Meraba Kenyataan dalam Cerita yang Ngawur
oleh: Andika Budiman
Aku ragu bagaimana sebaiknya menceritakan bincang buku Kiat Sukses Hancur Lebur di Kineruku, Sabtu (4/2) sore lalu, kepadamu. Cover depan buku itu mengumumkannya sebagai ‘NOVEL’. Namun, setelah membacanya, aku mendapati buku itu tidak seperti novel apapun yang pernah kubaca.
Aku malah teringat tukang obat di pinggir jalan yang mengaku salep dagangannya bisa menyembuhkan rematik, tumor, dan jantung. Atau seruan pedagang pakaian bekas di pasar, yang menyatakan bahwa pakaian yang tengah diobral adalah mode terbaru Eropa yang diangkut dari lemari almarhumah Lady Di.
Majalah Tempo menjadikan Kiat Sukses Hancur Lebur sebagai Prosa Pilihan 2016, yang membuat penulisnya, Martin Suryajaya terpilih sebagai salah satu Tokoh Seni 2016. Dalam majalah itu, Seno Gumira Ajidarma menyatakan Kiat Sukses Hancur Lebur sebagai “…parodi dan ejekan yang kuat—membongkar berhala kesuksesan di Indonesia yang menjadikan manajemen, akuntansi, komputer, status pegawai negeri, budi daya lele, gaya hidup apartemen, dan perguruan tinggi sebagai budak prestasi semu.” Namun, aku pun ragu dengan pernyataan tersebut. Bukan karena tidak setuju, melainkan karena setelah membaca buku itu, aku jadi meragukan apapun yang dinyatakan dengan keyakinan.
* *
Kenapa orang bepergian ke pantai dan tak pernah kembali lagi? Kenapa banyak anak muda yang menangis tiga hari tiga malam lalu jatuh tidur dan tidak pernah bangun lagi? Kenapa begitu banyak pemikir yang berlarian di tengah hujan badai lalu mati tersambar geledek dan ditemukan dalam keadaan gosong tetapi tersenyum? Mengapa tukang dempul pinggir jalan sangat antusias berfilsafat ketika ditanya tentang lokasi bengkelnya? Mengapa bebek cenderung melarikan diri ketika dihampiri tukang jagal? Mengapa matahari tidak muncul di malam hari? Kenapa udang bersembunyi di balik celana? Mengapa Tuhan sering terkena pemutusan hubungan kerja? Kenapa tedeng aling-aling disebut “tedeng aling-aling”? Mengapa revolusi Oktober tak pernah disebut di iklan kecik harian Suara Merdeka? Kenapa Suharto sering turun berok? Mengapa anjing gila suli diajak diskusi atau minimal diminta memberikan kata sambutan pada peluncuran album puisi? Kenapa tinggi badan orang Indonesia rata-rata 170 cm? Mengapa pengrajin mebel Jepara kerap disebut “setan kayu”? Semuanya bermuara pada pokok ihwal yang sama: miskin etika.
(Martin Suryajaya, “Etika Hidup di Apartemen”, Kiat Sukses Hancur Lebur, halaman 161)
* *
Kiat Sukses Hancur Lebur (2016) merupakan karya fiksi Martin Suryajaya yang pertama diterbitkan. Sebelumnya, Martin dikenal sebagai penulis buku-buku nonfiksi berjudul ‘serius’ seperti Sejarah Estetika (2016), Sejarah Pemikiran Politik Klasik (2016), Mencari Marxisme (2016), bahkan Alain Badiou dan Masa Depan Marxisme (2011). Meskipun Kiat Sukses Hancur Lebur fiktif, dia punya kesamaan dengan karya nonfiksi Martin. Ada “Catatan Editor” (pengantar), footnote, tabel, bagan, sampai daftar pustaka. Ceritanya pun tidak seperti drama tiga babak. Tidak ada tokoh yang melakukan tindakan heroik, tidak ada tragedi yang membuatku meneteskan air mata.
Pada bincang sore itu, seingatku Martin duduk di antara teman sesama penulisnya: Dea Anugrah dan Yusi Avianto Pareanom. Dea berbagi pengalamannya membaca Kiat Sukses Hancur Lebur. Menurutnya, “Catatan Editor” merupakan bagian penting untuk mengungkap apa yang ingin disampaikan Martin melalui buku tersebut. Dea membahas kalimat pertamanya: “Buku yang berada di tangan pembaca ini berasal dari naskah yang saya terima pada suatu malam di tahun 2019.” Berhubung sekarang masih tahun 2017, kalimat tersebut bisa jadi menyampaikan kepada pembaca untuk tidak menelan bulat-bulat isi Kiat Sukses Hancur Lebur. Berdasarkan “Catatan Editor”, naskah novel tersebut bukan ditulis oleh Martin Suryajaya, si penulis buku berjudul serius, melainkan oleh Anto Labil S.Fil.
Kata Dea, rangkaian kata Martin/Anto dalam Kiat Sukses Hancur Lebur seringkali hampir masuk akal, tapi di ujung kalimat ada sesuatu yang ‘digeser’, sehingga rangkaian katanya jadi terbaca lucu. Pembaca bisa jadi beranggapan begitu, karena punya pemahaman sendiri tentang bagaimana rangkaian yang ‘sesungguhnya’. Namun semakin jauh membaca buku tersebut, Dea merasa sedih. Apa yang awalnya menggelikan lama-lama terasa getir, karena semakin kentara Anto Labil tidak bermaksud melucu. Hanya dia sendirilah yang sungguhan percaya apa yang disampaikannya.
Kiat Sukses Hancur Lebur dirilis Penerbit Banana yang dikelola Yusi. Ia juga berperan sebagai penyunting naskah. Menurut Yusi, buku itu bakalan membelah pembacanya menjadi dua kubu: yang suka sekali dan yang benci sekali. Tugasnya sebagai penyunting tidak berat, karena naskah yang dia terima sudah rapi. Yusi juga percaya dengan ‘arsitektur’ tulisan yang dibangun Martin, serta percaya bahwa ada pembaca yang menanti kemunculan naskah tersebut. “Bukunya sudah dicetak ulang. Meskipun saya tidak bisa bilang berapa cetakan pertamanya, karena saya khawatir Martin akan segera menagih royalti yang mesti saya bayarkan kepadanya,” gurau Yusi. Ia juga beranggapan stamina Martin menggarap naskah yang seolah tidak serius layak diapresiasi. Kengawuran Kiat Sukses Hancur Lebur tidak kendor sampai buku berakhir.
* *
Seingat Martin, ia mengerjakan Kiat Sukses Hancur Lebur selama lima bulan. Demi menjaga kewarasan, kadang-kadang ia juga perlu istirahat dari pemikiran Anto Labil. Walaupun gaya bercerita buku itu seolah baru bagi banyak orang, Martin mengaku di dunia sebetulnya itu bukan hal yang baru. Ia terinspirasi Roberto Bolaño, François Rabelais, dan Jorge Luis Borges. Di majalah Tempo, Martin menyatakan, Rabelais, yang cenderung ngelantur dan menggunakan kata-kata aneh, mempengaruhinya dari segi permainan kata dan keceriaan berbahasa. Beberapa penikmat fiksi mungkin sudah akrab dengan istilah sastra spekulatif (speculative literature). Cakupan sastra spekulatif sebetulnya sangat luas, mulai dari fantasi, science fiction, sejarah alternatif, atau seperti karya Borges, yang menurut Martin bercerita tentang sesuatu yang fiktif, tapi seolah-olah ada. Dea menambahkan satu contoh penulis lagi: “Enrique Vila-Mata, dia menulis buku tentang para penulis yang berhenti menulis. Judulnya Bartleby & Co.” Bartleby diambil dari nama tokoh dalam cerita pendek Herman Melville, Bartleby, The Scrivener. Bartleby adalah seorang juru tulis. Meskipun pekerjaannya memuaskan, suatu hari dia memutuskan berhenti menulis. Ketika ditanya apa alasannya, jawabannya, “I would prefer not to.” Lama-lama, dia selalu mengulangi jawaban tersebut untuk apapun yang ditawarkan kepadanya, seolah tidak ada lagi yang berarti.
Martin bercerita bahwa ‘musik’ pengiringnya ketika menulis Kiat Sukses Hancur Lebur adalah pembacaan puisi The Waste Land, karya T.S. Eliot, yang temponya dilambatkan. Kepada majalah Tempo, Martin menuturkan, The Waste Land menggambarkan penglihatan batin manusia modern di tengah kekacauan sosial saat Perang Dunia Pertama. Unsur lirik yang personal bertaut dengan lanskap yang epik. Berbagai karakter muncul dalam puisi tersebut, mulai dari blind prophet, cenayang, kawan di medan perang, saudagar, sampai juru tulis. “Usaha memadukan lirik dan epik itu terbawa di novel saya,” ujar Martin.
Dalam “Catatan Editor” Kiat Sukses Hancur Lebur, Martin/Andi Lukito menulis: Hadirnya buku ini ke tengah pembaca ada hubungannya dengan nasib Anto Labil dan para pendekar kere di alam pasca-Reformasi. Pada dekade pertama abad ke-21, satu per satu mengundurkan diri dari “dunia persilatan”, kembali melakukan pekerjaan mereka sebelumnya di seputaran Semarang. Kini sebagian besar dari mereka telah meninggal atau hilang tanpa kabar. Ketika menyimak Kiat Sukses Hancur Lebur pembaca akan menemukan bagaimana narasi Anto Labil dipenuhi gambaran kepahlawanan orang-orang lemah. Martin membayangkan Anto sebagai seseorang yang memiliki suatu kepercayaan yang dia perjuangkan. Dia menghabiskan segenap waktu dan tenaganya untuk memperjuangkan kepercayaan itu, sampai pada satu titik, ‘kepercayaan’ dan ‘perjuangannya’ habis, dan dia tidak tahu lagi akan melakukan apa.
Lebih lanjut, Kiat Sukses Hancur Lebur berupaya merekam kehidupan masyarakat Indonesia memasuki abad ke-21, yang seringkali digambarkan dengan kata-kata indah dalam sastra. Martin berusaha menangkap realitas dengan cara berbeda; tidak dengan menulis drama tiga babak, tragedi yang mengharu biru, maupun memoar. Martin memilih cara yang menurutnya paling menggetarkan pembaca.
* *
Kepada Pembaca
Seperti ujung benang sehelai
mudah luput dari lubang jarum,
adakalanya sebuah puisi
tak bisa menggenggam jiwamu.
Kepadaku ada yang pernah berkata:
“Bahasa adalah tebing-tebing terjal tipis udara,
perangkap Sang Ajal di makam raja-raja,
rahasia alkemi yang dikawal ajak berkepala tiga.
Maka sebuah sajak, seharusnya
tak mengulang yang telah ada.”
Pun baginya, bahasa serupa
wilayah baru yang perlu direnggut
serta diberi tanda pada peta:
“Ini milikku, bahasaku, tubuh yang kuurapi
bagi denyut gaib puisi.”
Namun itu terlalu rumit untukku
yang menampung bahasa
dari rembesan peristiwa sehari-hari,
gagasan yang kian tak rampung,
serta buku-buku yang sesekali
kubiarkan terbuka, tak terbaca.
Dan mungkin aku terlalu peduli
pada bunyi sayap seekor belalang
yang bergesekan dengan kaca jendela
atau kantuk yang berkeloneng
di kelopak mata orang-orang yang kukasihi
untuk bisa memahami perkataan yang lain:
“Celakalah kedua tangan penyair
Bila tak disampaikannya kebenaran!”
Tapi apakah kebenaran,
Apakah puisi?
Puisi yang kupahami
adalah penerimaan akan maut
yang diucapkan dalam nada rendah.
Puisi adalah punggung yang merahasiakan
batuk seorang ayah
dari khayal riang anak-anaknya.
Puisi, bayang nyeri yang berdenyut
di dada kiri tiap-tiap manusia.
Adakalanya ia tak bisa
menggenggam jiwamu.
(Misa Arwah & Puisi-puisi Lainnya, Dea Anugrah, 2015)
Ketika puisinya tiba-tiba dibacakan di acara bincang buku ini, Dea bereaksi seperti orang Jawa yang kecipratan minyak panas karena kesalahannya sendiri. “Asu, asu, asu, asu, asu …,” makinya pelan. Dalam puisi tersebut ada pertanyaan yang menggelitik: Tapi apakah kebenaran, apakah puisi? Buku Kiat Sukses Hancur Lebur sekilas seperti text book, seperti buku pelajaran. Kalau buku itu sampai jatuh ke tangan alien yang memahami bahasa Indonesia, tapi tidak punya pemahaman tentang kehidupan di Bumi, bisa jadi Kiat Sukses Hancur Lebur dianggap sebagai kebenaran.
Yusi menuturkan, naskah Kiat Sukses Hancur Lebur bukanlah karya fiksi Martin yang pertama yang diterimanya, melainkan yang kedua. Yusi menolak menerbitkan naskah pertamanya. Pada obrolan sore itu, ia menantang Martin untuk membuat karya fiksi yang berbeda dengan Kiat Sukses Hancur Lebur, untuk menepis kecurigaan bahwa, jangan-jangan, Martin cuma bisa menulis fiksi yang ngawur-ngawur saja.
Tantangan bagi para pembaca Kiat Sukses Hancur Lebur adalah membacanya sampai habis mengingat isinya seolah tidak serius. Martin juga mengaku, dia menulis buku itu untuk dibaca sampai selesai. Bila membacanya sedikit-sedikit, yang bisa dipetik mungkin hanya kelucuannya saja. “Bila ingin akhir yang bahagia, bisa membacanya dari belakang ke depan,” tambah Yusi. “Seperti film Irreversible yang dibintangi Monica Bellucci.”
Reaksi lain yang mungkin muncul ketika membaca Kiat Sukses Hancur Lebur adalah pembaca jadi meragukan segala yang kelihatan ‘benar’. Bisa jadi seorang pembaca lantas meragukan kebenaran buku pelajaran yang pernah dibacanya. Proses belajar seorang murid diukur dengan ujian. Besarnya nilai ujian seringkali ditentukan oleh apa yang tertera dalam buku pelajaran. Apabila itu terus berulang, bisa jadi dia menganggap semua yang ada di buku sebagai kebenaran, bukan buat dipertanyakan lagi. Membaca Kiat Sukses Hancur Lebur sampai habis bisa mempertemukannya kembali dengan keraguan.
Di luar konteks Kiat Sukses Hancur Lebur, Martin merasa bahwa masa sekolahnya menyenangkan. Meskipun ketika SMA dia pernah satu kali tidak naik kelas. Pada masa itu, dia belajar menulis. Belajar berdebat dengan gurunya melalui mading, tentang berbagai peraturan sekolah yang tidak sesuai hatinya. Martin juga pernah jalan kaki dari Semarang ke Magelang, atau spontan pergi ke Surabaya karena ingin ke Surabaya. Waktu itu, dia menyukai tulisan Goenawan Mohamad.
* *
Beberapa orang mungkin beranggapan bahwa memoar, pengalaman hidup yang sungguh-sungguh terjadi dan ditulis sedekat mungkin dengan kenyataan, merupakan bentuk karya yang lebih menggetarkan daripada karya lainnya. Beberapa lainnya beranggapan puisi, yang menangkap perasaan yang sulit diucapkan dengan seringkas dan seindah mungkin, merupakan karya yang lebih menggetarkan. Bagi beberapa bisa jadi novel, atau buku pelajaran, dan seterusnya.
Suatu hari aku pernah duduk di alun-alun. Seorang perempuan tua yang berjalan dengan tongkat lalu duduk di sebelahku. Dia lantas mengajakku bicara. Dia mengomentari perempuan lain yang memakai baju berwarna merah menyala. “Nggak pantas ya, seusia itu pakai baju begitu?” Aku tersenyum saja, tidak mengiyakan, tidak protes juga. Perempuan itu lantas melanjutkan bicara sambil menghitung uangnya. Logatnya asing. Rupanya dia berasal dari sebuah pulau yang jauh dari Jawa. Katanya pulau itu kaya, orang di sana memperlakukan tamu seperti saudara. Perempuan dan laki-laki di sana santun, berbeda dengan di tempat kami berada, “Di sini laki-lakinya nakal, dan perempuannya gampangan.”Lalu dia bercerita, anak perempuannya ada dua, dan dua-duanya sudah bekerja sebagai polisi wanita. Keduanya menolak memungut uang dari sopir angkutan kota. Meskipun begitu, ada anaknya yang sudah bisa membeli mobil sendiri. “Mobil Avanza,” katanya. “Di bagasinya ada tempat tidur, dapur, dan toilet.”
Cerita perempuan itu menggetarkan bagiku. Aku tidak menelan perkataannya bulat-bulat. Namun dari cerita itu, aku menangkap bagaimana dia merindukan tempatnya berasal, bagaimana dia bangga terhadap keluarganya, serta bangga terhadap prinsipnya. Dia tidak mencurahkan perasaannya, tapi semua itu tergambar dari apa yang dia ceritakan.
Aku percaya, siapa pun pernah (atau akan) mengalami saat di mana dirinya berupaya menjelaskan kepercayaannya kepada orang lain. Kepercayaan adalah hal yang membuat seseorang bisa memaknai keberadaannya. Meskipun demikian, kepercayaan sulit dibuktikan. (Kalau bisa, maka dia lantas berganti nama jadi ‘kebenaran’.) Kepercayaan seseorang, misalnya dirimu, mungkin tidak masuk akal bagi orang lain, bahkan bagi dirimu sendiri. Inilah mengapa Anto Labil begitu menggetarkan, dia bisa mengingatkan kita pada diri sendiri.
* * *
Buku Kiat Sukses Hancur Lebur seharga Rp 55.000,- bisa didapatkan di Kineruku.