Semua orang suka dengan happy ending, dimana dongeng berakhir dengan kebahagian. Semua orang suka dengan akhir cerita penuh kemenangan, dimana sang lakon mengalahkan si durjana. SEMAKBELUKAR bukan band biasa dan mereka tidak suka dengan akhir yang bahagia. Dengan EP berisi delapan lagu yang kami rilis pertengahan tahun ini, nama mereka mulai dikenal, single pertama dari EP tersebut telah banyak diputar orang, sudah mulai terdengar bisik-bisik dari kanan kiri tentang betapa kuatnya lirik mereka diramu dengan cabang genre folk yang sangat berbeda. Banyak yang mengatakan ini folk untuk melawan folk. Muncul interpretasi bahwa “Kalimat Satu” adalah sebuah sikap politik melawan tirani politik yang mengangkang. Piringan hitam 7”, kaset, dan CD mereka bukan best-seller memang, tapi beberapa yang peduli mulai mencari dan bertanya. Intinya, SEMAKBELUKAR sudah mulai diperhitungkan.
Ketika tiga bulan lalu melalui penulis musik dan lirik mereka David Hersya kami menawarkan kepada SEMAKBELUKAR untuk mengadakan sebuah pertunjukan kecil bagi perayaan dirilisnya EP berisi 8 lagu tersebut, seperti dengan rasa bersalah David mengatakan bahwa mereka akan setuju mengadakan sebuah pertunjukan paripurna. “Tidak apa-apa ya,” demikian David meyakinkan kami melalui percakapan jaringan pribadi, sebelum selalu mengakhirinya dengan tiga rangkaian kata “he he he”, apa yang kemudian kami sadari merupakan cara dia untuk mengakhiri setiap pembicaraan nonverbal. Kami sesungguhnya sudah sangat bisa menerima bahkan jika mereka hanya bersedia bermain sebagai band satu kali saja dan untuk sebuah gig tunggal semalam belaka. Jadi ketika mereka mengatakan ini akan menjadi pertunjukan terakhir mereka, kami sama sekali tidak keberatan.
Kami memang sudah mulai merasa bahwa akhir dari SEMAKBELUKAR sudah dekat. Kami menghormati keputusan mereka sepenuhnya dan kemudian menggunakan ucapan Neil Young “better to burn out than to fade away” sebagai tagline dari the last waltz mereka. Sebuah band tak perlu berumur panjang dan bertahan hingga 30 atau 40 tahun kalau hanya untuk menjadi kongsi dagang dan parodi bagi diri mereka sendiri, sebelum membiarkan dirinya terkorupsi oleh cukong, media, dan politik. Sebuah band memang selayaknya hanya punya tiga buah album (lebih baik jika tiga-tiganya adalah mahakarya seperti Big Star dengan #1 Record, Radio City, dan 3rd). Dan jika pada akhirnya SEMAKBELUKAR hanya punya satu rilis dan kemudian bubar, tentu lebih baik jika sekali berarti dan habis itu mati.
Berkat bantuan dari Gerakan Indonesia Mengajar (IM), pada akhirnya kami malah bisa menyelenggarakan dua pertunjukan untuk SEMAKBELUKAR. Tahun ini mereka menggantikan Efek Rumah Kaca untuk menjadi semacam home band bagi pelatihan calon pengajar muda yang hendak turun ke daerah terpencil di Indonesia. Ini sebuah tugas mulia, jadi kami pikir SEMAKBELUKAR, dengan lirik penuh makna dan juga kenyataan bahwa mereka berasal dari luar Jakarta, akan lebih bisa memiliki bobot dan otoritas moral untuk berbicara dan berbagi pengalaman di camp IM di Jatiluhur. Di situ kami pertama kalinya bertemu muka dengan David Hersya, Ricky Zulman, Ariansyah Long, Mahesa Agung, dan Angger Nugroho. Di pojok ruang makan yang luas, pertanyaan yang kami ajukan pertama kali tentu saja bukan: “Kenapa kalian pada akhirnya memilih mengundurkan diri?” Kami bicara soal berapa mic yang dibutuhkan untuk pertunjukan malam itu, yang mengambil lokasi di auditorium camp IM. (Hanya tersedia tiga mic pada akhirnya.) Beberapa saat kemudian, Ricky—dengan swagger dan kecakapan berbicara yang membuatnya layak menjadi juru bicara SEMAKBELUKAR—mengungkapkan sebuah rencana yang membuat saya terkejut: “Bisa tidak jika besok setelah main terakhir di Kineruku kami membakar semua instrumen?” Melihat akordeon yang sering dimainkan Ricky, yang telah menjadi signature sound SEMAKBELUKAR, jawaban saya adalah “Benar nih Bung? Apa tidak sayang.” Selain kalimat itu, tak ada yang bisa saya lakukan untuk tidak memberi persetujuan atas apa yang mereka rencanakan.
Pada perbincangan selanjutnya malam itu, banyak pertanyaan yang dijawab David dengan “Terserah abang saja”—sebuah ekuivalen bagi “he he he’ jika menggunakan alat komunikasi nonverbal. (Karena jawaban semacam itu Ricky menyarankan kepada saya untuk lebih baik memakai aplikasi Line jika hendak berkomunikasi dengan David.) David Hersya adalah vokalis, penulis lirik, dan pemain instrumen paling sederhana dan paling rendah hati yang pernah saya temui. Mungkin ini adalah sebuah kompensasi bagi kemampuan membaca dan menulis lirik puitis yang hampir sulit dicari tandingannya (tentu saja saya biased, meski dua hari lalu saya terkejut mendapati bahwa rangkuman fiksi Sampar Albert Camus ternyata bisa ditemukan di dua kalimat pembuka lagu “Be(Re)ncana”, “Terlahir dan terasingkan, tak lantas menjadi duka..” Saya teringat Dr. Rieux dari lirik ini).
Dan seperti penulis besar lainnya, seperti Kafka yang membakar manuskrip yang baru saja ditulisnya, David tidak pernah terlalu menganggap serius semua kelebihan yang dimilikinya. “Apa ya? Terserah interpretasi kalian lah. Saya tidak tahu pernah baca buku apa,” adalah jawaban dia untuk setiap pertanyaan yang diajukan tentang siapa penyair, penulis, atau buku apa yang mempengaruhi gaya bertuturnya. Hanya pada malam berikutnya kami bisa mengetahui betapa dalamnya David sudah lama bergulat dengan sastra lokal, bagaimana dia begitu tidak suka dengan Saman, penolakannya terhadap versi sejarah seni lokal yang ditulis oleh birokrat seni Palembang, juga pendirian David dan kawan-kawan yang tidak berpretensi hendak menyelamatkan musik Melayu, dengan sepenuhnya mengakui bahwa apa yang dinamakan sebagai Melayu sesungguhnya tidak benar-benar ada: “Yang ada di sana hanya tradisi tutur…” Singkat kata, meminjam istilah Eddie Vedder, David adalah restless soul, dan malam itu dia berkeputusan untuk berhenti dari segala hal yang membuatnya lelah dan gelisah. “Kami sudah lelah,” ucapnya beberapa saat sebelum naik ke panggung kecil di camp IM.
Beberapa dari mereka kemudian mengungkapkan bahwa motivasi mengundurkan diri adalah penemuan cahaya baru yang hendak menuntun mereka ke cinta yang lain. Tapi kelelahan itu mungkin yang paling meyakinkan bagi kami. Mereka sudah terlalu lama bermain musik, dan setidaknya menurut Ricky, hanya di Jatiluhur dan Kineruku kemarin mereka benar-benar menemukan crowd yang tepat. Ada sejarah panjang mereka bermain di gig metal dan diminta turun sebelum slot waktu habis; atau di waktu lain ketika mereka diminta tampil di sebuah acara yang dihadiri Dahlan Iskan, namun hanya kebagian tugas berdiri memegang instrumen demi menjadi pajangan bagi sang menteri dan rombongan. Sejak awal hanya sedikit yang memberi perhatian: rilis pertama mereka dicetak 50 kopi dan hanya teronggok menumpuk debu, sebuah keterasingan di rumah sendiri.
“Ini pertama kalinya David begitu banyak bicara,” kata Ricky ketika SEMAKBELUKAR menyelesaikan pertunjukan di camp IM setelah hampir dua jam. Ada begitu banyak emosi dan mungkin gig ini bisa menjadi katarsis. Mungkin mereka lega bahwa akhirnya semua beban akan segera hilang. Mungkin alasannya praktis saja. Mereka tidak harus latihan, bermain atau menulis komposisi baru. Mungkin SEMAKBELUKAR tidak sabar menunggu kebebasan yang akan segera datang, setelah dibelenggu musik selama 10 tahun. Mahesa dan Angger, yang juga sangat hemat kata-kata namun memiliki sorot mata penuh rasa percaya diri, adalah veteran scene musik Palembang. Mahesa yang malam itu menabuh mini gong pernah bermain di sebuah band grunge dan malam itu dia mengenakan flannel. Ariansyah pernah aktif di sanggar musik Melayu di Palembang. Ricky, yang pernah beberapa tahun di Bandung, adalah muka lama di scene Palembang dan pernah mendirikan band industrial dan sempat cukup dikenal dengan rambut gimbal. David, yang juga seorang sound engineer berpengalaman, pernah bermain di band punk dan diisukan memiliki tato “Corrosion of Conformity” di salah satu lengannya. Angger sendiri adalah anggota termuda yang direkrut paling belakangan dengan peranan bermusik yang akhirnya hanya kami bisa ketahui melalui pertunjukan terakhir di Kineruku.
Di Kineruku pula kami akhirnya tahu bahwa SEMAKBELUKAR bukan hanya kolektif yang mengemukakan cara bertutur dan gagasan baru, namun juga kemampuan menulis komposisi kelas kampiun. Di sleeve EP, anda mungkin akan bingung dengan apa yang dilakukan oleh Mahesa dengan mini gong, instrumen yang biasa dipakai penjual es krim keliling. Dari pertunjukan terakhir mereka itu kami kemudian tahu bahwa gong ini tidak hanya menjadi pemberi ketukan dan penjaga ritme, namun juga memberi sapuan warna metalik untuk dentuman gendang Melayu yang ditabuh Ariansyah. Kini setiap mendengarkan setiap komposisi di EP terakhir mereka, bunyi mini gong tersebut kian menguatkan orisinalitas mereka, selain tentu saja hembusan akordeon Ricky Zulman. Dan ini semua tentu dihasilkan dari ratusan jam yang dihabiskan semua personal di ruang rekaman termasuk yang dihabiskan David di depan mixing board, mendengar, memperbaiki dan mengedit hasil pekerjaan orang lain.
Pertunjukan di Kineruku, dengan tata suara yang sedikit lebih baik dari apa yang disediakan di camp IM (paling tidak ada 7 mic dan 1 mixer), juga menyadarkan kami bahwa sesungguhnya SEMAKBELUKAR adalah band pop par excellence. Setiap individu di SEMAKBELUKAR telah memiliki sejarah panjang memainkan musik “Barat”, lengkap dengan attitude “indie rock” atau “punk” seperti mengedepankan ironi, self-deprecation dengan menertawakan dan menyabotase diri sendiri (Ricky punya kecenderungan merusak sound akordeon-nya, sementara David seperti sengaja melupakan lirik atau memotong kord-kord mandolin di tengah jalan). Mereka semua bisa memainkan instrumen apapun, dan ketika akhirnya memilih instrumen dan lirik “Melayu” mereka sesungguhnya bermain-main dengan identitas budaya dan etnisitas, sebuah muslihat yang hanya bisa dieksekusi oleh para polyglot yang sudah akrab dengan Barat maupun Timur. Jadi sesungguhnya Anda telah masuk ke perangkap mereka jika Anda memasukkan mereka sebagai musik Melayu. SEMAKBELUKAR adalah band pop punk dan kelima personil mereka adalah punk rockers.
Malam itu di Kineruku, SEMAKBELUKAR memutuskan untuk selesai dengan urusan menjadi punk rockers. Minggu sore itu, demi keselamatan lingkungan, mereka tidak bisa membakar instrumen. Kami hanya bisa menyediakan palu, kapak, dan beberapa linggis. Di halaman belakang Kineruku yang penuh temaram cahaya kuning lampu filamen, mata saya berair melihat David berjongkok terpekur menyaksikan Ricky, Ariansyah, Mahesa, dan Angger menghancurkan instrumen yang pernah mereka cintai. Entah apa yang bergejolak di benak mereka sore itu. Sehabis shalat Maghrib, saya ditarik Ricky ke ruang tunggu artis di Kineruku. “Pasti saya mau dipukuli,” saya bercanda. “Iya, ini semua gara-gara elo,” kata Ricky. Dia kemudian menyerahkan dokumen elektronik dari semua perjalanan musik mereka. “Ini bukan urusan kami lagi,” mungkin itu yang hendak dia katakan.
Setelah pertunjukan terakhir itu, kami terjaga hingga larut malam di mess Common Room Bandung. Semua tampak lelah, namun semua ringan berbicara. Semua bercerita soal musik, musik dan musik. Apa yang mereka suka dan tidak mereka suka. Mereka semua tampak bahagia. Atau paling tidak, kita harus bayangkan SEMAKBELUKAR bahagia.
* * *
Tangerang, 14 Desember 2013
[Taufiq Rahman, Elevation Records]
Tulisan ini pertama kali dimuat di web Elevation Records. Foto-foto (dari atas ke bawah) oleh Wawan Hernawan, Fadli Kurnia Rahmat Tarigan, dan Muhammad Dwiki Syahdeini/Muhammad Arief Septian Utama.
> Rilisan terakhir SEMAKBELUKAR EP (2013) dalam format kaset (cassette tape), CD, dan piringan hitam (vinyl 7″) bisa dibeli [langsung maupun via mail order] di Kineruku, Jl. Hegarmanah 52, Bandung 40141. Email: kineruku[at]gmail[dot]com. SMS: 087824281152.