Man on the Moon
Milos Forman, 1999
UK/USA, 118 min, DVD.
Adakah kita punya pilihan ketika merasa kesepian di dunia yang demikian bersahabat? Andy Kaufman (yang dalam film biopic-nya diperankan dengan sangat bagus oleh Jim Carrey) mungkin punya pilihannya sendiri. Dia memilihnya dengan sadar meski dunia tak memahaminya. Man On the Moon itu sebuah filmkah? Atau nyata terjadi pada banyak orang yang ingin menjadi “dirinya sendiri”? Kaufman tak pernah merasa salah atas dirinya, karena jangan-jangan dunialah yang salah memahaminya. Orang-orang yang tertawa dianggapnya tak berbeda dengan orang mati (“Those are dead people laughing, you know that, those people are dead!”), karena semua lawakan toh sudah sering diulang-ulang. Semuanya.
Maka orang-orang pun terperanjat, jijik, marah pada sesuatu yang baru: lawakan yang tak lazim. Mulai dari Andy Kaufman mengacaukan rundown siaran langsung televisi hingga bertanding gulat melawan perempuan. Realitas dia jungkirbalikkan, mana yang nyata mana yang tidak menjadi sulit dipilah. Penampilan dan gaya menjadi lebih penting dari moralitas, karena toh citra telah menyingkirkan persoalan baik dan buruk dalam permainan rumit gaya-gaya dan jumpalitan makna-makna. Tak semua siap dengan hal-hal baru yang disodorkan, karena memang ganjil. Guyonan ala Kaufman sangat berbeda dengan konstruksi yang telah terbangun di benak mereka (baca: massa). Di kepala mereka lawakan bersifat porno, meniru (perhatikan bagaimana dia mencoba meniru Jimmy Carter dan Elvis Presley), dan hal-hal imitasi lainnya. Disadari atau tidak, Kaufman dituntut menjadi hero oleh pasar.
Foucault menyebut hal ini sebagai “ironi heronisasi” (irony of heronization). Semua orang secara bertubi-tubi dikonstruksi untuk menjadi sebuah simbol dari budaya pop. Orang menjadi berlebih-lebih dalam perilakunya. Pun dalam kehidupan sehari-harinya. Beberapa tayangan infotainment membanjiri masyarakat dengan berbagai berita selebritis yang jauh dari realitas. Orisinalitas di tengah realitas massa kita saat ini menjadi janggal, karena massa nyaris tak pernah mengenalnya. Lawakan-lawakan orisinal Andy Kaufman, yang lahir dari sebuah pergulatan ide dan elaborasi yang panjang, mentah begitu saja, kalah dengan sebuah opera sabun. Bahkan kalah oleh komedi situasi (sitcom)—sesuatu yang sangat dibenci Kaufman, dia menyebutnya sebagai “the lowest form of entertainment“.
Adakah kita temukan hal-hal baru, orisinalitas dalam kehidupan kita? Bahkan hal-hal yang berada di pinggir-pinggir mainstream pun harus tergeser, bahkan tak jarang lantas musnah begitu saja? Daniel Bell dalam The Cultural Contradiction of Capitalism (1976) melihat bahwa modernisme adalah kekuatan yang menggerogoti, menanggalkan budaya-tanding yang menghalangi, beserta budaya hura-hura dan konsumsi massa lantas melakukan makar terhadap nilai borjuis tradisional dan etika puritan. Yang terjadi adalah daur-ulang, reproduksi atas realitas yang sudah mapan. Lewat film ini—dan berarti sekaligus kehidupan Kaufman juga—ada satu upaya untuk memperlihatkan pada kita realitas yang sesungguhnya. Banyak orang menjadi asing atas dirinya sendiri: individu-individu yang harusnya utuh telah sirna ditelan sebuah jejaring yang maha dahsyat, melalui film, iklan, ilmu pengetahuan, mode, komoditi apapun. Kaufman mencoba melepaskan diri dari jejaring tersebut (baca: pasar), dan dia mengajukan kreativitasnya sendiri, yang bagi sebagian orang berarti ‘gila’. Perhatikan saat dia memperagakan aksi Mighty Mouse di musim pertama Saturday Night Live, “Here I come to save the day!”—mengagetkan sekaligus segar, dan pada akhirnya dia memang menyelamatkan dunia lawak dari kebosanan. Atau saat ia benar-benar membacakan satu novel utuh di panggung: ide brilian yang mengaduk-aduk (dan mendekatkan) sebuah tontonan dengan realitasnya, dengan manusia penikmatnya. Berbeda dengan segala yang diproduksi media, yakni “dunia seolah-olah”, yang hampir-hampir tak nyata. Bahwa hampir semua penonton walk-out dari pentasnya, atau memaksa tinggal di kursi meski harus jatuh ketiduran, itu lain soal. Atau justru itu yang diharapkan seorang Andy Kaufman: senegatif apapun reaksi audiens-nya, setidaknya itu tetap sebuah reaksi.
Individu sekarang tak punya pilihan, selain berpasrah diri dan meniru realitas. Realitas kemudian memperlakukan individu serupa binatang tak berakal: “Survival individu dicapai dengan cara survival biologis paling primitif, yakni peniruan.” Individu kehilangan dirinya, kemudian pasar masuk dengan komoditinya. Pencitraan. Image. Atau usaha-usaha lain untuk menunjukkan hal yang lebih dari yang sesungguhnya. Ya, hal-yang-lebih-dari-yang-sesungguhnya. Sepatu hak tinggi bagi orang-orang pendek, suplemen-suplemen diet untuk orang gemuk, suntik silikon bagi yang mendamba (maaf) payudara lebih besar, dan banyak hal lainnya.
Disadari atau tidak, kita telah mencelat jauh dari diri kita sendiri. Aliran fashion di pusat-pusat perbelanjaan dalam akselerasi maksimum menyuguhkan cara sangat efektif dalam memacu laju produksi-konsumsi. Tak hanya dalam hal fashion saja, melainkan apapun. Ya, apapun. Ini termasuk perilaku dan gaya hidup. Seperti dalam masyarakat kapitalis Barat, semua hal diatur agar menjadi sebuah kejutan, ketakterdugaan, dengan frekuensi-frekuensi yang sulit ditebak alurnya. Bisa saja seorang pahlawan atau selebritas yang beberapa saat sebelumnya dipuja-puja, dalam waktu singkat semuanya dapat berubah, berbalik 180 derajat. Paul Virilio dalam bukunya The Aesthetics of Disappearance melihat hal ini sebagai masyarakat yang hidup di ruang ‘epilepsi’, yaitu ruang yang disarati oleh “…kejutan-kejutan dan frekuensi-frekuensi yang variasinya tak terduga, yang tidak lagi sekadar berkaitan dengan tekanan dan represi, akan tetapi dengan interupsi (melalui percepatan), muncul dan menghilangkan dunia real…”
Sementara dunia Kaufman tanpa standarisasi—karenanya real dan non-real menjadi bias—itulah yang membuat produser dan pasar, yang mencoba menjadikannya komoditi, sontak kalang-kabut. Kaufman tak menghendaki hal-hal pakem, dia melabraknya. Lawakan ganjil seperti bertanding gulat dengan perempuan di atas ring, lalu menantang pegulat profesional hanya untuk mendapati lehernya sendiri patah, atau membacakan novel dari halaman pertama hingga terakhir, yang ternyata sudah direkamnya pula, jelas guyonan ‘sakit’ (atau justru ‘segar’, tergantung kacamata apa yang kita pakai). Seperti, bayangkan, jika tiba-tiba sebuah konstruksi McDonal’s dengan makanan cepat sajinya berubah menjadi sebuah warung gudeg. Massa akan sangat sulit untuk mencicipinya, sekalipun itu terobosan orisinal nan berani.
Hendak bercerita apa sebenarnya Man On the Moon? Semuanya demikian metaforis, demikian interpretatif. Kita bebas menerjemahkannya sebagai apapun. Bagi saya, film ini hendak menyampaikan pesan yang tak sesederhana bahwa Andy Kaufman seorang pelawak gila dan terasing. Jangan-jangan yang “gila” adalah realitas di luar Kaufman. Jangan-jangan yang terasing adalah penonton. Seperti banyak orang yang akan mengerutkan dahinya ketika pertama kali menyimak film ini, dengan komentar spontan seperti: ‘Apaan sih?’, ‘Aneh ah!’, dan sebagainya. Karena mungkin film ini justru hendak mengusir orang-orang yang mengkonsumsi hal-hal sebagaimana konstruksi pasar. Dengan seolah-olah masyarakat (massa) memiliki kebudayaan yang mengikat berdasarkan persetujuan—seperti halnya dengan masyarakat zaman dahulu—namun di saat bersamaan sekaligus tunduk pada idiom komersialisme, yang telah menjadi dinamisme lingkungan gaya baru. Termasuk lawakan. Memang tidak mudah. Bahkan seorang pelawak legendaris sekaliber Chaplin pun pernah mengeluh, “What a sad business, being funny.”
Ironis, jika melihat film ini, bahwa sebuah usaha besar (dan ya, tak mudah, sunggguh urusan yang menyedihkan), lawakan yang mempertaruhkan kecerdasan dan bakat yang luar biasa harus musnah ditelan sebuah konstruksi budaya yang dibangun pasar. Kaufman harus dicemooh, harus ditolak—penonton berteriak menyuruhnya turun adalah pemandangan biasa di pentasnya—karena pasar tak menginginkannya. Meski dia jujur dengan apa yang dibawanya, meski dia serius dengan apa yang dikerjakannya, tapi siapa yang peduli? Karena di dunia yang bersahabat ini, dengan hari-hari yang menyenangkan, banyak orang justru merasa kesepian. Mereka asing dengan dunianya, dunia yang melebihi kenyataannya, dunia yang ‘seolah-olah’. Dunia penuh mimpi sekaligus ketakutan. Sesunyi Man On the Moon (benarkah ada nenek yang merajut di bulan, atau itu hanya kelinci?), sebias fakta pendaratan manusia di bulan (benarkah Neil Amstrong menjejaknya, atau itu kibul-kibul pemerintah Amerika?). Tapi kita tak boleh menyerah, sebagaimana jeritan sember Tony Clifton (atau Andy Kaufman, atau siapapun itu) di penghujung film, “I will surviiiveee!” Dan suara kikuk Andy Kaufman (atau Tony Clifton, atau siapapun itu) yang mengajak penonton bernyanyi di video pemakamannya sendiri, “In this friendly, friendly world, with each day so full of joy, why should any heart be lonely?”
[Sigit Giri Wibowo]
>> Trailer Man on the Moon di YouTube.
Trivia: Karakter Andy Kaufman awalnya direncanakan untuk diperankan aktor Edward Norton, sebelum akhirnya Jim Carrey berhasil merebut peran tersebut. Kebetulan yang unik: Andy Kaufman dan Jim Carrey sama-sama berulang tahun di tanggal 17 Januari. Di salah satu adegan, Jim Carrey tampil sempurna sebagai alter ego Andy Kaufman yakni bajingan tengik bernama Tony Clifton, yang mengacak-acak klab malam dengan suara mirip bebek (itik buruk rupa dalam arti sesungguhnya), menyanyikan lagu Gloria Gaynor “I Will Survive“.