Berikut ini tiga buku dari koleksi perpustakaan Kineruku, yang menurut kami patut dibaca selama libur panjang ini oleh para pelancong, atau katakanlah kali ini para pemudik, meski tidak menutup kemungkinan cocok juga bagi mereka yang tahun ini memilih tidak mudik. Guy Pearce, aktor Australia yang perannya di film Memento pada awal dekade 2000an adalah salah satu favorit kami, pernah berkata begini, “The thrill of coming home has never changed.” Hmmm. Terlepas dari apakah Anda sepakat dengan Oom Pearce atau tidak, juga bagaimana pandangan Anda soal pulang-atau-tidak-pulang, dilema antara menengok kampung halaman atau malah kabur berlibur, dan hal-hal yang tak selesai lainnya, semoga judul-judul rekomendasi Kineruku ini bisa turut andil mewarnainya. Selamat rehat, dan kepada semuanya kami ucapkan “Good luck.”
___
Kaas (Keju)
Willem Elsschot, 1933, edisi terjemahan Bahasa Indonesia oleh Penerbit Gramedia, 2010, tebal 173 halaman
Setiap karyawan mungkin pernah berangan-angan menjadi pebisnis dalam hidupnya, membayangkan hidup ongkang-kaki-bergelimang-harta dengan menjadi bos. Frans Laarmans yang polos, seorang kerani perusahaan galangan kapal di Antwerp, Belgia, gembira bukan main ketika tiba-tiba mendapati kesempatan menjadi pengusaha keju, makanan yang paling dibencinya. Segala hal kecil pun ia lakukan, mulai dari menimbang-nimbang nama perusahaan beserta singkatannya (ya, ia menghindari kata keju), memilih wallpaper berwibawa bagi ruang kantornya, membeli meja dan mesin tik bekas, hingga mencari agen dari pelosok negeri untuk membantu menjual keju-kejunya. Akhir cerita pun sudah bisa ditebak. Nihil. Kaas dengan gaya ceritanya yang deskriptif namun lempeng, singkat padat, sinis tapi lucu ini tak hanya bikin kita geleng-geleng, tapi juga berhasil menyadarkan kembali segala kemampuan senyum yang kita miliki, mulai dari yang pahit, manis, hingga yang paling sering muncul: miris. Diharapkan dengan membaca buku ini, handai taulan sekalian dapat melatih terlebih dahulu potensi senyum sebelum bertemu dan mendengarkan kisah sanak saudara dalam liburan kali ini.
*
Merantau ke Deli
Hamka, 1941, cetakan VIII oleh Penerbit Pustaka Panjimas, 1982, tebal 157 halaman
Kisah dibuka dengan para buruh yang baru gajian, dan bagaimana mereka menyerah kepada godaan “menguapkan” perasan keringat itu demi hal yang “membahagiakan” mereka. Sebagian berbelanja baju dan makanan, sebagian lainnya berjudi. Gaji yang diterima pada pukul 5 bisa ludes dua jam kemudian. Hikayat ini ditulis Hamka pada 1939-1941, tapi seolah ditujukan bagi siapapun yang merasa pemasukannya tidak cukup. Sesungguhnya, cukup adalah kondisi yang diperjuangkan semua orang. Ada Poniem, perempuan Jawa yang dikawini laki-laki yang kemudian menjerumuskannya menjadi kuli kontrak di Deli. Leman, pemuda Minang, jatuh cinta kepada Poniem serta berjanji melindunginya. Keduanya lalu menikah. Perniagaan Leman berkembang berkat tambahan modal dari simpanan Poniem. Namun perjuangan mereka untuk merasa cukup belum usai. Kebanyakan kenalan Leman menganggap Poniem “orang lain” hanya karena tidak berasal dari Minang. Di benak Leman pun muncul keinginan menikahi perempuan sekampung yang bisa melahirkan anaknya. Ia bahkan mulai bertanya-tanya, “Bagaimana rasanya menikahi perawan?” Meski menyedihkan, Hamka mengungkap jalan hidup tokohnya dengan biasa-biasa saja; tak kelewat dramatis sebagaimana beberapa pembuat film meletakkan musik megah pada adegan ketika penonton mesti terharu. Pada akhirnya, semua tokoh menerima konsekuensi dari perbuatan mereka sendiri. Mungkin keadilan tak selalu terjadi dalam hidup kita, termasuk liburan kali ini. Tapi bukankah buku kita belum kelar ditulis?
*
Innocent When You Dream, Tom Waits: The Collected Interviews
Mac Montandon (editor), 2005, edisi paperback oleh Orion Books, 2007, tebal 394 halaman
Seorang kawan yang bersuara merdu dan pandai bernyanyi pernah dengan tepat menggambarkan vokal Tom Waits: “mirip knalpot bocor”, namun tetap mengagumkan. Si kawan tentu tak sendiri. Ada banyak pemuja Tom Waits di seantero bumi, hasil kombinasi maut dari pita suara sember, iringan blues/jazz/experimental yang lebih mirip organized noise ketimbang musik, yang terus-terusan merepet soal apesnya kehidupan untuk ditertawakan, serta kepribadian misterius yang kocak, gelap, dan sulit dimengerti. Sampai hari ini belum pernah ada buku otobiografi dari si kerongkongan kodok itu, sehingga kumpulan 38 naskah profil dan wawancara inilah yang paling mendekati: Tom Waits dalam kata-katanya sendiri. Mungkin memang dibutuhkan kisah hidup yang tak lazim untuk bisa menghasilkan musik ganjil sepekat itu, seperti masa kecil yang diisi dengan merakit radio transmisi sendiri (ayahnya ahli radio di militer) dan meyakini alien pernah menghubunginya lewat perangkat tersebut. Ia menceritakan itu ke Jim Jarmusch, kawannya seorang filmmaker, yang mewawancarainya di atas mobil tuanya yang perlente, dan berakhir dengan mobil itu terbakar. Musik dan falsafah hidupnya sama-sama ajaib, meminjam kata-kata Frank Black dari The Pixies di halaman pengantar buku tentang senyum menyeringai Tom Waits di atas panggung, “mengesankan, juga agak menyeramkan.” Ketika majalah Vanity Fair menyodorkan daftar klasik Proust Questionnaire, di pertanyaan “On what occasions do you lie?” jawaban Tom Waits adalah “Who needs an occasion?” Membaca lembar-lembar absurd buku ini barangkali malah bisa menenangkan jiwa-jiwa pulang nan resah; karena selihai apa pun kita bersiasat di liburan yang bagi sebagian orang mungkin hanya sekadar setor muka dan berpotensi menjengkelkan ini, menjadi diri sendiri adalah justru muslihat terbaik yang bisa kita lakukan.
___
Tengok juga rekomendasi buku-buku menarik dari kawan-kawan kami penggiat rumah baca, perpustakaan, dan toko buku lainnya, yang dikumpulkan di sebuah artikel di VICE Indonesia.