Kala itu, menjelang akhir dekade ’50-an, Welton Academy (prepschool khusus anak laki-laki) memulai tahun ajaran baru. Bagi mayoritas penghuninya, jalan hidup yang benar adalah: bersekolah tinggi di tempat prestisius dengan nilai-nilai memuaskan, mempelajari ekonomi, membangun jejaring dengan orang-orang berpengaruh, melanjutkan kesuksesan bisnis orangtua, dan meneruskan siklus yang sama kepada keturunannya.
Di kutub ekstrem lain, seni dan sastra masih kerap dipandang sebagai kegiatan ‘ekstrakurikuler’ atau hobi belaka. Puisi, dalam film ini bahkan digambarkan bisa dinilai secara kuantitatif—ada teori, tips & tricks, panduan saklek untuk mengapresiasi dan memahami puisi. Untunglah mereka punya John Keating (Robin Williams), guru Bahasa Inggris baru, yang mengajak murid-muridnya merobek habis halaman cerita hidup itu dan membuangnya ke tempat sampah, tempat mereka seharusnya berada. Inilah penolakan keras pertama pada upaya terselubung yang membelenggu kebebasan berpikir-dan-merasa. Momen itu sangat membekas bagi beberapa muridnya, Neil Perry (Robert Sean Leonard) dan Todd Anderson (Ethan Hawke), juga sekawanan lainnya.
Anak-anak muda yang penasaran itu lantas mendapati fakta bahwa ternyata si guru nyentrik itu dulunya juga siswa di Hell-ton Academy. Menariknya lagi, Keating pernah bergabung dengan “Dead Poets Society”, sebuah perkumpulan spontan anak-anak muda yang memiliki kecintaan pada puisi. Murid-murid Keating pun tergugah untuk menghidupkan kembali perkumpulan itu dengan kalimat sakti dari Thoreau “I went to the woods because I wanted to live deliberately. I wanted to live deep and suck out all the marrow of life.”
Ajaran non-ortodoks Keating (anak-anak muda yang kagum itu memanggilnya “O captain! My captain!”—dari puisi Walt Whitman), juga dibangkitkannya kembali ruh perkumpulan ini langsung menyulut dampak yang berbeda-beda tiap murid. Ada yang mulai berani ‘bicara’ (adegan pura-pura menerima telepon itu “Mr. Nolan, it’s for you. It’s God. He says we should have girls at Welton!”), ada yang menjadi pujangga kagetan (meski hanya dengan sebaris puisi “a cat sat on a mat“), bahkan ada yang menjadi pemberontak berlebihan yang gegabah. Pada dasarnya, menghidupkan dead poets society berarti menghidupkan sesuatu yang telah lama mati suri di dalam diri mereka.
Neil, seorang murid straight-A’s yang sangat mencintai seni pertunjukan, merasa menemukan cinta sejatinya semenjak ada “Dead Poets Society”. Namun larangan keras sang ayah memaksanya mengubur dalam-dalam mimpi menjadi seorang aktor. Ironisnya, seni seringkali dijadikan sebagai salah satu simbol status seseorang. Orkestra musik klasik, pementasan opera, pertunjukan teater Shakespeare didatangi orang-orang berpendidikan dan terpandang, selain demi hiburan dan bersosialisasi, juga untuk menunjukkan gengsi mereka seakan-akan memahami karya-karya seniman-seniman besar. Namun ketika anak mereka ingin ‘berkarir’ dalam bidang seni, mereka mencibir terhina dan jijik seolah dilempar kotoran. Betapa hipokrisi dan penerapan teori jarak sosial ternyata masih kental mewarnai kehidupan masyarakat.
Kerapkali kita disuguhi film-film yang mengedepankan tema pembunuhan massal semacam genocide di Rwanda, tragedi Hiroshima-Nagasaki, dan mimpi buruk Holocaust. Namun rupanya pembunuhan tak selalu harus melibatkan bom atom, racun sianida, AK-47 ataupun samurai. Dalam film ini, ‘pembunuhan massal’ terjadi justru ketika mimpi-mimpi dimusnahkan, kecintaan pada keindahan diberangus, dan gairah hidup dalam jiwa-jiwa muda dipadamkan. Alangkah kejinya mengingat hal tersebut mampu membuat seseorang seperti mati dalam hidupnya. Not being alive while living the life.
Film ini seakan mengingatkan kita: jangan lupa pada mimpi, dan hiduplah di saat kita masih hidup. Semboyan yang kemudian menjadi populer adalah frasa penyemangat yang indah dari Horace, “Carpe diem!” atau “Seize the day!” atau “Raihlah hari ini!”
Dan Si Kapten pun berkata: “Seize the day, boys. Make your lives extraordinary.” Ya, lakukanlah.
[Lintang Melati]
Dead Poets Society
Peter Weir, USA, 1989
128 min, Color, DVD