Mencari Teman untuk Akhir Zaman
oleh: Taufiq Rahman
Tidak banyak perempuan yang pernah datang ke kehidupan saya. Hampir semuanya tanpa romansa dan pasti melibatkan Jeff Buckley, karena mengutip nama Neutral Milk Hotel atau This Heat sudah pasti tidak akan memantik pembicaraan, meskipun Kraftwerk bisa menjadi bahan perbincangan menarik, apalagi jika si perempuan cukup mengerti tentang seni rupa mutakhir.
Ada satu perempuan yang tidak mengharuskan saya untuk melibatkan Jeff Buckley. Di akhir abad lalu, seorang perempuan Swedia mampir ke kehidupan saya. Saat itu calon dokter dengan biaya pemerintah Swedia ini sedang melakukan penelitian penyakit menular di pedalaman Jawa Tengah. Saya membantunya untuk bisa berbahasa Indonesia dan sebagai akibatnya kami justru harus lebih banyak berbicara dalam bahasa Inggris. Datang dari negara sembilan juta orang dengan tingkat kesejahteraan dan pendidikan yang paling baik di dunia, dia adalah teman bicara yang sangat menyenangkan. Romansa adalah hal yang paling mungkin terlintas di kepala banyak laki-laki saat berjumpa dengan perempuan Eropa berambut blonda dengan aksen eksotis, tapi yang terjadi dengan saya adalah pembicaraan panjang soal U2, Lord of the Rings, musim dingin di Eropa Utara, dan sistem kesejahteraan sosial Swedia yang adil dan merata. Nasionalisme mungkin ide yang buruk dengan konsekuensi destruktif yang menyedihkan, namun kadang ada konsekuensi sampingan yang membuat kehidupan mungkin berjalan. Mengenal perempuan bangsa lain, saat di mana usia muda masih memungkinkan kita punya banyak waktu berbicara tentang omong kosong dunia, adalah kemewahan. Terus terang saya agak kecewa dia lebih banyak menghabiskan waktu dengan ngomong soal U2, ketika saya masih belum bisa beranjak dari hangover grunge. Tak ada gunanya memperdebatkan U2 di akhir dekade 1990an, ketika secara artistik mereka sudah bangkrut, itu juga kalau Anda cukup percaya bahwa U2 adalah band yang masih bisa dikatakan baik secara kualitas.
Tahun 1999, grunge sudah resmi berakhir dan satu-satunya hubungan yang tersisa antara saya dan grunge adalah melalui Chris Cornell, penghela vokal tinggi dari Soundgarden. Lebih dari Nirvana maupun Pearl Jam, Soundgarden adalah yang terbaik dari troika Seattle tersebut, dan musik mereka jelas lebih berkualitas dan lebih bisa bertahan di tengah gerusan waktu dan trend. Jika nihilisme Nirvana, atau Kurt Cobain terutama, terlalu gelap dan destruktif, maka Pearl Jam punya optimisme dalam memandang hidup. Spiritualisme dan semangat pecinta alam hippy-dippy Eddie Vedder semakin melengkapi pengingkaran mereka terhadap nihilisme grunge. Soundgarden memiliki derajat nihilisme yang lebih bisa saya terima. Sama gelapnya dengan Nirvana kadang, tapi Soundgarden, atau Chris Cornell terutama, mampu menuliskannya dalam lirik impresionis yang penuh warna dan sarat persepsi. Dengan tambahan warna psikedelik di album Superunknown (1994) misalnya, lirik nihilis di lagu-lagu seperti “Just Like Suicide”, “Fell on Black Days”, atau “My Wave”, menjadi hidup di ruang-ruang gelap dan rongga-rongga kosong dalam benak anak muda pertengahan usia duapuluhan. Mungkin juga karena Soundgarden adalah satu-satunya band grunge yang cukup memiliki kapasitas intelektual untuk berfikir sekaligus membuat musik di luar cetak biru raungan distorsi gitar. Atau mungkin karena Chris Cornell memegang gelar S2 ilmu kimia dan gitaris Kim Thayil memiliki gelar sarjana filsafat dari Washington University. Pendek kata, mendengarkan Soundgarden membuat generasi ’90an menjadi nihilis yang cerdas. Pesona mereka di puncak kejayaannya sering datang dari lirik-lirik semacam ini: “Safe outside my gilded cage/ with an ounce of pain/ I wield a ton of rage/ just like suicide.” Diteriakkan dengan tenor tinggi di tengah gelegar drum Matt Cameron dan lengkingan gitar Kim Thayil, “Just Like Suicide” justru adalah musik Wagnerian yang menggelorakan hidup, meski dengan lirik yang bermaksud sebaliknya.
Ketika Soundgarden membubarkan diri setelah album paling sulit mereka Down on the Upside (1996), tak ada lagi harapan untuk grunge, dan ketika akhirnya Chris Cornell merilis album solo Euphoria Morning (1999) saya menerimanya sebagai bonus tak terduga. Pertanyaan besarnya adalah, apa yang bisa dilakukan oleh Chris Cornell tanpa gitar Kim Thayil, drum Matt Cameron, dan bass yang disetem terlampau rendah Ben Shepherd? Jawabannya: banyak! Meski hanya didukung oleh session musicians dengan kaliber jauh di bawah ketiga rekannya di Soundgarden, Chris Cornell di album solonya memang menghasilkan musik berbeda dengan apa yang dia capai di Soundgarden, tapi nihilisme, kegelapan, genangan darah dan air mata, tetap terpelihara dengan baik. Dan justru menyeruak satu suasana yang tidak muncul di tiga album besar Soundgarden (Badmotorfinger, Superunknown, dan Down on the Upside), yakni melankolia. Dan nihilisme melankolik ini terangkum sempurna di “Preaching the End of the World”, salah satu nomor terbaik di album Euphoria Morning. Di lagu ini Chris Cornell seperti berbicara langsung kepada semua orang yang berusia pertengahan 20-an, yang sedang mencari jalannya di dunia, yang masih gamang mencari pegangan hidup, namun sekaligus masih diberkahi dengan optimisme muda dan keyakinan bahwa dunia masih bisa menjadi milik mereka.
Hello, I know there’s someone out there,
who can understand, and whose feeling,
the same way as me.
I’m 24, and I’ve got everything to live for.
Kemudian kita tahu bahwa optimisme ini menipu. Di usia 24, saat bangku kuliah tak lagi nyaman diduduki, uang dari orangtua berhenti mengalir, dan kewajiban menemukan pasangan hidup telah beralih fungsi menjadi komitmen hubungan percintaan yang sekaligus berarti usia muda dengan segala kebebasannya akan segera berakhir, optimisme semacam itu nampaknya tidak terlalu mempesona lagi. Belum lagi akhir abad lalu—mirip seperti akhir-akhir abad sebelumnya yang juga menghasilkan ketakutan-ketakutan tak berdasar lainnya—ada semacam angst akhir dunia, seperti yang kemudian termanifestasi dalam histeria massal tentang kiamat komputer Y2K. (Beberapa tahun setelahnya, kita masih juga disibukkan oleh ketakutan irasional serupa, soal kiamat 2012). Pada akhirnya, yang Anda cari adalah teman yang siap menghadapi kiamat itu. Terkadang musik yang tepat—seperti halnya teman—akan mendatangi Anda dan bukan sebaliknya. Di akhir abad lalu sebuah Euphoria Morning menemukan saya, di saat seorang teman dari belahan dunia lain juga tiba-tiba datang.
Call me now it’s alright,
it’s just the end of the world.
You need a friend in the world,
cause you can’t hide.
So call and I’ll get right back,
if your intentions are pure,
I’m seeking a friend, for the end, of the world.
Entah kenapa perempuan Swedia ini tak pernah berkeberatan bicara tentang akhir dunia, ketika saya mengutip penggalan-penggalan lirik di atas. Saya tidak ingat benar apakah dia berkeberatan ketika saya kemukakan versi non-dogmatis tentang apa yang terjadi setelah dunia berakhir. Ada momen ketika dia sedang berbaring menutup mata menghadap matahari di atas pasir kawah gunung berapi di Jawa, saya datang membelakangi matahari, lalu membentuk siluet di mukanya sambil berkata, “You’re dead and now in hell.” Dia hanya tersenyum. Dia datang dari negara dengan 80% populasinya tak lagi percaya dengan agama, jadi kejutan semacam itu pasti tidak ada artinya. Pada akhirnya, saya begitu ingin perempuan Swedia ini bisa memahami Euphoria Morning sampai saya harus memaksanya membawa pulang pita kaset album itu saat masa tinggalnya di Jawa sudah habis. Mungkin dia tidak pernah benar-benar mendengarkan album tersebut—cassette deck tentu sudah punah di Swedia— dan saya tidak mendengar kabar apapun setelah pertemuan terakhir kami.
Euphoria Morning nyaris dilupakan sejarah dan hanya secara sporadis meninggalkan warisan di sana-sini. Hollywood mengadaptasi secara literal “Preaching the End of the World” dengan memproduksi sebuah film berjudul Seeking a Friend for the End of the World (2012), berkisah tentang laki-laki paruh baya yang bertemu perempuan muda di hari di mana asteroid akan menubruk bumi. Sebuah film yang sublim, namun tidak terlalu berkesan. Satu-satunya hal yang saya ingat adalah karakter Keira Knightley di film itu, yang digambarkan sebagai pecinta musik yang lebih memilih menyelamatkan koleksi piringan hitamnya dibandingkan memperbaiki hubungan dengan kekasih lamanya. Di awal abad 21, Chris Cornell terus bekerja dan menghasilkan beberapa album solo lagi dengan judul-judul yang kurang meyakinkan, semacam Scream atau Carry On. Tidak ada yang tercatat sebagai album layak dengar. Ketika dua tahun lalu Chris Cornell memutuskan untuk merilis ulang album solo di luar Soundgarden, hanya Euphoria Morning yang dicetak ulang dalam bentuk piringan hitam. Seperti hendak menegaskan delik melankoli di album tersebut, pada rilisan ulang ini Chris Cornell memutuskan untuk mengembalikan huruf ‘u’ sesuai rencana semula di judul aslinya (yang tercetak salah di format terdahulu), yakni Euphoria Mourning.
Awal tahun lalu saya melawat ke Swedia dan sempat tinggal dua hari di Linköping, sebuah kota kecil di bagian selatan negeri Skandinavia tersebut. Saya hanya perlu berjalan dua blok dari tempat penginapan untuk menemukan sebuah toko musik yang lebih dari layak untuk kota sekecil itu. Di ujung rak terakhir, saya menemukan piringan hitam Euphoria Mourning masih tersegel rapi. Saya hampir tidak percaya bagaimana rilisan Universal yang mungkin dicetak di Cleveland ini bisa sampai ke ujung Eropa paling utara. Saya langsung mengambilnya di kesempatan pertama. Masa lalu kadang punya cara yang aneh untuk kembali!
* * *
_____
Tulisan ini pertama kali dimuat di buku Pop Kosong Berbunyi Nyaring (Elevation Books, 2017) yang terbit pada Maret lalu. Ditampilkan di situs web Kineruku atas seizin penulis. Hari ini, 18 Mei 2017, Chris Cornell meninggal dunia pada usia 52 tahun. “Sedih, nabi Gen X berpulang,” ujar Taufiq di whatsapp kepada kami.