Please select a page for the Contact Slideout in Theme Options > Header Options

Nguping Jakarta:
Koneksi Ketawa, Kiss Per Kiss!

Nguping Jakarta:
Koneksi Ketawa, Kiss Per Kiss!
31/10/2011

 

Pramugari: “Ih, lucu banget, siapa namanya?”
Anak kecil: “Nesia, Tante.”
Pramugari: “Wah, bagus banget namanya! Siapa nama panjangnya?”
Anak kecil: “Indonesia Raya.”

Sushi Tei PIM, didengar oleh seorang programmer yang ingin mengerek bendera (hlm. 166)

Bila ingin mengenali wajah sebuah kota, humor yang berkaitan dengan perilaku alias ‘kelakuan’ para warganya bisa menjadi salah satu indikatornya. Bila humor macam itu dicuri dengar dari sebuah kota yang bernama Jakarta, sang ibukota, kita juga akan bisa melihat cuplikan wajah negara karena di tempat inilah pusat pemerintahan terselenggara. Selain itu, di sini pula sumber mengepulnya periuk nasi puluhan juta penduduk yang berasal dari beragam penjuru nusantara.

Bagian dari buku Nguping Jakarta yang mengawali ulasan ini, menawarkan salah satu potret Jakarta saat ini. Entah sudah berapa kali si kecil Nesia harus menjawab pertanyaan yang sama soal nama lengkapnya. Entah berapa orang yang sudah mendengar jawaban Nesia, namun hanya si programmer yang ikut mencuri dengar di Sushi Tei hari itu yang ‘melaporkan’ kejadian ini ke Kuping Kiri dan Kuping Kanan yang lantas mencantumkan ‘laporan kejadian’ tersebut di blog mereka, ngupingjakarta.blogspot.com. Ringkasnya, cara penyebaran dan pengumpulan humor ala Nguping Jakarta terbentuk dari rangkaian kesaksian dari orang-orang yang tak selalu pandai melucu, namun jelas memiliki selera humor dan sedikit berjiwa reporter karena ia tahu betul harus ke mana meneruskan kesaksian/laporan kejadian kocak yang didengarnya.

Kedua Kuping akan meminta ‘saksi’ memberikan data berupa tempat dan waktu kejadian berlangsung, dan bila hasil laporan dianggap memenuhi syarat serta standar kelucuan kedua Kuping, mereka akan membungkusnya dengan judul pembuka serta menutupnya dengan komentar khas mereka lalu memuatnya di blog. Berbeda dengan rumor, humor yang dituntut oleh kedua Kuping haruslah berdasarkan data dan fakta. Karena, fakta memang bisa lucu. Ciri khas bungkusan humor olahan kedua Kuping pula yang memberikan nilai lebih pada blog/buku Nguping Jakarta. Untuk saya pribadi, soal akurasi kedua Kuping mencantumkan sumber data (meskipun sebatas nama lokasi) dari peristiwa lucu hasil laporan saksi adalah salah satu hal yang perlu dihargai, mengingat sejumlah media utama bahkan kerap tak lagi merasa perlu akurat soal-soal ‘kecil’ seperti itu.

Kelahiran blog Nguping Jakarta sendiri terjadi akibat kedua Kuping mendengar percakapan kocak di sebuah restoran kawasan Cilandak Town Square. Saat itu, kedua Kuping sedang memesan makanan mereka, sementara pengunjung di meja sebelah asyik bergunjing dan di satu titik melontarkan pernyataan kocak. Peristiwa ini mengingatkan salah satu Kuping pada sebuah situs, Overheard in New York, yang memuat beragam peristiwa  lucu khas New York berdasarkan laporan kesaksian warga kota itu. Bak pejabat atau akademisi yang sedang gemar menggunakan istilah ‘muatan lokal’, kedua Kuping yang adalah pekerja profesional lantas bersepakat untuk melahirkan blog yang terinspirasi oleh situs di New York itu. Dalam sekejap, blog itu pun kebanjiran beragam kesaksian kisah lucu khas Jakarta. Sampai beberapa waktu kemudian, kedua Kuping bahkan tak terlacak identitasnya. Rupanya, mereka lupa betapa rajinnya sebagian orang untuk mengklaim. Apa yang dimaksudkan kedua Kuping sebagai ‘niat baik’ mengingat humor yang dilaporkan selalu berdasarkan peristiwa lucu yang terjadi di ruang publik, dan terkadang pelakunya sendiri tak sadar betapa lucu perilakunya di mata saksi, ternyata justru menjadi bumerang yang menjengkelkan. Di sinilah keputusan kedua Kuping untuk membuka sedikit identitas mereka dengan menggunakan nama rekaan, Kuping Kiri dan Kuping Kanan. Mari kita awali pembahasan yang (maunya sok) serius soal buku yang (seolah-olah) tidak serius ini, dengan membongkar sebagian dari ‘isi perut’ Nguping Jakarta.

Bawah, Tengah, Atas, Depan: Kagak Ada yang Kagak Lucu!
Isi ‘perut’ Nguping Jakarta beragam, dan menggambarkan keterwakilan wajah Jakarta di berbagai lini. Sebagian dari isian itu bisa Anda ikuti di bagian ini.

“Saya rasa penyebab banyaknya pelajar SLTP yang tidak lulus adalah karena mereka salah dapat bocoran kunci jawaban.” (hlm. 4, Yang Namanya Bocoran Itu Harus Resmi)

“Loh, Anda tidak boleh sembarangan begitu! Kita harus lihat situasi ini kiss per kiss-nya.” (hlm. 59, Ini Tindak Lanjut Yang Penuh Cinta!)

“Oh, iya tuh, seharusnya diurus oleh Deperindag.” (hlm. 44, Biar Terjamin Kualitasnya)

“Ya, harap maklum, saya kan bukan seniman!” (hlm. 60, Saya, Kan, Gak Pernah Ngerti Dunia Itu!)

Empat cuplikan di atas bersumber dari penyataan sejumlah pejabat negara di ruang-ruang publik. Yang pertama adalah pejabat bidang pendidikan ketika diwawancara di televisi, berikutnya adalah pejabat yang (niatnya) berkelit menjawab pertanyaan wartawan soal indikasi korupsi di instansinya. Kutipan yang ketiga adalah jawaban seorang artis merangkap anggota dewan saat ditanya wartawan soal masalah perdagangan anak, dan yang keempat adalah pejabat bidang seni dan kebudayaan kala menyampaikan sambutan membuka festival seni kontemporer. Kalimat yang dikutip di sini adalah reaksi ‘bela-diri’-nya ketika salah satu pengunjung mencoba merevisi salah ucap sang penjabat yang berulang kali menggunakan istilah “korentomper” di sambutan resminya itu.

“Pemain X ini adalah pemain yang sangat berbahaya apabila tidak dikawal…” (hlm. 36, Apalagi Jika Gawangnya Tidak Dijaga Kiper)

“Benar sekali pemirsa! Dan saya yakin audisi-audisi mereka ini yang selalu membuat pemirsa di studio maupun di rumah terngaing-ngaing dengan penampilan mereka…”(hlm. 44, Yang Pasti Bikin Kita Terkaing)

“Kita lihat memang sedikit kebingungan tampaknya Nwakolo untuk menentukan ke mana harus menendang bola.. tentunya ke arah gawang.” (hlm. 79, Kalo Ia Dengar Komentar Itu, sih, Sasaran Tendangannya Pasti Berubah)

Tiga kutipan di atas diambil dari beberapa laporan pemirsa televisi, yang melaporkan beragam liputan versi sebagian reporter televisi  kita saat ini.

“Bisa gak, bilang ke pilot jangan navigasi dan komunikasi? Saya mau ngidupin hape bentar aja, takut ngganggu kalau saya gak bilang-bilang dulu.” (hlm. 88, Yang Penting Beretika)

Penumpang 1: (memperlihatkan pass) “(Ini) tempat duduk saya, nomor 24 D-E-C kan?”
Penumpang 2: (memperhatikan pass) “Itu tanggalnya Mas. Tempat duduk mas nomor 7!”
(hlm. 98, Untung Bukan Bulan Januari)

Sementara dua cuplikan kali ini diambil dari laporan saksi terhadap beberapa peristiwa yang memperlihatkan perilaku sejumlah orang yang terkesan sebagai profesional/penting/terpelajar saat sosok-sosok ini masih mencoba menawar ‘aturan main’ yang seharusnya sudah tak perlu dijelaskan.

Anak Kecil: (kebelet) “Ma, mau pipis!”
Ibu: (sibuk belanja baju) “Gak boleh! Mama lagi gak ada duit!”
(hlm. 167, Inget, Harga BBM Sudah Naik!)

Bellboy: “Ada barang yang ketinggalan, Bu?”
Ibu: (malu-malu) “Ehm.. anak saya…”
(hlm. 167. Masnya, sih, Gak Masukin Dia!)

Dua cuplikan di atas merupakan laporan saksi atas ‘kelakuan’ dua orang ibu-ibu muda masa kini, di dua tempat (mal dan hotel) yang dengan segera memperlihatkan dari kelas sosial mana kedua ibu itu berasal. Kita lanjutkan dengan kutipan-kutipan berikut ini,

Penumpang Angkot: (mendadak berteriak) “Assalamualaikum Bang! Assalamualaikuumm!”
Sopir Angkot : (kaget) “Waalaikumsalam, Mbak!”
Penumpang/Sopir: (sama-sama kaget)
Penumpang Angkot: “Maksud saya ‘kiri’, Bang.”
(hlm.78, Terlalu Sopan Mbaknya)

Pembeli SIM Card: “Gak ada nomor cantik, Bang?”
Penjual : “Bedakin aja nomornya.”
(hlm. 103, Suntik Botox Kalo Perlu)

Pedagang Kaos: “Ayo, ayo.. baju murah, 25 ribu bisa masuk surga.. asal dipakai shalat.”
(hlm. 115, Aa? Kok, Sekarang Jualan Kaus?)

Ketiga kutipan terakhir dipilih sebagai contoh laporan saksi yang diperoleh dari lokasi-lokasi umum yang berbeda dari lokasi-lokasi berlangsungnya peristiwa-peristiwa yang mendahului bagian ini. Yang pertama jelas terjadi di sebuah angkot, yang kedua di Stasiun Kota, yang ketiga di emperan Gelora Bung Karno.

Sengaja saya urutkan berbagai contoh peristiwa seperti di atas bukan hanya dengan niat membuktikan betapa kocaknya perilaku orang-orang Jakarta di semua lini, tapi juga sebagai pelengkap argumen saya soal kenapa kedua Kuping sebetulnya tidak sekadar mengajak kita tertawa. Lanjut Bang!

Ngawur di Atas, Gawat di Depan, Lari di Tengah, Pasrah di Bawah?: Setelah Mereka Nguping dan Kita Ketawa, Lalu?
Sejumlah contoh di atas masih menyisakan pertanyaan yang lebih tepat diajukan kepada kita selaku pembaca buku itu: sudah sedemikian ‘lucu’-kah kondisi kita saat ini? Atau sudah selesaikah semua urusan, ketika kita sanggup tertawa atas beragam peristiwa lucu tersebut? Karena satu hal yang harus kita ingat, semua ‘kelucuan’ di buku itu pernah terjadi. Dan pelakunya sendiri, seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya, belum tentu menganggap perilakunya lucu. Para saksilah yang berkesimpulan demikian, dan kedua Kuping mengamini mereka.

Bayangkan jika pejabat negara yang dihidupi oleh uang pajak rakyat sanggup mengobral kekonyolan perilaku mereka, kemudian direkam oleh media massa, apa dampak berikutnya? Jangan heran jika sebagian media massa pun ‘ketularan’ dan ikut merasa tak perlu bertanggung jawab atau mengusung etika. Sampai di sini kita bicara soal penyalahgunaan kekuasaan (power) akibat dinamika tak sehat antara lini ‘atas’ (penguasa) dan ‘depan’ (media massa). Bagian ‘atas’ tak menghargai fungsi media selaku corong publik, sehingga sebagian media massa pun menirunya dengan kemudian memilih untuk tidak menghargai publik melalui perilaku ‘asal meliput’.

Akibat kurang berfungsinya sebagian dari lini ‘depan’ ini, jangan heran bila muncul kalangan yang sebetulnya bingung, namun tak tahu—atau tak mau tahu—muara segala permasalahan di negeri ini, dan akhirnya memilih melarikan diri dari kenyataan. Tampaknya inilah yang terjadi pada lini ‘tengah’. Di buku ini, lini ‘tengah’ diwakili melalui sejumlah sosok yang ‘mirip’ orang penting, pintar, atau terpelajar. Melengkapi lini ‘tengah’ ini ada juga contoh yang menggambarkan kelakuan dua ibu masa kini. Dari contoh-contoh tadi, faktor penggerak lini ini jelas uang. Bagi bapak-bapak ‘sok penting’ di pesawat, jumlah uang kelihatannya bukan soal. Barangkali ia pikir, kalau sejumlah pejabat saja sudah berhasil ia ‘beli’, apa susahnya ‘membeli’ awak pesawat?  Bagi awak pesawat yang tak sempat diberi pelatihan karena berbagai potongan anggaran yang dikorupsi, pertahanan terakhir yang mereka miliki barangkali adalah dengan mengorbankan kenyamanan penumpang.

Bagi si Mas yang salah membaca nomor kursi di boarding pass-nya, ia sudah maklum dengan minimnya asistensi di berbagai bidang pelayanan publik, sehingga amat penting untuk sanggup mengurus dan berani mengklaim kepentingan pribadi. Bagi si Mbak yang memang duduk di kursi yang benar ia pun sukarela menjelaskan ke si Mas yang salah alamat itu, karena si Mbak mungkin sebetulnya adalah sosok paling ‘berbudaya’ di antara sosok-sosok lain di pesawat itu. Bagi dua ibu-ibu masa kini? Penting untuk terus menjaga penampilan karena mungkin itulah satu-satunya bidang yang mereka pahami dan membuat mereka merasa ‘ada’, meskipun untuk itu mereka sampai tak sempat mendengarkan anak sendiri.

Sementara itu, orang-orang di lini ‘bawah’ punya cara mereka sendiri. Setelah semua lini di atas mereka tak ada yang bisa ‘dipegang’, mereka pun memegang lini yang ‘paling Atas’ sebagai cara penyelamatan diri selama diwajibkan ‘hadir’ di dunia ini. Entah apa yang sebetulnya sedang dipikirkan si Mbak di dalam angkot yang niatnya hendak turun tapi justru mengucap salam. Demikian pula dengan apa yang ada di benak Pak Sopir Angkot. Yang jelas keduanya bersepakat secara tak langsung, dan bahkan sudah terprogram untuk senantiasa ‘mengikuti’ aturan main yang menurut mereka sesuai dengan aturan dari Yang Maha ‘Atas’. Pejuang di lini ‘bawah’ juga tak punya ketrampilan marketing dengan istilah berbunga-bunga, pokoknya mereka menyediakan barang dengan harga ‘pantas’, karena selisih keuntungan ‘seperak-dua perak’ itulah yang menentukan hidup mereka dan keluarga esok hari. Demikian pula dengan penjual kaos di emperan Gelora Bung Karno. Ia sadar siapa yang menjadi sasaran pasarnya, namun ia tak mungkin menjual kehebatan penampilan kesebelasan nasional, karena itu ia pun menawarkan ganjaran yang lebih dahsyat lagi dengan menyerempet dunia yang paling ‘Atas’.

Hal sama juga diyakini sang pemilik kios voucher pulsa dan kartu ponsel di Stasiun Kota yang lentur mengatasi kerewelan sejumlah warga yang kerap mengaku beriman namun masih percaya khasiat nomor cantik. Pengalaman ini pula yang mengasah kreativitasnya dalam menciptakan jawaban yang relatif lebih ‘sopan’ (sekaligus usil) ketimbang “Jangan nyari yang kagak ada!“, sekaligus kapasitas untuk menghibur dirinya sendiri dan sebagian orang  lain (termasuk sang pelapor) yang senantiasa memadati Stasiun Kota.

Bagaimanapun, kita harus wajib meyakini adanya setitik harapan di tengah kegilaan ala Jakarta. Harapan itu terwakili dari sosok si Mbak ‘sabar’ yang duduk di bangku pesawat nomor 24  dan juga dari si kecil Nesia di Sushi Tei. Kesabaran penumpang di bangku pesawat nomor 24 itu barangkali hasil dari jam terbangnya mencerna dan mengamati beragam peristiwa di sekitarnya—lebih tepatnya, di ‘lini ia berada—hingga pada satu titik ia berkesimpulan untuk menjadi bagian dari solusi, dan bukan bagian dari masalah. Si kecil Nesia kadung didaulat kedua orang-tuanya untuk tabah dengan memberinya nama yang amat besar. Bisa jadi ini merupakan pilihan ‘lucu’, tapi belum tentu dengan niat ‘lucu-lucuan’. Mungkin saja orangtua Nesia adalah pasangan yang lelah dengan obsesi sejumlah orangtua kelas menengah atas yang tergila-gila pada ‘globalisasi’ dan merasa perlu menamai putra-putri mereka dengan nama-nama yang kebarat-baratan alias berbau ‘internasional’. Kepalang basah menjadi nasionalis mereka pun tak bisa menemukan nama yang lebih dahsyat selain nama republik kita tercinta itu sendiri.

Kedua Kuping telah melakukan langkah awal yang menarik dengan memaparkan kenyataan yang jarang bisa diungkapkan oleh pihak yang berwenang: bahwa kita, sebagai sebuah tatanan masyarakat yang merupakan gabungan dari semua lini dan sudah digariskan untuk berbagi nasib bersama, memang punya masalah besar yakni ketiadaan nilai (value). Pemicunya antara lain karena kita tak mengenal adanya sangsi terhadap tindakan apapun dari siapapun selama ia berada di posisi ‘aman’, yaitu antara lini ‘atas’ hingga ‘tengah’, dimana makin atas makin aman.

Bagaimanapun Nguping Jakarta tak luput dari sejumlah catatan, antara lain akibat kondisi bahasa kita yang terlalu luwes. Sebut saja soal penulisan kutipan verbal, seperti yang tertera pada blog maupun versi bukunya. Bila di sana segalanya tertulis  seperti bahasa lisan, belum tentu hal ini benar. Catatan lainnya adalah soal kelengkapan data, yang sebetulnya bisa lebih membuat buku ini menjadi pendokumentasian yang menarik, yakni pencantuman tahun terjadinya peristiwa. Itu barangkali bisa membantu pembaca mengingat sekaligus meletakkan kelucuan kejadian pada konteks. Karena, sekali lagi, bahasa kita yang sangat luwes dan dapat berkembang kapan saja berakibat apa yang lucu hari ini bisa segera menjadi basi esok pagi.

Akhir kata, menutup (semacam) ulasan ini, izinkanlah saya bertanya: Jadi, cukupkah kita hanya tertawa? Bila di antara Anda ada yang punya kapasitas mengupas buku ini hingga ke ‘jeroan’-nya, percayalah, keahlian Anda itu sangat diperlukan untuk pelan-pelan bisa mengubah tawa menjadi strategi mencari solusi.

[Prima Rusdi, penulis skenario]

Nguping Jakarta
Kuping Kiri & Kuping Kanan
Penerbit B First, 2011, 220 hlm.

Comments (0)

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Subscribe