Rushmore | Wes Anderson, USA, 1998, 93 menit, DVD.
“A calculated campaign of distraction from genuine pain,” demikian salah satu ulasan tentang Rushmore, film kedua Wes Anderson yang juga menjadi favorit Martin Scorsese di era ’90-an. Saya sepakat: kalimat itu sangat tepat mendeskripsikan visi Anderson sebagai filmmaker.
Anderson adalah sutradara yang sering dijuluki auteur generasi baru, pujaan para hipster dan penggemar budaya pop nomor satu dengan segala referensi yang dijejalkan di film-filmnya. Film Anderson pertama yang saya tonton adalah The Royal Tenenbaums (2001). Boleh jadi ini filmnya yang paling populer, meraih nominasi Original Screenplay terbaik di ajang Academy Awards. Awalnya saya masih kurang ngeh dengan kejeniusan dia. Sampai akhirnya saya menemukan Rushmore, film yang membuat saya terpesona pada kegilaan seorang Wes Anderson.
Di tradisi penulisan tentang sesuatu yang dikagumi, tak jarang si pencerita akan memulainya dengan kata-kata semacam “Saya ingat sekali ketika pertama kali menemukan film ini, di sebuah sudut bla bla bla, ketika itu bla bla bla” Jujur saya lupa bagaimana persisnya bertemu dengan film ini. Sekelebat saja: sekitar setahun lalu saya masih sering berkunjung ke rental VCD, dan dari situ banyak film yang saya lahap. Karena saya tipe magazine freak, biasanya judul-judul film yang saya pilih minimal pernah dibahas di sebuah majalah film, dipuji habis-habisan, atau disebut-sebut ‘sangat berpengaruh’. Bacaan saya ketika itu majalah film Indonesia yang super-hollywood-sentris, dengan judul-judul yang sudah tertebak dan bintang-bintang ternama. Anehnya saya malah tertarik dengan sebuah film di seksi komedi. Cover-nya keren, seorang anak usia sekolah yang bersemangat diilustrasikan bagai tokoh pejuang macam Che Guevarra. Seperti biasa, saya cari tahu dulu, siapa sutradaranya. Wes Anderson. Siapa dia? Saya kurang ingat kenapa saya akhirnya memutuskan untuk menyewanya. Padahal banyak film yang lebih terjamin mutunya, sementara judul film Rushmore malah tak banyak disebut di majalah film atau teman-teman saya sesama pecinta film, waktu itu.
Tapi begitu selesai menyetelnya, saya langsung jatuh cinta.
Filmnya lucu, nyeleneh, saya langsung merasa terhubung. Rushmore adalah kisah segitiga antara seorang anak sekolah usia 15 tahun yang kelewat ambisius, ibu guru muda yang baru beberapa tahun ditinggal mati suaminya, dan seorang taipan yang kehidupan keluarganya sungguh menyedihkan (istrinya terang-terangan selingkuh, anak-anaknya bandel minta ampun). Adegan per adegan semuanya cool! Syarat yang saya buat sendiri: film yang baik bagi saya adalah film yang terlihat keren, hingga kadang tak perlu cerita mendalam. Sederhana saja, tapi langsung menarik perhatian dengan gayanya. Pembukanya langsung menyentil: Max Fischer (diperankan dengan sangat baik oleh Jason Schwartzman) menjawab soal geometri tersulit di dunia, dan akhirnya mendapati bahwa itu semua cuma mimpi.
Sepanjang film, saya disuguhi kenikmatan tak terkira dengan adegan-adegan yang sulit dibayangkan, tapi ada sesuatu yang tersisa, sebuah kegelisahan! Ini jelas bukan komedi biasa, ada sesuatu di dalamnya. Semua tokohnya tidak berusaha melucu. Mereka adalah orang orang yang kehidupannya kacau balau, dan ketika batas-batas pengaman roboh, ketidaknyamanan langsung menyelimuti. Max sedang dalam proses dikeluarkan dari sekolah, nilai pelajarannya jeblok, kegiatan ekskul-nya bejibun, membuatnya tak dapat berkonsentrasi. Tiba-tiba dia menemukan kutipan di sebuah buku yang dibacanya di perpustakaan, “When one man, for whatever the reason, has the ability to lead an extraordinary life, he has no right to keep it to himself.” Seorang perempuan cantiklah yang menulisnya, sehingga dengan mudah Max terpikat. Max pun mulai meragukan nilai-nilai kenyamanan yang selama ini dia anut, juga kecintaan terhadap sekolahnya. Ketika benteng kokoh itu hancur lebur, kegamangan pun tak terbendung. Ketika cintanya ditolak, kehidupan normalnya terganggu. Dia pun dipaksa lagi menyusun kembali benteng kokoh yang selama ini dia percayai.
Begitu juga, Rosemary Cross (Olivia Williams), yang menjadi sang object of affection-nya Max. Ketika seorang lelaki yang dianggapnya sebagai teman menyatakan perasaannya, ia menolaknya. Sebuah persahabatan pun hancur. Herman Blume (diperankan Bill Murray dengan raut mukanya yang khas), yang hidupnya memang sudah rusak, menemukan Cross yang dianggapnya sebagai jalan keluar. Dan itu berarti harus mengorbankan Max, yang meski usianya terpaut jauh, dianggapnya lebih sebagai teman, bukan anak. Ditambah Cross yang memberi angin ke arah Blume. Ketika Max mengetahuinya, adegan balas dendam yang sangat terkenal itu pun terjadi. Ada kekesalan, ketidakpedulian, sikap kekanak-kanakan yang dikemas dengan rentetan adegan yang mengundang tawa. Meski bagi saya, itu jenis tawa yang sedih. Komedi itu pahit, Bung! Puing-puing perasaan itulah yang membangun ketiga tokohnya, untuk mencapai fase baru dalam hidup. Sebuah kesadaran baru, betapa hidup ini memang tidak selalu seperti yang kita impikan.
Film ini terasa sangat dekat, karena saya juga mengalami hal-hal yang terjadi di film itu. Usia Max Fischer pun tidak jauh berbeda dengan saya. Ambisius, angkuh, dipuji atas talentanya tapi tak sanggup mengatasi problema personal; berani, blak blakan, dan spontan adalah segelintir sifat si tokoh utama tersebut. Belum lagi konflik dari luar: kekaguman terhadap perempuan yang umurnya lebih tua, ketidakharmonisan dengan orang tua, cinta segitiga, pengkhianatan teman, dan sekolah yang berantakan. Bedanya, mungkin, Max sudah mencapai ending dari kisahnya, dan dia mendapatkannya dengan kebahagiaan. Sementara saya, jalan menuju ujung masih panjang, dan film ini akan terus saya kenang.
[Ivann Makhsara]
Newer
<b>Jens Lekman</b> - Night Falls Over Kortedala (2007)
Older
<b>Di Bawah Lapisan Es</b> (Unter Eis) | a Multimedia Theatre
Comments (7)
Blm pernah ntn Rushmore, tp jd penasaran. reviewnya asik, sptnya yg menulis ‘dekat’ bgt dgn cerita filmnya
Halo, Rumah Buku. Terima kasih sudah mau memuat tulisan saya ya. Teman-teman, tontonlah film ini. Saya jamin menarik!
well Vann, you’re really into it banget ya.. salute, i like the way you write and explain anything. Trus sekarang kalo mau cari film nya ke mana kah? 1998 —-> was like 11 years ago…
tulisan ente yg paling asyik yang pernah ai baca nih van.
seru abis, jd pgn nnton lg lah.
terima kasih juga buat rumah buku yg sudah mengapresiasi tulisan ivan yg dikutuk bertalenta itu, hehenais inpo gan.hehehe.
@ Bee = Ya maklum curhat, jadi into it banget haha. terima kasih loh ya.
@ Fandi = Ayolah, engkau ikut menulis. Engkau kan juga jualan film.
@ Dio = Ruku jangan dibuat jadi kayak kaskus dong haha. Ayo Dio, tulis lah review film kesukaan lo. hehe
Mencari sinopsis rushmore karena seseorang, haha makasih buat postingannya sepertinya saya mulai tertarik untuk menonton film ini setelah membaca reviewnya hahaha nice post :)