Please select a page for the Contact Slideout in Theme Options > Header Options

/kliping:/ Muenchen (Y.B. Mangunwijaya)

/kliping:/ Muenchen (Y.B. Mangunwijaya)
19/06/2017 admin

MUENCHEN
oleh: Y.B. Mangunwijaya

Kota Munchen. Langsung kita diingatkan pada sepak bola, stadion Olimpiade dengan konstruksi tenda-tenda raksasa yang mengagumkan ciptaan Dr. Frei Otto. Ataupun pada pesta bir. Generasi tua barangkali masih terkenang pada peristiwa makar membunuh Adolf Hitler yang gagal, atau kekalahan Perdana Menteri Britania Raya Sir Neville Chamberlain menghadapi Adolf Hitler si bekas kopral itu. Para wanita kalangan elite tentulah langsung diingatkan pada para raja mode Muenchen yang eksklusif. Dalam segala musim dan dalam segala hal, dari seni sastra sampai teknologi robot, Muenchen memang menarik. Tetapi ketika saya santai melancong di Ludwigstrasse, yaitu jalan raya gagah gaya Renaissance Italia (untuk selera Nusa Tropikana, yang syahdu nyiur melambai, jalan ini terasa kaku tidak simpatik), gagasan-gagasan saya mau tidak mau tergugah oleh tiga simbol monumental yang mendominasi jalan raya kerjaan itu. Yakni Gerbang Kemenangan Perang 1871, dan Feldherrenhalle (Bangsal Para Panglima) di pangkal dan ujung jalan raya itu, dan di tengah, gerbang gedung utama Universitas Muenchen. Dunia ilmu pengetahuan yang diapit oleh dunia perang. Tahu adalah kuasa, bukankah itu kesimpulan sekian ratus generasi bangsa manusia?

Perkelahian antarbinatang ditentukan oleh kekuatan otot dan besarnya gigi. Tetapi kalah-menang perang manusia, khususnya dalam perang modern (perang politis, perang ekonomis, perang kultural), ditentukan oleh perbendaharaan informasi dan keterampilan pengolahan soal secara ilmiah dan teknologis. Saya pribadi tidak tergolong kaum superpatriot yang memuja ilmu pengetahuan dan teknologi dengan motivasi ingin menang perang. Maka, hanya diamlah saja saya menaksir Ludwigstrasse, yang oleh seorang kritikus arsitektur pernah dipuji (superkritis gaya Jerman tentu saja) sebagai “ein organisierter sich selbst organisierender organimus” (suatu organisme yang mengorganisasi diri secara terorganisasi … mudah-mudahan tidak secara fasis). Lalu masuklah saya, dengan langkah-langkah yang tidak bergaya eines organisierten sich selbst organisierenden organimus (berkat mental Nusantara dan perut kenyang), ke dalam Perpustakaan Negara yang hebat seperti istana itu. Di sana sedang diadakan pameran langka dari bermacam-macam buku antik. Siapa mengira dapat melihat cetakan generasi pertama dari uraian-uraian tebal sang rahib Nikolai Copernicus tentang De Revolutinibus Orbium Coelestium (Perputaran-Perputaran Bola-Bola Angkasa) terbitan tahun 1543, surat Johannes Kepler De Motibus Planetarum (Tentang Gerak-Gerak Planet-Planet) kepada sahabatnya Joh. G. Herwart, surat penyair Schiller kepada Chr. Gotfried Koerner, yang menceritakan perjumpaan pertamanya dengan Pujangga Goethe, surat-surat dan esei Luther, Melanchton, Ignasius dari Loyola, tulisan tangan komposisi musik dari Mozart, Johan Sebastian Bach, Schubert, Richard Strauss, dan lain-lain, catatan-catatan cakar ayam dari ahli kimia Liebig dan Prof. Dr. Sigmund Freud. Juga surat gulungan besar bertuliskan huruf dan kaligrafi Arab yang indah dari Sultan Sulaiman dan Wasir Ibrahim Pasya dari Istambul kepada Raja Ferdinand, suatu gulungan sutera indigo indah dengan huruf-huruf kanji kencana dari zaman Heian, ketika nenek moyang Mojopahit kita masih menulis di daun-daun lontar. Ada lagi yang memuat khotbah sang Buddha, sebuah prasasti tulisan Kawi pada sekeping kuningan dari Jawa, dan sekian banyak orisinil Injil dan Quran, yang bukan hanya buku informasi maupun pengajaran keramat, tetapi benda-benda seni mahal yang merupakan persaksian zaman-zaman yang masih belum retak perpaduan agama dengan kebudayaannya; ketika orang tidak hanya menyembah Tuhan secara privat diam-diam, tetapi dengan seluruh kemanusiaan utuhnya … dan juga dengan segala pengakuan tentang kelemahan dan dosanya. Lain dari manusia hipermodern yang tidak mau mengakui lagi bahwa ada yang disebut dosa.

Tersinar dari segala macam dan bentuk buku yang dipamerkan itu, betapa cinta manusia kala itu menghargai segala yang berbentuk tulisan. Menulis adalah melukis dan menyair, memuja dan bersyukur. Dengan getaran-getaran budaya yang menyinarkan keagungan sang manusia dalam rahmat Allah, mahkota semesta alam yang mampu bercinta dan bersyukur. Apakah sikap dan budaya cita rasa seindah itu akan digusur oleh sarana komunikasi elektronik? Bahkan dimusnahkan oleh ledakan-ledakan bom-bom nuklir dan kimia-bio yang ditumbuhkan oleh kedengkian dan nafsu gelap demonis bayangan iblis? Yang telah lama mengejawantah dalam lubuk jiwa manusia Barat dan imitator-imitator dungunya di Timur?

Kebudayaan buku adalah kebudayaan keunggulan sang Pribadi. Sendirian orang membaca buku, merenungkannya, mengembangkan daya imajinasi serta kreativitasnya. Sedangkan alat elektronik seperti TV lebih bergumul dalam dunia massa gaya Nuernberg dan Dr. Goebbels, indoktrinasi kolektif. Yang menghidangkan konsumsi gambar-gambar konfeksi ready to use (tinggal pakai) menurut resep para penguasa dunia modern yang mengklaim diri kuasa di atas agama atau moral manusia sehat, dalam menentukan mana yang baik mana yang buruk. Namun, tentulah, alat-alat media elektronik tidak dapat dihindari, dan program-program luar negeri segera akan dapat ditangkap langsung oleh para penonton di seluruh pelosok Nusantara. Tidak hanya kita yang baru saja berkenalan dengan teknologi tinggi, orang-orang Eropa pun masih harus menjalani masa belajar menonton TV. Bagi orang Indonesia, menonton TV sebetulnya justru bukan perkara asing, karena kebudayaan menonton ketoprak, wayang, ludruk, dan sebagainya secara kolektif sudah mendarah daging. Drama RV atau film Indonesia pada hakikatnya masih drama-panggung-yang-direkam-di-pita. Belum “gambar hidup” (istilah rakyat yang bagus) yang sudah memeras tuntas kemungkinan-kemungkinan yang disediakan oleh HAKIKAT dan KEMAMPUAN teknik lensa yang multidimensional imajinasinya serta bahan-bahan kimia film serba kaya.

Orang Barat menghayati seni panggung secara sangat individual. Jangan berani berbisik-bisik atau batuk-batuk kalau melihat opera. Anda harus diam seperti lensa mata-mata, karena Anda harus menghormati mutlak proses penikmatan orang di samping Anda, interpretasi individualnya tentang lakon yang bersama-sama-tetapi-sendiri-sendiri dilihat itu. Ah, ini, dulu di Yogya di zaman Jepang dan Revolusi, kami pelajar-pelajar remaja (yang harus pandai bermatematika rumit agar perbelanjaan uang saku mini masih dapat dipertanggungjawabkan kepada sang perut) sering melihat “gambar hidup” di barat Pasar Beringharjo. Tetapi tidak dalam bioskop-nya, melainkan dalam poksoib-nya, yakni di belakang layar. Jadi, gambar serba terbalik (makan dengan tangan kiri, huruf teks menjadi sket furuh, dan seterusnya), sehingga membutuhkan daya abstraksi dimensi ke-5 khusus yang boleh jadi sangat penting bagi Revolusi Umwertung aller Werte (penjungkirbalikan segala nilai), slogan yang waktu itu sangat disukai Bung Karno. Tetapi yang paling nikmat (nah, ini sudah tidak mungkin dirasakan para remaja teknokrat muda masa kini, yang mungkin menjadi salah satu penyebab mereka suka onar keroyokan karena kekurangan makanan emosional) ialah dalam poksoib tadi, yang tidak berlantai ubin tetapi rumput Jawa Deles, yang tidak berkursi plastik multinasional tetapi berbangku bambu-bambu panjang seperti diperuntukkan bagi ayam ras. Di situ kami boleh pilih duduk gaya diplomat atau jongkok model gerilyawan, atau berdiri model agitator partai – pokoknya sesuka Den Bagus (Den Ayu tidak ada, karena, maaf, suasana tidak bermutu) boleh mengobrol dan bersenda gurau, makan kacang, dan minum ronde atom, terpaksanya berjudi babi-buntung-cino-bang, bahkan kencing sumonggo-karso jika itu memang dituntut oleh alam raya, sedangkan para penjaja sate, es lilin, dan lain-lain berdemokrasi liberal berkeliling bebas serba mengharukan (ingin beli tetapi tidak punya duit). Nah, inilah yang disebut menghayati seni sekaligus belajar bahasa Inggris secara manusia utuh. Tidak seperti dalam opera Barat itu. Apa boleh buat, lain lubuk lain ikan, lain dompet lain falsafah.

Memanglah, mengolah informasi atau cerita berhikmah secara kolektif adalah salah satu sisi yang penting. Akan tetapi, mengolah semua itu secara pribadi sendirian tidak kalah penting juga. Misalnya dengan membaca buku. Kita harus menjadi manusia utuh, begitu tuntutan GBHN. Membaca secara pribadi sendirian berarti belajar contemplatio, merenung, memperdalam diri, menyelam dalam samudra kemanusiawian sejati. Seperti Werkudara menyelam menjadi Dewaruci. Seperti yang dikerjakan oleh para olahragawan menyelam di dalam keheningan laut. Demi kontemplasi (pribadi), mengagumi keindahan koral-koral dan ikan-ikan warna-warni yang tidak mungkin tertandingi oleh kamera film berwarna apa pun. Jika Multatuli pernah menyebut bangsa kita “nasion yang terdiri dari kuli-kuli, dan nasion yang kuli di antara nasion-nasion lain”, maka saat sekarang memang kita perlu melawan sistem-sistem yang memperkuat mental kuli, mental manusia massa. Dan membina metode-metode untuk membentuk pribadi-pribadi yang kuat, tanpa menjadi individualis. Dan itu antara lain melalui kebudayaan membaca buku.

Sendirian.

* * *

>> Tulisan ini disalin (ketik ulang) dari buku Y.B. Mangunwijaya Di Bawah Bayang-bayang Adikuasa (Cetakan 1, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1987) halaman 47-50.

>> Buku tersebut tersedia di koleksi perpustakaan Kineruku, selain karya-karya Romo Mangun lainnya seperti: Burung-Burung Manyar, Burung-Burung Rantau, Durga Umayi, Manusia Pascamodern Semesta dan Tuhan, Menuju Republik Indonesia Serikat, Pasal-Pasal Fisika Bangunan, Pohon-Pohon Sesawi, Puntung-Puntung Rara Mendut, Tektonika Arsitektur, Tumbal, Wastu Citra, Menuju Indonesia Serba Baru Hikmah Sekitar 21 Mei 1998, Impian dari Yogyakarta, Politik Hati Nurani, dsb.

>> Simak arsip kliping Kineruku lainnya di tautan ini.

Comments (0)

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Subscribe