istri, adik-kakak, teman, dsb) modern hari-hari ini. Menyabet Palme d’Or di Cannes Film Festival 1989.
[RA/BW]
L’Atalante
(Jean Vigo, 1934, DVD, 89 menit, hitam putih, berbahasa Prancis dengan English subtitle)
Bukan perkara gampang, menampilkan kisah cinta yang tak biasa namun berjalan seperti biasa dalam sebuah film. Jean Vigo pernah berkata “It takes two pairs and three metres of film to come together, and almost as many to come unstuck again.” Sebagaimana Eyes Wide Shut-nya Kubrick beberapa dekade kemudian, L’Atalante mempertunjukkan jalinan asmara lewat petualangan yang seru: pasangan suami istri baru, Jean dan Juliette, berbulan madu menyusuri perairan Prancis—sang pengantin perempuan bahkan masih mengenakan gaun pernikahannya saat naik ke kapal. Selanjutnya justru keganjilan-keganjilan yang terjadi, dari si nakhoda, para kru, plus enam ekor kucing. Juga temuan-temuan aneh seperti jari yang diawetkan dalam toples, mencuci pakaian yang entah berapa tahun tak bertemu air, sekujur badan dipenuhi tato, seorang pesulap yang mengajak dansa, dan perpisahan demi perpisahan. Meski visualnya tampak puitis, ritme film ini sungguh ekspresif sekaligus mencengangkan. Jean Vigo meninggal muda akibat TBC di usia 29, hanya beberapa bulan setelah film ini diluncurkan, namun karyanya akan terus abadi. Buku terkenal Madonna, Sex, konon terinspirasi dari tokoh Juliette di film ini. Dedengkot French New Wave, Francois Truffaut, yang masih berusia 14 tahun saat pertama kali menonton film ini di sebuah sore pada 1946, mengaku “When I entered the theater, I didn’t even know who Jean Vigo was. I was immediately overwhelmed with wild enthusiasm for his work.”
[RA/BW]
* * *