Pukul tujuh kurang, kumandang adzan sayup terdengar dari kejauhan. Di halaman belakang Hegarmanah 52, orang-orang duduk lesehan di karpet yang digelar di atas hamparan rumput yang sedikit basah karena gerimis sore sebelumnya. Langit malam sedikit berawan. Layang-layang putus tersangkut di pohon cemara. Belum ada gambar di layar. Suasana hening.
“Sebentar ya, kita tunggu sampai adzan selesai…” Ariani Darmawan mengumumkan.
***
Sabtu malam (24/10), seorang laki-laki berdiri di sudut teras Rumah Buku/Kineruku. Ia mengenakan jaket dan celana pendek berwarna hitam, serta kemeja putih bergaris-garis. Laki-laki itu bernama Edwin. Dialah sutradara Babi Buta Yang Ingin Terbang, film panjang pertamanya yang menjadi buah bibir di berbagai festival film internasional. Di acara Kineruku Layar Tancep, Edwin (beserta istri) dan sang produser sengaja hadir untuk menemani pengunjung menyaksikan pemutaran perdana film Babi Buta Yang Ingin Terbang di kota Bandung.
Ketika membuka acara, Ariani Darmawan menyampaikan bahwa mulai pekan ini Rumah Buku/Kineruku akan mengedarkan kotak kencleng sebagai bentuk apresiasi bagi para pembuat film. Sistem ini berbeda dari ticketing karena para pengunjung bebas menentukan sendiri seberapa besar nominal yang mereka relakan. “Masa sih kita mampu bayar sekian rupiah untuk bioskop komersial, tapi nggak bisa menyisihkan sedikit untuk para pembuat film? Apalagi ini karya anak bangsa…” ujar Ariani.
Babi Buta Yang Ingin Terbang dibuka dengan adegan reli panjang pertandingan bulu tangkis tunggal putri antara pemain Indonesia keturunan Cina, Verawati (Elizabeth Maria), melawan seorang pemain Cina. Perolehan angkanya ketat. Di saat hampir semua penonton menahan napas tegang, dengan polos seorang anak bertanya, “Yang Indonesia yang mana?” Shuttlecock membentur net, jatuh di bidang permainan sendiri. Seolah menjawab pertanyaan si anak, skor pun bertambah untuk pemain Cina.
Verawati adalah satu dari sekian karakter dalam film Babi Buta Yang Ingin Terbang yang menghadapi persoalan dengan identitasnya sebagai etnis Cina. Ada juga Linda dan Cahyono, yang kenyang dengan perlakuan diskriminatif sejak kecil, sehingga tumbuh menjadi dua orang yang hampir membenci kecinaannya sendiri. Sikap ini ditunjukkan Linda dengan memakan petasan demi mengeluarkan spirit jahat dalam dirinya. Petasan itu ia jejalkan ke mulut bersama gulungan roti, mirip hotdog, sementara televisi meliput aksinya. Ada juga kakek Linda yang gemar bermain biliar sembari bercerita kepada cucunya tentang sejarah pergantian namanya. Kisah-kisah ini saling berkelindan dengan cerita Halim—ayah Linda dan suami Verawati—sebagai puncaknya. Halim, diperankan dengan sangat bagus oleh Pong Harjatmo, adalah seorang dokter gigi yang yakin bahwa hatinya akan damai jika hidup sebagai warga pribumi. Dengan segala cara ia berusaha mentransformasikan dirinya: menyayat kelopak matanya sendiri supaya lebih lebar, berpindah agama, hingga melakukan threesome dengan sepasang homoseksual agar bisa menikah lagi dengan perawatnya yang warga pribumi dan mendapatkan keturunan baru. Satu-satunya yang tetap melekat pada Halim hanyalah lagu hits Stevie Wonder dekade ’80-an, “I Just Called to Say I Love You”, yang ia nyanyikan sepanjang waktu.
Menyaksikan Babi Buta Yang Ingin Terbang, yang paling terasa adalah bagaimana film ini berbicara. Butuh niat dan perhatian ekstra untuk menyimaknya, karena apa yang dikatakan film ini barangkali bukan sesuatu yang dirasakan semua penontonnya. Cara penyampaiannya pun melalui metafora-metafora yang menohok dan tidak mengada-ada. Kendati demikian, tak berarti Babi Buta Yang Ingin Terbang membenci penontonnya. Film ini memang kelam, tetapi toh sesekali ia bisa bercanda dan mengajak penonton berkaraoke.
Diskusi dimulai beberapa saat setelah film selesai. Duduk bersanding dengan sutradara/penulis Edwin dan produser Meiske Taurisia, Ariani Darmawan sebagai moderator membuka percakapan dengan pertanyaan seputar pemicu dan tahapan-tahapan produksi Babi Buta Yang Ingin Terbang. Setelah berterima kasih kepada sekitar 70 orang penonton yang hadir, Edwin dan Meiske pun mulai menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar karya mereka.
PRODUKSI, MAKNA, DAN INTERPRETASI…
Awal mula Babi Buta Yang Ingin Terbang bisa dirunut sejak tahun 2002, ketika Edwin mulai membuat film pendeknya. Menurut sutradara yang pembawaannya tak semengerikan tema-tema filmnya ini, produksi film pendek yang hanya memakan satu sampai dua hari untuk syuting, seminggu untuk editing, membuat ia dan krunya bisa konsisten bekerja dengan energi penuh. Edwin menganggap film-filmnya merupakan kerja kelompok dengan kru kecil di mana ia merasa nyaman berkomunikasi dengan mereka.
Tahun 2006 muncul energi berlebih untuk membuat film panjang. Pemicunya adalah pertanyaan-pertanyaan Edwin seputar identitas kecinaannya yang sulit terjawab, yang ternyata juga dirasakan oleh beberapa krunya. Film dirasa menjadi media paling tepat untuk mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ide cerita muncul dari tulisan-tulisan lama Edwin, berupa cerpen dan puisi. Gagasan tersebut dilemparkan kepada kru, dan mereka mendukung. “Tahun 2007, kami memutuskan untuk serius mengerjakan film ini,” ujar Meiske, yang mau beralih tugas dari penata kostum menjadi menjadi produser karena merasa melihat hidupnya dalam cerita Edwin.
Paham sulitnya mencari sponsor dengan bahan cerita seperti ini, Edwin dan kawan-kawan bertekad memproduksi Babi Buta Yang Ingin Terbang secara gerilya. Artinya, kegiatan syuting baru dilakukan jika ada uang. Mereka mesti pintar-pintar memanfaatkan kebaikan teman, meminjam setting dan properti, dengan konsekuensi apabila kehabisan uang, produksi pun vakum sampai terkumpul dana lagi. Hebatnya, mental Edwin dan para kru telah siap dengan keadaan ini, karena toh sejak awal mereka sadar anggaran memang kurang. Tentunya pernah ada perasaan tidak yakin film ini bisa selesai. “Tapi bebannya nggak terlalu berat,” tukas Edwin kalem. Gagal mendapatkan pendanaan produksi film dari dalam negeri, tim produksi pun giat mengajukan proposal ke luar negeri. “Produksi film kelar pada awal tahun 2008. Kalau semuanya ditotal pembuatan film ini makan waktu satu tahun lebih,” kenang Meiske.
Ada cerita menarik seputar perjuangan Meiske dalam memperoleh rights lagu “I Just Called to Say I Love You”. Lagu ini adalah lagu wajib di momen-momen paling tidak nyaman di film Babi Buta Yang Ingin Terbang. Awalnya Meiske menghubungi pihak EMI Indonesia, namun tak ada balasan. EMI Malaysia pun dikontak, hasilnya pun sama. Hal ini tentu saja mengkhawatirkan, karena untuk bisa diputar di festival film internasional, sebuah film tidak boleh melanggar hak cipta. Sempat kebingungan, akhirnya suatu hari Meiske menemukan fakta menggembirakan: ada sebuah film Perancis yang juga menggunakan lagu itu sebagai soundtrack-nya. Ia langsung menghubungi pembuat film itu, dan dari situlah ia mendapat nomor kontak perwakilan Stevie Wonder di New York. Setelah membayar royalti, izin pun keluar. “Untung saja, kalau izinnya nggak keluar kami terpaksa nekat. Atau mengulangi pengambilan gambar!” papar Edwin.
Sesi pertanyaan pun dibuka bagi pengunjung. Meski awalnya malu-malu, satu persatu tangan pun mulai mengacung ke udara. Menjawab pertanyaan Haikal tentang aneka detail budaya lokal yang mungkin sulit dimengerti penonton asing, Edwin mengatakan bahwa filmnya justru dibuat untuk orang Indonesia. “Saya berharap orang Cina-Indonesia menonton film ini dan mulai membahas tentang masalah ini. Apalagi topiknya susah, nggak enak dibicarain kalau nggak ada pemicunya. Film ini memang nggak universal, banyak orang yang nggak mengerti. Untuk itu kami menyisipkan penjelasan pada press release. Nggak semua dijelaskan, tetapi diusahakan cukup agar orang tertarik untuk mencari sendiri di internet,” jelas Edwin. “Ditambah lagi semua orang tahu soal diskriminasi.” Jawaban ini mengundang rasa penasaran Ariani, “Berhasilkah pemutaran film ini mengundang diskusi?”
“Minimal mereka mulai mengingat lagi, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada peristiwa Mei 1998,” jawab Edwin. “Sebetulnya nggak terlalu banyak juga orang Cina-Indonesia yang menonton, mungkin karena memang minoritas juga. Tapi waktu pemutaran film ini di Surabaya sempat ada diskusi.” Selanjutnya Edwin diberondong pertanyaan penonton seputar makna metafora yang bertebaran sepanjang durasi film: “Mengapa Linda makan petasan?” “Mengapa lagu Stevie Wonder yang dipilih?” “Dari mana mendapat inspirasi judul Babi Buta Yang Ingin Terbang?” Edwin menjawab semuanya dengan tenang: “Untuk mengusir spirit jahat dalam dirinya.” “Karena lagu ini sangat menempel ketika saya masih kecil. Kalau mau dihubung-hubungkan Stevie Wonder kan buta, tapi dia bisa sukses. Berarti si dokter juga.” “Nggak dari mana-mana.”
Beberapa pengunjung sedikit lebih berani mengemukakan interpretasi mereka. Budi Warsito membicarakan gajah di dalam ruangan: adegan homoerotik antara Pong Harjatmo, Joko Anwar, dan Wicaksono. Awalnya, Budi sempat berpikir, “Apakah ini adegan usus buntu? Di mana sebetulnya bisa dibuang.” Namun setelah menyimak lagi—malam itu adalah kali keduanya menonton film ini—ia merasa adegan tersebut bisa jadi memang perlu, sebagai metafora dari relasi kekuasaan, atau lebih jauh lagi, antara penguasa sipil dan militer.
Di obrolan lebih lanjut seusai diskusi, Edwin menyatakan adegan homoerotik ini merupakan cara paling enak untuk menggambarkan hubungan antara petinggi sipil dan militer serta penindasan yang dilakukan keduanya. “Siapa lagi yang bisa memperkosa laki-laki kecuali sesama laki-laki?” tanya Edwin bernada retoris. Namun di sisi lain, metafora yang sangat mengena ini sekaligus berisiko tertutupi oleh sensasi belaka adegan seksual sesama jenis. Penonton bisa jadi salah jijik. Bukan jijik pada relasi dan penindasan yang dilakukan petinggi sipil dan militer, melainkan keburu jijik pada gagasan hubungan seksual sesama jenis. Padahal itu merupakan sesuatu yang normal bagi para homoseksual. Metafora ini bagaikan pisau bermata dua, karena bisa menyinggung para homoseksual yang merupakan kaum minoritas. Sementara tema besar film ini sendiri tentang diskriminasi terhadap etnis minoritas di Indonesia.
Edwin mengaku tak bermaksud menyinggung masalah homoseksual di dalam filmnya. Ia tak merasa bahwa hubungan homoseksual adalah sesuatu yang terlampau sensitif sehingga tak bisa disentuh. Edwin membandingkan situasi homoseksual dengan situasi yang dihadapinya, “Saya kurang suka dengan upaya orang memperhalus kata ‘Cina’, dengan memakai ‘Tionghoa’ atau ‘Chinese’. Apa sih bedanya?” tanya Edwin. Ia juga menyuarakan kekagumannya pada aktor kawakan Pong Harjatmo yang tak melihat karakternya di film ini sebagai korban, melainkan orang yang justru secara heroik berkorban demi mencapai kedamaian hatinya.
Malam kian larut. Pengunjung berangsur-angsur beranjak dari taman rumput, meninggalkan Rumah Buku/Kineruku. Tanggapan Edwin atas komentar seorang penonton tentang keberadaan etnis Cina di Indonesia kembali terngiang di kepala, “Masyarakat Cina di Indonesia bertanggung jawab karena nggak pernah membicarakan tahun 1966, saat dipaksa untuk mengganti nama. Nggak juga membahas peristiwa Mei 1998. Yang nggak punya uang menerima, yang punya uang bakalan kabur. Nggak ada upaya untuk melawan balik tekanan yang ada. Jangan-jangan sikap itulah yang membuat peristiwa-peristiwa ini terulang kembali.”
***
Edwin lahir di Surabaya pada tahun 1978. Lulusan desain grafis sebuah universitas swasta di Surabaya ini sempat mengecap pendidikan film di Institut Kesenian Jakarta, dan telah membuat enam film pendek termasuk Kara, Anak Sebatang Pohon (2005) yang berhasil masuk ke Festival Film Cannes, dan Hulahoop Sounding (2008) yang merupakan daur ulang atas film ujian Joel Coen di New York University. Film panjang pertamanya, Babi Buta yang Ingin Terbang (2008) mendapat sambutan beragam dari media besar di Amerika Serikat: The New York Times, The Village Voice, The Hollywood Reporter, dll.
Seusai acara malam itu, di antara orang-orang yang berlalu lalang di teras belakang Rumah Buku/Kineruku, Edwin masih bersedia meluangkan waktunya menjawab wawancara iseng seputar hal-hal ringan berikut ini:
Sebutkan tiga warna kesukaan.
Hijau, biru, kuning.
Hadiah ulang tahun yang paling diingat?
Kaus gambar robot. Maksudnya gambar robot Transformer, tapi warnanya kurang mirip.
Apa yang biasa dilakukan di hari Minggu siang?
Tidur.
Seperti apa rasanya cinta?
Saya agak jarang makan cinta. Tapi rasanya seperti makan petasan. Deg-degan gimana gitu…
Ceritakan sebuah rahasia.
Sebenarnya, merah adalah warna yang paling saya suka.
[Andika Budiman, melaporkan dari Rumah Buku/Kineruku]
Newer
<b>KALA</b> | Joko Anwar, 2007
Older
Kineruku Layar Tancep:<br> <b>Babi Buta yang Ingin Terbang</b><br> (Sabtu, 24 Oktober 2009)
Comment (1)
Pingbacks
- Author
[…] Ravi Bharwani sendiri malah nggak dateng!), Eliana, Eliana (ini personal favorite saya dan Ariani), Babi Buta yang Ingin Terbang-nya Edwin, dan lain-lain. Pernah juga muter kompilasi film-film pendek tugas akhir mahasiswa IKJ. […]