Alkisah di Negeri Jiran, berdirilah sebuah ‘kedai gambar’ legendaris. Menempati bangunan tua serupa toko-toko kuno yang biasa dijumpai di pecinan, studio foto itu belum kehilangan pengunjungnya. Rupanya si laki-laki tua pemiliknya mewarisi kamera ajaib yang bisa memotret object of desire dari hati setiap kliennya. Klien akan pulang dengan senyuman jika wajah yang muncul di foto sesuai keinginan, tetapi ada juga yang berurai air mata mendapati laki-laki yang dicintai ternyata mengharapkan perempuan lain.
Kadang-kadang si pemilik kedai juga memotret dirinya sendiri; melengkapi koleksi foto-foto perempuan yang ia harapkan akan mengisi hidupnya. Suatu hari, seorang wanita dalam foto datang ke kedai. Tentunya ia tak bermaksud mengisi hidup si laki-laki tua. Namun seperti semua pengunjung yang lain, wanita ini ingin tahu siapa laki-laki idamannya. Setelah foto dicetak, si pemilik kedai duduk dengan tampang merana. Jelas bukan ia yang ada di dalam foto si wanita. Saat itu berderailah tawa penonton yang terlarut dalam alur film Focal Point.
Focal Point (Khatami, Seiffouri, 2009) adalah wakil Malaysia dalam program SEA Scope, pemutaran film-film Asia Tenggara di Rumah Buku/Kineruku. Kali ini keluarga merupakan tema besarnya. Programmer acara, Elida Tamalagi, berujar, “Masyarakat Asia Tenggara sangat kental dengan kehidupan keluarganya. Keluarga menjadi pertahanan terakhir kita dalam menghadapi berbagai isu-isu yang beredar, termasuk globalisasi.” SEA Scope ingin mengajak penonton mengamati bagaimana kehidupan berkeluarga mereka direpresentasikan di film-film yang ditayangkan. Pemutaran film ini terselenggara berkat kerjasama Kineruku dan Kinoki.
Jumat malam (6/8), pemutaran Ang Nerseri (Acedillo Jr., 2009) membuka program SEA Scope di Bandung. “Film ini menampilkan keluarga dengan anggota yang cukup lengkap,” ujar Elida. Film feature produksi Filipina ini bercerita tentang keluarga seorang janda beranak empat. Tiga di antaranya memiliki gangguan mental menurun. Hanya si bungsu Cocoy yang masih kelihatan waras. Meskipun hidup berkecukupan, keluarga ini kerap tersudutkan setiap kali mencoba berbaur dengan lingkungan di sekitarnya. Koleksi anggrek menjadi pelarian bagi sang ibu. Si anak bungsu mesti melewati masa pubertasnya sendirian. Suatu hari ibunya meninggalkan rumah, Cocoy pun mendapat beban berat mengurusi kakak-kakaknya.
Menonton Ang Nerseri, sulit untuk tidak memperhatikan warna-warnanya. Hingga menjelang akhir film, penonton hanya melihat warna hitam, putih, biru dan hijau. Kesannya muram. Alur film bergulir dari satu kemalangan ke kemalangan yang lain, tetapi tak ditemukan alasan yang jelas mengapa kemalangan itu memang perlu. Meski demikian, ada sebuah adegan berkesan di mana kamera menyorot dua ruangan sekaligus. Di ruang keluarga si ibu berbicara di telepon, sementara di kamarnya Cocoy mendengarkan dengan wajah yang tak terlalu senang. Walaupun hanya dipisahkan tembok tipis, terbentang jarak nyata di antara mereka. Film ini pernah diputar pada Cinemalaya Phillipine Independent Film Festival.
Film Pendek dan Diskusi di Hari Kedua
Keesokan harinya, sekitar tiga puluh orang duduk di teras belakang Rumah Buku/Kineruku, meningkat dari jumlah hadirin di hari pertama. Semua pandangan tertuju pada tembok putih tempat film diproyeksikan. Untuk hari kedua, Elida Tamalagi telah mempersiapkan deretan film-film pendek pilihan. “Semua film lambat dan minim dialog,” ujarnya, menyiapkan mental penonton. “Mungkin agak dragging.”
Limang Libo (Idanan, 2009) mengawali pemutaran pada malam itu. Berdurasi sepuluh menit, film produksi Filipina ini menangkap pertemuan garis kehidupan dua manusia dengan penuh ketegangan. Susan adalah seorang bidan yang terlilit utang. Ingin ia berbicara dengan putranya. Namun panggilan teleponnya tak kunjung diangkat. Ada juga Manuel yang istrinya sedang hamil tua. Keadaan jungkir balik saat istri Manuel mengalami pendarahan di usia kandungannya yang baru delapan bulan. Pasangan suami istri itu bergegas ke rumah Susan. Terdesak kebutuhan ekonomi, Susan dan Manuel melakukan kejahatan yang memengaruhi kehidupan satu sama lain.
Judul film selanjutnya barangkali menggambarkan situasi pemutaran film kali ini: Hujan Tak Jadi Datang (Noen, 2009). Cuaca bulan Agustus yang belum menentu membuat acara menonton bersama urung dilakukan di ruang terbuka, tak seperti biasanya. Padahal, malam itu hujan tak jadi datang. Film ini mengikuti gerak-gerik dua pegawai toko mebel, laki-laki dan perempuan, ketika mengantarkan dagangan ke sebuah penginapan. Meskipun kewalahan mengangkat sofa yang berat, mulut keduanya terkunci. Nyaris tak ada kontak mata. Penonton dibuat menduga-duga apa sebetulnya yang terlintas di benak mereka. Terantuk di lorong yang kelewat sempit, sofa pub dibiarkan saja di sana. Dua pegawai toko itu kemudian mendinginkan diri di sebuah kamar berkipas angin. Ketika mereka saling bercakap, jelaslah bahwa si perempuan telah bersuamikan laki-laki lain. Pintu kamar lantas ditutup.
Apabila Malaysia menggelitik penonton dengan Focal Point, Singapura hadir dengan Outing (Wei, 2009) yang mengharu biru. Begitu terbangun pagi-pagi, seorang anak kecil melihat jam yang ia gambar sendiri di tangannya. Sementara di dapur bermotif bunga, kakeknya membuat empat gelas susu cokelat. Padahal mereka hanya berdua. Saat matahari naik, keduanya keluar rumah, berjalan-jalan di trotoar seperti mencari sesuatu, tetapi apa? Orangtua yang hilang? Anak yang hilang? Sempat mereka mengunjungi taman rindang. Si kakek membawa balon kuning dan si cucu berlari-lari mengejarnya. Saat matahari turun, si kakek mengantarkan cucunya ke panti asuhan. Rupanya itulah hari terakhir mereka bersama.
Limang Libo, Hujan Tak Jadi Datang, Outing, Focal Point, dan Kuda Laut adalah beberapa film yang tahun lalu mengisi program SEA Shorts di Cinemanila International Film Festival. Limang Libo, Outing, Focal Point, dan Kuda Laut bersaing di sesi kompetisi, sedangkan Hujan Tak Jadi Datang diputar dalam sesi ekshibisi.
Saat diskusi digelar, moderator Ariani Darmawan berusaha merunut benang merah dalam film-film yang baru saja disaksikan hadirin. Seperti yang diwanti-wanti sang programmer menjelang pemutaran, semua film memang sunyi, tidak banyak berdialog. “Ada banyak adegan-adegan di mana kameranya diam,” cetus Ariani. “Apakah ini terkait dengan budget yang terbatas? Atau treatment seperti ini memang diperlukan buat mengangkat tema keluarga?”
“Di satu sisi, keterbatasan anggaran tentu berpengaruh,” sahut Elida. “Tapi di sisi lain, para pembuat film memang ingin berkomunikasi lewat kesunyian. Kamera yang diam memberi penonton kesempatan buat menyimak banyak detail. Detail-detail itulah yang membantu penonton menangkap atmosfer yang berusaha disampaikan si pembuat film.”
“Lalu ke mana keriuhan khas Asia Tenggara?” tanya seorang penonton. “Misalnya tawar-menawar di pasar?”
“Keriuhan itu biasanya muncul pada film-film feature, karena buat produksi film pendek blocking suaranya susah,” jawab Elida. “Kalau pembuat film pendek mau syuting di warung kopi siang-siang, mereka harus bisa mengatasi hambatan-hambatan yang pasti akan muncul: kegaduhan yang nggak perlu, orang-orang yang menonton syuting, dan masih banyak lagi. Mereka juga mesti memikirkan apakah usaha-usaha itu memang sepadan dengan hasil yang ingin dicapai.”
Rara, seorang penonton, menyampaikan kesannya: “Film-film pendek tadi sudut pandangnya nggak sering kita lihat di televisi. Nggak mainstream, metaforis, dan banyak memunculkan interpretasi. Setelah nonton, saya jadi berpikiran jangan-jangan di sekitar kita juga banyak yang seperti itu.”
Diskusi berlanjut dengan pembahasan tema. “Dari film-film ini kita melihat semuanya bertemakan keluarga, kesepian, dan rasa tidak puas terhadap apa yang dimiliki. Apa Asia Tenggara memang seperti ini? Apa betul representasinya seperti ini?” tanya Ariani. Ia lalu menumpahkan unek-uneknya saat menyaksikan program film Asia Tenggara di sebuah festival. “Temanya semua mirip-mirip. Kesepian, kemiskinan. Saya curiga ini karena programmer–programmer festival seleranya memang begitu. Jangan-jangan ini akan membuat filmmaker berpikir kalau mau filmnya diputar di festival, dan dapat pendanaan, maka dia harus membuat film dengan tema-tema seperti itu.”
Biasanya penggemar film berkesimpulan bahwa film-film yang baik adalah film yang masuk festival. Akan tetapi, festival film mempunyai berbagai kepentingan dan tujuan yang berbeda satu sama lain. Para programmer-nya memilih film berdasarkan kepentingannya: selera dan interpretasi mereka masing-masing terhadap tujuan festival. “Sifatnya memang subyektif,” komentar Elida. “Dalam festival film besar, panitia mesti berpikir bagaimana bangku-bangku bioskop terisi dengan penonton. Mereka harus melayani penonton-penonton itu.”
Industrialisasi, perdagangan bebas, ataupun perubahan iklim kerap disebut-sebut sebagai sumber dari permasalahan manusia masa kini: kemiskinan struktural, alienasi, dll. Dengan latar belakang begitu, tak heran apabila di mata para programmer tema-tema tersebut menjadi eksotis dan menggairahkan. “Apalagi Asia Tenggara adalah pasar terakhir produk-produk Barat,” lanjut Elida. “Inilah yang kemudian membuat film-film dari kawasan ini sangat penting. Penonton festival penasaran terhadap apa yang terjadi di sini.”
Beberapa tahun terakhir, sejumlah film dan pembuat film dari Asia Tenggara mendapatkan tempat terhormat di berbagai festival film bergengsi. Misalnya saja Apichatpong Weerasethakul yang menjadi anak emas di Cannes International Film Festival. Tahun 2002, filmnya Blissfully Yours memenangkan penghargaan Un Certain Regard, diikuti dengan Tropical Malady yang meraih Jury Prize dua tahun setelahnya. Puncaknya adalah tahun ini, saat film terbaru sutradara Thailand ini, Uncle Boonmee Who Can Recall His Past Life, dianugerahi penghargaan tertinggi, Palm d’Or. Ini bisa menjadi hal yang membanggakan, “Tapi kita nggak boleh melupakan konteks masing-masing,” pesan Elida.
Special Screening: Kuda Laut
Selain program SEA Scope, dalam kesempatan ini diputar juga film pendek Kuda Laut yang bertema homoseksualitas. Selain berkompetisi di Cinemanila, sejak tahun lalu film ini telah bergerilya ke acara pemutaran film di berbagai kota di Indonesia, termasuk Q! Film Festival di Yogyakarta. Malam itu penonton di Bandung kebagian tiket istimewa menyaksikannya sambil ditemani sang sutradara, Shalahuddin Siregar.
Kuda Laut merekam ujung kebersamaan dua lelaki gay: Aji dan Bayu. Salah satu di antara mereka akan menikah untuk memenuhi tuntutan sosial. (Bukankah para lajang di usia tiga puluhan sering ditanyai kapan mereka akan menikah?) Selama empat tahun, pasangan ini memiliki kebiasaan eksentrik yang menandai hubungan mereka. Aji merendam jemari Bayu, mengguntingkan kukunya, menghandukinya, sebelum akhirnya mengoleskan lotion. “Giliran kamu,” katanya setiap kali ‘ritual’ itu usai. Bayu lantas bersila, bersiap-siap melakukan gerakan rahasia yang baru diketahui penonton pada penghujung film.
Di saat-saat terakhirnya, baik Bayu maupun Aji menjalani hari layaknya biasa. Mereka bangun tidur, membaca, bekerja, duduk berdua di halaman, melakukan perjalanan pulang dengan kereta, dan begitu seterusnya. Tak ada tangis, tak ada tindakan drastis demi mempertahankan yang lain, tak banyak kata-kata. Mungkin keduanya akan lebih cerewat seandainya tidak akan cepat-cepat berpisah. Inilah yang membuat kehadiran perpisahan menjadi tak terbantahkan. Baunya merebak dari layar, membuat sesak dada siapapun yang menghirupnya.
Shalahuddin Siregar, akrab dipanggil Udin, mengaku membuat Kuda Laut karena jenuh dengan tema homoseksual dalam film-film Indonesia. “Semuanya masih di sekitaran coming out.” Alih-alih menyampaikan perasaan kesepian melalui aksi, laki-laki berkacamata ini berupaya menyampaikannya dengan kekosongan dan kesunyian ruang. Sebagian besar gambar film ini diambil di rumah Elida Tamalagi. Dalam produksi Kuda Laut, programmer SEA Scope ini terlibat sebagai produser, artistik, koordinator aktor, dan cameo. Di credit title, nama belakang Elida berganti menjadi Dialagi.
Menanggapi film ini, Mudin Em, yang aktif dalam penyelenggaraan Q! Film Festival meresensi, “Menonton Kuda Laut, memang agak sedikit keluar dari suasana kehidupan gay yang umumnya dikenal: kehebohan pakaian, pesta pora, dan kebebasan seksual. Kuda Laut berjalan lambat. Tak ada adegan sensual atau pesta. Hanya adegan memotong kuku dan membersihkan telapak tanganlah yang membuatnya menjadi sangat gay.” Em yang juga ikut dalam diskusi bercerita, “Waktu pemutaran film ini, beberapa penonton kecewa karena nggak ada adegan panasnya.”
Dapat dikatakan pendapat Em mewakili penonton yang menyukai Kuda Laut. Namun, ada juga Alburhan yang mengaku kelewatan makna beberapa adegan dalam film ini. “Saya belum bisa menangkap adegan pandang-pandangan di ranjang,” ujarnya. Kendati demikian, ia menyenangi tema kesepian dalam semua film yang diputar malam itu.
Kuda Laut merupakan film pendek naratif pertama Udin. Sebelumnya, penyuka film-film Takeshi Kitano ini pernah membuat film dokumenter dan menyambung hidup dengan menjadi fotografer pre-wedding. Edwin, dari Storylab, tertarik dengan t-shirt seorang penumpang kereta api yang duduk di sebelah Bayu. T-shirt itu bertuliskan, ‘Tuhan, agamamu apa?’ “Apakah ini disengaja?” tanyanya. “Saya malah baru menyadari itu waktu proses editing,” jawab Udin.
Kuda Laut berakhir dengan adegan Aji yang mengumpulkan potongan kuku-kuku Bayu sambil membatin, “Aku ingin menjadi kuda laut. Sebab pada mereka, laki-lakilah yang mengandung.” Adegan siraman—saat kaki Bayu dicuci oleh perempuan pengantinnya—menjadi adegan yang paling menohok. Ritual siraman mengandung makna luhur pengabdian istri kepada suami. Namun, bukankah Bayu dan Aji sudah memiliki ritual mereka sendiri? Bukankah keduanya bisa dihayati dengan sama? Rasanya campur aduk melihat ritual yang sifatnya personal mesti mengalah dari ritual yang lebih mengakar, seakan memang hanya ada sebuah cara untuk melakukan sesuatu. Lebih-lebih lagi melihat betapa tenangnya pasangan ini menyongsong hari perpisahan, seakan waktu pertama kali bertemu mereka sudah tahu kalau hubungannya akan berakhir seperti ini.
“Sebetulnya,” ujar Udin, “Konsepnya memang begitu.”
Lengkaplah sudah.
[Andika Budiman]