Please select a page for the Contact Slideout in Theme Options > Header Options

/reportase:/ Dua Kunang-kunang yang Hinggap di Beranda

/reportase:/ Dua Kunang-kunang yang Hinggap di Beranda
05/09/2010

Pasangan itu duduk bermalas-malasan di sofa. Si perempuan memakai gaun terusan oranye, si laki-laki memakai kemeja putih dan celana pantalon bergaris. Mereka seperti habis kondangan. Masing-masing menggenggam segelas minuman. Kaki si perempuan naik ke meja, pandangannya tertuju ke jendela.

“Bulan itu ungu, Marno.”

Kalimat tersebut mengawali pementasan Seribu Kunang-kunang di Manhattan yang diselenggarakan mainteater di Rumah Buku/Kineruku, Sabtu (28/8). Malam itu beranda berfungsi sebagai panggung; berubah menjadi apartemen lengkap dengan dapur, kulkas, sofa, meja, gantungan mantel, serta ‘jendela’ lengkap dengan satu pot kaktus dan sansevieria. Para hadirin menyaksikan pertunjukan sambil duduk di terpal besar yang digelar di atas taman rumput.

Lakon arahan sutradara Wawan Sofwan ini diadaptasi dari cerpen “Seribu Kunang-kunang di Manhattan” karya Umar Kayam. Nathalie Pfeiffer dan Deden Syarief memerankan Jane dan Marno, dua kekasih berbeda bangsa yang terdampar di sebuah apartemen di New York. Dipengaruhi alkohol, Jane tak dapat berhenti membicarakan Tommy, laki-laki yang pernah ada di sisinya. Sementara itu, pikiran Marno melayang jauh sampai ke tanah air. Gemerlap lampu kota membuatnya teringat akan kunang-kunang di sawah embahnya. Pembicaraan Jane tentang mainan kekasih mengingatkan Marno kepada anak yang ditinggalkannya.

Menyimak interaksi keduanya, pelan-pelan penonton akan mengerti kalau pasangan ini telah sampai di penghujung hubungannya. Jane mengeluh karena Marno tidak bisa membuat martini. Mereka tidak sepakat soal apakah warna bulan ungu atau kuning keemasan. Hampir semua cerita Jane telah didengar Marno. Si laki-laki Jawa menghitung kerbaunya sebagai mainan, padahal bagi si perempuan Amerika itu peliharaan.

Di dalam cerpen, Marno dan Jane kelihatan tak cocok dalam segala hal. Wajar jika kisah mereka berakhir dengan perpisahan. Namun sebetulnya para pembaca tak pernah tahu apa yang terlintas di benak dua orang ini. Nirwan Dewanto pernah mengulas “Seribu Kunang-kunang di Manhattan” di majalah Tempo edisi 29 April 2002, “(Cerpen ini) memukau lantaran si pengarang hampir tak mengatakan apa-apa tentang raut dan riwayat tokoh, juga latar dan alasan kejadian … ia tak memasuki kedalaman psikologis dan biografi tokohnya. Marno dan Jane adalah sosok konkret yang tak memerlukan campur tangan pengarang.”

“Ada sesuatu yang hilang dan tidak lengkap di dalamnya,” tulis Nirwan. Ini membuat, “(Pembaca) merangkai sendiri suasana, rinci tempat dan peristiwa di antara laku dan tuturan para tokohnya … kita mereka-reka apa yang terjadi sebelum dan setelah “adegan” pada malam itu.” Dengan demikian “Seribu Kunang-kunang di Manhattan” membuka banyak pintu interpretasi.

Itulah yang tak terasa saat menyaksikan pementasan Seribu Kunang-kunang di Manhattan malam itu. Wawan Sofwan dkk. memang cukup setia pada cerpen yang sebagian besar terdiri dari dialog ini. Namun, tentu saja, naskah dipentaskan berdasarkan interpretasi mereka sendiri. Penonton lantas mendapatkan suguhan cerita perselingkuhan yang dipicu kesepian urban; saat laki-laki pergi karena bosan mendengarkan ocehan perempuan yang berputar-putar di tempat yang sama. Cerita ini dibalut eksotika New York, minuman keras, asap rokok, dekorasi panggung, dan pakaian yang penuh gaya.

Di atas panggung, sejak awal Marno tampak malas menanggapi Jane. Ia judes dan dingin. Sulit untuk ikut larut dalam kegelisahannya. Ketika Jane menyebutnya ‘anak desa yang sentimental’, Marno berteriak “BIAR!”. Lelaki itu kaget sendiri, lalu menyesal dan sibuk minta maaf. Sayangnya momen yang seharusnya klimaks itu menjadi tak kesampaian sebab setiap kata yang terlontar dari mulut Marno sebelumnya sudah telanjur bernada tinggi.

Sementara itu, penonton yang pernah membaca cerpen “Seribu Kunang-kunang di Manhattan” tentu memiliki interpretasinya masing-masing. Misalnya, bisa saja malam itu ada yang berpikiran sebetulnya kehadiran Marnolah yang membuat Jane terus membicarakan Tommy. Melihat laki-laki asing di sebelahnya, Jane membayangkan laki-laki yang dicintainya ada di suatu negeri yang asing. Begitupun sebaliknya. Melihat penderitaan Jane karena ditinggalkan suaminya, Marno teringat sang istri yang tidak bersamanya. Persilatan lidah, perbedaan bangsa dan kebudayaan yang muncul sepanjang cerita menjadi tak penting lagi. Toh masing-masing saling mengingatkan yang lain kepada sosok-sosok yang pernah mengisi hidup mereka. Kesadaran inilah yang mengakhiri hubungan pasangan ini.

Apabila penonton memaknai cerita seperti itu, tentunya ia akan jengah melihat bagaimana Marno memperlakukan Jane seperti radio setengah rusak: dinyalakan tetapi tidak didengarkan. Di buku Mengarang Itu Gampang, Arswendo Atmowiloto juga membahas cerpen ini. Menanggapi akhirannya, ia bertanya-tanya, “Kenapa Marno pergi meninggalkan Jane? Ia bukan tidak mencintai, bukan tidak memuja, bukan tidak membutuhkan. Di negeri orang yang begitu sepi, Jane yang ditinggalkan suaminya juga mengalami kesepian hati seperti Marno—walaupun laki-laki itu tak becus meramu minuman keras.”

Wawan Sofwan merupakan aktor dan sutradara berpengalaman yang telah mengisi panggung-panggung teater di berbagai belahan dunia. Tentang “Seribu Kunang-kunang di Manhattan”, ia mengaku sudah lama ingin mementaskannya. Namun keinginan ini kerap terhalang oleh sulitnya menemukan aktris yang tepat untuk memerankan tokoh Jane. “Kalau dimainkan oleh orang Indonesia rasanya kurang pas,” ujar Wawan. Sampai suatu hari mainteater kedatangan Nathalie Pfeiffer, seorang mahasiswa Jerman yang magang di sana untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Indonesianya. “Salah satu tujuan pementasan ini adalah memperlancar bahasa Indonesia Nathalie. Dia mengaku lebih pintar menulis daripada berbicara. Dengan bermain teater, mau nggak mau dia harus berbicara.”

Sebelum dimulainya pementasan, Ariani Darmawan dari Rumah Buku/Kineruku sempat memberikan pengantar, “Ide tentang pentas ini muncul ketika sedang mengobrol di beranda. Kami pikir beranda ini enak juga buat dimanfaatkan sebagai panggung pentas.” Beranda sebagai panggung dirasa cukup mengakomodasi tujuan pementasan yang memang diniatkan hanya untuk publik terbatas. Setelah melakukan persiapan selama kurang dari dua minggu, pementasan pun diselenggarakan. Persiapan dilakukan dalam waktu yang singkat sebab Nathalie Pfeiffer mesti meninggalkan Indonesia dua hari setelah pementasan.

Di hari H, panggung yang terbuka, lokasi Rumah Buku/Kineruku yang berada di pinggir jalan, membuat bunyi deru sepeda motor, ledakan petasan dan kembang api di kejauhan masuk dengan leluasa. Terkadang volume iringan biola Johan pun terdengar terlalu keras. Beberapa dialog meleset dari telinga penonton. Meski demikian, Nathalie memang cocok memerankan Jane. Usahanya menyampaikan dialog berbahasa Indonesia cukup menarik simpati. Setelah pementasan ini Wawan menyatakan keinginannya untuk mementaskan lagi lakon Seribu Kunang-kunang di Manhattan dengan persiapan lebih serius. “Kami akan mencari-cari lagi aktris yang bisa memerankan Jane.”

Umar Kayam menulis cerita pendek “Seribu Kunang-kunang di Manhattan” ketika melanjutkan pendidikan di Amerika Serikat. Sepanjang tahun 1961-1963, berbekal beasiswa ia beserta keluarganya menempati sebuah kamar murah di New York. Mereka bertetangga dengan perempuan pemabuk yang kerap berteriak, “I hate garlic!” setiap kali keluarga Kayam memasak menggunakan bawang putih (Tempo, 29 April 2002). Ibu dari perempuan itu adalah janda tua yang apabila hari gerah akan mengetuk pintu dan minta tolong supaya kutangnya dikendurkan. Ketika musim panas tiba, keluarga Kayam tak sanggup membeli pendingin ruangan. Biar sejuk, Umar Kayam sering membuka pintu kulkas dan mengetik cerpen di depannya.

Mungkin kesumpekan itu yang menginspirasi Umar Kayam menulis cerita-cerita tentang warga pinggiran di New York. Tahun 1963, di usianya yang ketiga puluh satu, Umar Kayam meraih gelar masternya. Ia lalu melanjutkan studi doktoralnya dalam bidang Sosiologi di Universitas Cornell, Ithaca. “Seribu Kunang-kunang di Manhattan” mendapatkan penghargaan cerpen terbaik dari majalah sastra Horison pada tahun 1968. Empat tahun kemudian, “Seribu Kunang-kunang di Manhattan” terbit bersama lima cerpen lainnya dalam antologi cerita pendek berjudul sama. Tahun 1999, Yayasan Obor Indonesia menerbitkan buku berisi cerpen tersebut dalam tiga belas bahasa daerah.

Umar Kayam menutup cerpen “Seribu Kunang-kunang di Manhattan” dengan lembut: “Di kamarnya, di tempat tidur, sesudah beberapa butir obat tidur, Jane merasa bantalnya basah.” Membaca kalimat ini, timbul kesedihan yang tak jelas juntrungannya. Lain halnya dengan adegan penutup pementasan yang dramatis: Jane berlari mengejar Marno. Sia-sia, perempuan itu lalu menyalakan keran air dan terisak-isak. Adegan ini menggambarkan bahwa yang ditangisi Jane adalah kepergian Marno. Kegagalannya mempertahankan laki-laki menyebalkan itu di sisinya.

Sampai di sini penonton pun mafhum, mengadaptasi “Seribu Kunang-kunang di Manhattan” bukan perkara mudah.

[Andika Budiman]

(Foto oleh Nia Janiar)

Comments (0)

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Subscribe