Stroszek | Werner Herzog, West Germany, 1977 | Color, 115 min, DVD.
Berbekal glockenspiel dan akordeon plus pengalaman dua tahun di penjara karena alkohol, seorang penyanyi jalanan Berlin yang eksentrik berniat meninggalkan negerinya yang kaku demi menuju tanah pengharapan, Amerika. Tapi yang dia dapati justru hidup perantauan yang jauh lebih keras, dan seekor ayam yang menari-nari. Diakui sebagai ‘cerita balada’ oleh Herzog sendiri, film ini lebih mirip kombinasi kisah moral (bahwa American Dream itu omong kosong) dan komedi absurd dalam porsi yang aneh. Film terakhir yang ditonton Ian Curtis sebelum dia bunuh diri.
Tristana | Luis Buñuel, France/Italy/Spain, 1970 | Color, 95 min, DVD
Seorang perempuan muda merasa tak bahagia dengan hidupnya yang terkekang (dia menolak menikah karena menurutnya itu membunuh cinta), lalu mencoba berontak. Dia berubah menjengkelkan, dan kakinya pun diamputasi. Dipenuhi gambar-gambar Freudian yang mencengangkan, iringan musik hanya satu macam, plus selera humor yang ‘sakit’, Bunuel tetap Bunuel, yang meski gaya kameranya sangat puitis di beberapa bagian, tetap saja surreal, mengusik, benci kaum borjuis, dan menantang batas kewarasan.
Camera Buff | Krzysztof Kieslowski, Poland, 1979 | Color, 117 min, DVD
Bermula dari kamera film 8mm bikinan Rusia yang dibeli dengan dua bulan gaji, seorang pegawai rendahan pabrik di Polandia berubah hidupnya; dari sekadar niat sederhana merekam kelahiran anak pertamanya, menjadi seorang filmmaker amatir sarat order. Moral dan keyakinan dipertaruhkan di sini. Film ini tidak semata-mata fetish (ya, ini film tentang filmmaking), tapi lebih ke usaha menjabarkan hukum sebab akibat dari decak kagum tak tertahankan atas sesuatu yang baru. Cara tepat berkenalan dengan karya awal Kieslowski, yang apa boleh buat, lebih dikenal publik luas dengan trilogi Blue-White-Red.
Arizona Dream | Emir Kusturica, USA/France, 1993 | Color, 142 min, DVD
Emir Kusturica, dalam film berbahasa Inggris pertama dia yang terlupakan, menggabungkan Johnny Depp, Jerry Lewis, dan Vincent Gallo dalam satu ensemble cast yang memukau. Johnny, yatim piatu, pemimpi (salah satunya tentang keluarga Eskimo), kerjanya berurusan dengan ikan-ikan. Jerry sang paman, salesman mobil Cadillac yang gatal menikahi perempuan jauh lebih muda. Vincent sang sepupu, aktor nyentrik yang performanya hanya menirukan gesture serta kalimat-kalimat dalam film klasik. Mereka berurusan dengan janda beranak satu yang terobsesi dengan ‘terbang’ dan membangun mesin pesawat ala Wright Bersaudara. Karnaval karakter ganjil semacam itu, juga adegan-adegan surreal (salah satunya: bercinta ala ayam jantan berkokok) ditingkahi musik riuh ala Goran Bregovic, membuat film ini semakin aneh. Sempat dipotong durasinya sebanyak 22 menit, gagal di pasaran, menghilang, akhirnya film ini dirilis kembali dalam versi original berdurasi 142 menit. Keputusan yang brilian.
Funeral Parade of Roses | Matsumoto Toshio, Japan, 1969 | Black & White, 107 min, DVD
Stanley Kubrick menggilai film ini, dan pengaruhnya amat kentara di dalam A Clockwork Orange. Sutradara Matsumoto Toshio meramu intrik standar (ribut antara karyawan dengan bosnya di klub, warna-warni kehidupan seks) dengan visual tak standar (pembunuhan sadis ala Oedipus, barisan pria bugil dengan bunga mawar tumbuh dari lubang dubur). Eksperimen bentuk dan gagasannya atas homoseksualitas seringkali di luar batas normal, bahkan untuk ukuran spirit kebebasan ala ’60-an sekalipun. Adegan ganjil dua waria bertengkar, dilengkapi balon kata-kata ala komik keluar dari mulut (dan siapa yang bisa melupakan perlakuan mereka terhadap air kencing), muncul begitu saja di pita seluloid busuk yang dipenuhi asap zat-zat adiktif. Seks yang brutal, kekerasan yang diumbar, silih berganti membuat perut mual. Mungkin kita harus bersyukur film ini hitam putih.
The Diving Bell and the Butterfly | Julian Schnabel, France/USA, 2007 | Color, 112 min, DVD
Jean Dominique Bauby, editor majalah Elle, mengalami stroke hingga sekujur tubuhnya lumpuh total kecuali mata kirinya. Dia belajar berkomunikasi hanya dengan mengedipkan mata pada huruf-huruf yang ditunjukkan lalu dirangkai menjadi kata-kata di memoarnya. Latar belakang sutradara Schnabel sebagai pelukis (juga tergambar di film sebelumnya, Basquiat dan Before Night Falls) terlihat makin kental di film adaptasi biografi ini, melalui penggunaan warna-warna hangat sebagai metafora kilas balik keluarga dan gaya hidup glamornya, serta kombinasi warna pudar dan pencahayaan pucat untuk adegan rumah sakit. Meraih penghargaan Best Director di Cannes Film Festival 2007.
Silent Light | Carlos Reygadas, France/Netherlands/Mexico, 2007 | Color, 136 min. DVD
Perselingkuhan, lagi-lagi menyoal rasa bersalah menghadapi cinta baru yang tak tertahankan. Tapi Reygadas berhasil mendorong filmnya jauh dari klise, dengan penggambaran lamat-lamat tentang seorang ayah berusia senja yang diam-diam menemui pacar simpanan. Yang menakjubkan, adalah keindahan perlahan menelusup dalam kisah terlarang itu. Didukung lanskap Mexico yang selalu menggetarkan dengan caranya sendiri: riuh rendah di mata dan telinga, sunyi senyap di hati. Film dengan mise-en-scene sempurna, tentang menangis tanpa suara; kita tidak memintanya, tapi sesuatu yang magis tetap memancar dari hasrat yang terbungkam.
Drowning by Numbers | Peter Greenaway, UK, 1988 | Color, 118 min, DVD
Seperti biasa, Peter Greenaway menghidangkan sajian visual yang memang lezat di mata, tapi sekaligus menantang otak. Kisah ganjil tentang tiga perempuan, tiga generasi (nenek, ibu, anak) yang ketiganya bernama sama persis. Sang nenek menenggelamkan hidup-hidup suaminya, dan lantaran merasa bernasib serupa, kedua keturunannya menjadikannya semacam panutan dan meniru. Ketertarikan Greenaway atas angka-angka (cenderung obsesif, angka 1 sampai 100 muncul di layar) menjadikan film ini semacam permainan maut yang indah, menakutkan, dan memusingkan dalam waktu bersamaan.
First Name: Carmen | Jean-Luc Godard, France, 1983 | Color, 85 min, DVD
Godard kembali melanjutkan fantasi otobiografi dengan penggambaran komikal yang gelap dari seorang sutradara yang sedang mengalami kejatuhan (diperankan satir dan baik sekali oleh Godard sendiri), dan dituduh oleh keponakannya sendiri menutupi sebuah penculikan. Seperti biasa, unsur-unsur kontradiktif dan bermain-main kembali masuk di dalamnya. Menggabungkan kwartet Beethoven dengan latar belakang keriuhan kota Paris, sengaja dilakukan demi dampak sinematis yang abstrak sekaligus personal, tragis juga lucu. Tradisi klasik melebur dengan karya-karya modern tahun ’60-an. Godard melakukan pencarian titik puncak dari sesuatu yang pernah dibuat, dengan sesuatu yang ditemukan, keteraturan serta kekacauan; sebuah poin yang pada akhirnya menjabarkan estetika tahun ’80-an. [BW]