Please select a page for the Contact Slideout in Theme Options > Header Options

Brave New World | Aldous Huxley, 1932

Brave New World | Aldous Huxley, 1932
05/11/2009

Pernah saya baca di kitab suci bahwa kiamat datang pada saat dunia sedang berada di puncak kemakmuran, kesejahteraan, dan kedamaian. Justru saat manusia telah berhasil meraih apa yang mereka damba-dambakan, mereka mulai kehilangan pegangan dan mengalami kemerosotan moral. Utopia, dunia ideal yang kita cari selama ini, ternyata adalah racun tersembunyi bagi jiwa manusia.

Dalam novel Brave New World, Aldous Huxley memperkenalkan sebuah dunia baru: dunia kita, beberapa abad di masa depan. Dunia di mana suatu pemerintahan telah berhasil menelusuri akar ketidakbahagiaan manusia, yang bermuara pada tiga hal: keluarga, seni, dan Tuhan.

Demi menanggulanginya, bayi kemudian diciptakan dari dalam botol; melalui proses genetika yang canggih ia dihilangkan dari penyakit, dilepaskan dari kecacatan, untuk kemudian terbebas dari derita besar bernama orang tua. Tumbuh besar, mereka hanya belajar apa yang pemerintah ingin mereka pelajari.

Maka seni pun dikebiri, menjadi tak lebih sekadar alat hiburan dan propaganda untuk masyarakat. Sementara sains dijadikan buku resep untuk hidangan industri. Konsumerisme diajarkan sebagai jalan hidup yang utama. Kitab suci diharamkan. Kebahagiaan dipusatkan pada dua sumber utama yakni seks bebas dan candu—konsumsinya dilegalkan dan dipantau ketat oleh pemerintah.

Melalui cara-cara inilah perkembangan jiwa manusia berusaha diredam, karena apapun yang merangsang jiwa sesungguhnya adalah benih kegusaran yang pada akhirnya bakal menimbulkan ketidakstabilan masyarakat. Dengan melindungi status quo, maka kebahagiaan hakiki, utopia, dapat diraih. Tidak dengan murah memang, namun sekalinya tercapai, sistem sosial tersebut mustahil diruntuhkan. Sebuah tonggak keberhasilan peradaban manusia di depan alam serta Tuhan penciptanya.

Diceritakan bahwa dalam dunia yang tentram ini, muncul tokoh-tokoh ganjil yang melihat kejanggalan dalam konsep pemerintahan yang mereka tinggali itu. Tiga tokoh ini saling terkait satu sama lain, menghadirkan konflik utama dalam novel ini.

Salah satu tokoh bernama Bernard merasakan sejak kecil bahwa ada yang salah dengan hidup yang ia dan semua orang jalani. Di sisi lain, semua orang merasa bahwa ada sesuatu yang salah dengannya. Mungkin komposisi alkohol dan magnesium dalam botol pembuahan yang melahirkannya salah takaran. Mungkin ia tidak menghisap soma (candu) sebanyak yang dianjurkan pemerintah. Entah apa. Yang pasti Bernard adalah seorang yang depresif, agresif serta reklusif; dan celakanya, dalam sebuah masyarakat yang menuhankan prestasi dan produktivitas, hal tersebut membuat Bernard diam-diam dijauhi oleh orang-orang di sekitarnya.

Bernard memiliki kawan: Hemholtz. Mereka berdua memiliki persahabatan yang tak biasa. Dari sisi manapun Hemholtz tak memiliki kesamaan apapun dengan Bernard. Hemholtz adalah seorang ilmuwan pintar yang memiliki karir gilang gemilang, fisik sempurna, juga kepribadian yang menyenangkan. Ia diciptakan untuk menjadi pemimpin. Namun alih-alih membuat Hemholtz bahagia, hal itu malah membuatnya merasa terbatasi. Bakat jeniusnya justru tak tersalurkan, terhambat oleh pemerintah yang mengharamkan perkembangan dalam segala bidang. Dengan alasan berbeda, Bernard dan Hemholtz merasa terpenjara dalam masyarakat di mana mereka tinggal. Mereka lantas terikat secara batin, sekaligus berbahaya, dalam sebuah hubungan yang pada saatnya akan menentukan nasib mereka berdua.

Takdir mempertemukan mereka dengan John “The Savage”, seorang pemuda yang datang dari jauh—sebuah negeri yang penghuninya masih mengenal nama-nama yang asing seperti Ayah, Ibu, Kekasih, dan Tuhan. Kehadirannya di negeri utopia menimbulkan riuh kacau: ke manapun ia pergi, ia mempertanyakan segala sesuatu, menantang semuanya. John membuat orang-orang mempertanyakan kembali hakikat keberadaan mereka di negeri utopia tersebut.

Aldous Huxley mungkin akan menjadi penulis terpintar yang karyanya pernah Anda baca. Ia menulis Brave New World pada tahun 1932, menceritakan secara memikat ramalannya tentang masa depan manusia berdasarkan perkembangan teknologi teknologi yang ada pada saat itu. Pemikirannya telah membantu penulis lain untuk menelurkan karya yang tak kalah hebat: George Orwell menulis mahakarya 1984 setelah membaca dan terinspirasi langsung buku ini.

Belakangan, Brave New World telah meraih signifikansi baru. Hal ini karena banyak ramalan dalam novel ini yang satu persatu mulai terbukti nyata. Mengerikannya, nasib suram manusia yang diprediksi Huxley mungkin akan tiba lebih cepat dari yang dikatakannya. Mungkin ‘utopia terkutuk’ yang ia bayangkan, terwujud bukan berabad-abad di masa depan sebagaimana teorinya. Mungkin kita sekarang sedang berada di dalamnya.

[Indra Permadi]

Selain Brave New World, Kineruku juga mengoleksi karya-karya Aldous Huxley lainnya, seperti Crome Yellow, Brave New World Revisited, After Many A Summer Dies The Swan, Collected Short Stories, Brief Candles, dan Point Counter Point.

Comments (0)

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Subscribe