Emmet Ray (Sean Penn) adalah gitaris jazz nomor dua di dunia setelah Django Reinhradt, difilmkan oleh Woody Allen. Mengapa Emmet Ray? Bagi Woody Allen, Ray sosok yang menarik, setidaknya dari penjelasannya di awal film Sweet and Lowdown. Sejak awal penonton diajak menyimak film ini sebagai sebuah dokumentasi dari kehidupan seorang Ray yang alkoholik, menyebalkan dan arogan, sekaligus flamboyan dan egosentrik. Berlatar belakang tahun 1930-an, film ini lebih banyak berwarna coklat-kemerahan dengan pencahayaan minim.
Biografi Fiktif
Penetrasi film ini dalam membangun kesadaran nalar penonton telah dimulai bahkan setelah opening title. Sebuah nukilan tentang Emmet Ray dimasukkan sebagai pembuka. Bahkan untuk membangun karakter Ray di dalam nukilan pembuka itu pun, Woody Allen memberikan catatan lagu-lagu yang dikeluarkan oleh Ray. Sangat mengena bagi penonton, sehingga Ray menjadi sosok yang eksis dan nyata. Tapi siapakah sebenarnya Ray?
Ray bukan siapa-siapa, bahkan tidak eksis. Pertanyaan-pertanyaan semacam inilah yang menyeret penonton untuk terus menonton dan menyelesaikan film ini. Kemampuan film ini yang seolah-olah sedang menayangkan biografi seseorang sangat ditentukan oleh berbagai testimoni dari para narasumber yang ‘mengetahui’ tentang Ray. Mereka adalah DJ radio, penulis buku, jurnalis sekaligus sejarawan jazz, dan tentu saja Woody Allen sendiri sebagai pembuat film ini. Dari tuturan merekalah kita tahu siapa Ray dan bagaimana kehidupannya.
Laiknya film dokumenter data dan informasi digali dari wawancara dengan berbagai pihak. Dalam perspektif mereka alur cerita dirajut. Untuk menguatkan bahwa film ini lahir dari berbagai perspektif orang yang mengenal Ray (atau setidaknya mengetahui informasi tentang Ray), maka dimunculkan pula beberapa versi yang berbeda tentang suatu peristiwa. Perbedaan inilah yang kemudian memunculkan kontroversi dalam film.
Misalnya, peristiwa Ray menumpang secara diam-diam dalam mobil yang membawa istri Ray, yaitu Blanche (Uma Thurman), dan Al Torrio. Ada tiga versi cerita dalam peristiwa yang terjadi setelah aksi membuntuti sampai di sebuah pangkalan pengisian bensin. Versi pertama, tiba-tiba keluar dua perampok yang menembakkan pistol ke arah toko. Karena panik dua perampok tersebut membawa mobil yang di dalamnya ada Ray. Kedua, perampokan yang diceritakan itu tidak ada. Menurut versi ini, yang terjadi adalah Ray menodongkan pistolnya kepada Al Torrio. Karena Blanche masih membela Al Torrio, Ray kemudian menodongkan pistolnya kepada dirinya sendiri. Hal ini dibantah oleh Allen.
Dalam versi ketiga, yaitu versi Allen, Ray tidak mungkin melakukan usaha bunuh diri. Karena menurut Allen, Ray yang memiliki ego sangat tinggi mustahil melakukannya. Sepengetahuan Allen, yang terjadi adalah: Ray panik karena melihat Al Torrio yang notabene seorang gangster menodongkan pistolnya ke arah pelayan toko di pengisian gas tersebut. Kepanikan itulah yang kemudian mendorong Ray mengendarai mobil Al Torrio dengan tergesa-gesa. Akibatnya, terjadi tabrakan mobil yang dikendarai Ray dengan rombongan pemusik.
Unsur pertentangan inilah yang tidak berada dalam lingkaran Ray sendiri, tetapi secara jauh dipotret oleh orang-orang yang berada di luar Ray. Dapat dikatakan bahwa perbedaan versi tersebut muncul karena sumber informasi yang berbeda. Tentu saja karena film ini tidak menyajikan data dari Ray sendiri sebagai pelaku utama. Hampir dapat dikatakan, semua sumber informasi berasal dari orang kedua atau ketiga. Kemampuan Allen menghindari sebuah informasi dan sumber informasi primer telah menjadi pengatur jarak yang sedemikian penting antara penonton dan film ini. Sebagai sebuah film semi-dokumenter tentu sangat dibutuhkan keberjarakan untuk tetap menempatkan apa yang terjadi di dalam film sebagai peristiwa obyektif.
Untuk memperkuat kesan inilah maka film ini menggunakan suara tempelan (voice over). Suara yang diperdengarkan di layar film memang berfungsi sebagai tempelan, karena apa yang disuarakan berbeda dengan adegan gambarnya. Di sinilah fungsi suara tempelan dalam film Sweet and Lowdown menjadi begitu penting. Suara tempelan dipakai sebagai alat bagi pembuat film untuk memberi penjelasan, informasi yang belum tercakup, dan lubang-lubang pada kesinambungan plot film. Potensi ini dimanfaatkan demi mengambil alih peran media-lihat yang tak bisa mencakup semuanya.
Allen memastikan bahwa sebagai film semi-dokumenter, film ini harus tetap efektif, efisien, dan bernas. Sementara di sisi lain, sebagai sebuah dokumentasi tentang seseorang dan kehidupannya film ini harus juga menampilkan dan menjelaskan berbagai hal. Tentu tak bisa menganggap semua orang sudah tahu atau punya informasi sama atas sebuah obyek. Peran ini tidak bisa diambil oleh media-lihat saja, selain mungkin bakal semakin bertele-tele, juga karena menjaga stamina penonton terkait dengan durasi. Sehingga peran tersebut diambil alih oleh suara tempelan yang dalam film ini tidak berlaku sebagai sudut pandang orang pertama. Bahkan suara tempelan bisa keluar dari mulut berbagai narasumber yang muncul dalam layar film, tetapi tidak dari Ray.
Penonton Tidak Berada dalam Kejadian
Penonton dalam film ini sama sekali tidak berada dalam segala kejadian yang berlangsung. Seluruh kejadian dalam film hanya menempatkan penonton sebagai penonton. Sebagai penonton yang perlu dilakukan hanyalah menonton film ini sampai selesai. Tujuan ini tercapai dengan sangat baik oleh pembuat film. Selain karena pondasi film yang dibangun dengan gaya bertutur dan menciptakan keingintahuan, juga karena kamera yang selalu bergerak dinamis. Sehingga ada kebutuhan penonton untuk terus melakukan penggalian dan pengamatan tentang apa yang akan terjadi kemudian. Sekali lagi film ini berhasil menyeret penonton pada bagian bahwa seolah-olah film ini adalah film semi dokumenter.
Mempertahankan intensi yang mampu mengintervensi daya imajinasi penonton tentu bukanlah hal mudah. Sutradara tampaknya sangat ketat menjaga sudut pandang kamera agar tetap pada tujuan awal (yakni menciptakan sebagai seolah-olah film semi-dokumenter). Dengan demikian, film ini akan melulu menggunakan sudut pandang kamera obyektif—sebuah kondisi yang bisa saja membuat penonton bosan atau film tersendat kehilangan perhatian dari penonton.
Allen harus dipuji untuk keberhasilan menjaga sudut pandang kamera obyektif tanpa membuatnya kehilangan perhatian dari penonton. Kendati memilih sudut pandang kamera obyektif, fim ini juga tidak terpaku pada penempatan kamera yang statis. Kamera tetap terus bergerak mengitari pemain film, tidak hanya tilt dan pan tetapi bergerak mengalir. Gerak kamera inilah yang kemudian menyeret penonton untuk terus memperhatikan film setiap detailnya.
Pengambilan gambar yang dilakukan pun lebih banyak dengan medium shot dan long shot. Keduanya menciptakan suasana mengamati saja. Sementara close-up hanya digunakan untuk pengambilan gambar-gambar yang merupakan nukilan wawancara atau pernyataan seorang narasumber. Tidak ada pengambilan gambar dengan extreme close-up yang biasanya dilakukan untuk mendorong tumbuhnya sensasi emosional pada penonton.
Dari segi alur cerita, film ini bisa saja menyeret pembuat filmnya untuk ‘genit’ dengan keinginan melibatkan emosi penonton—sebuah keinginan yang jika dituruti akan merusak semua citra rasa yang telah diramu sejak awal. Adegan-adegan dramatik atau romantis dalam film ini memang akan lebih mengena jika kamera mengambil sudut pandang subyektif dan meletakkan penonton sebagai bagian dari kejadian. Woody Allen cukup brilian dengan tidak melakukannya.
Dalam adegan percakapan Ray dengan Hattie (Samantha Morton)—gadis bisu kekasih Ray—setelah beberapa lama Ray meninggalkan Hattie misalnya. Sudut pandang kamera ini tetap obyektif, bahkan ketika Hattie menangis. Kamera tidak berniat sama sekali untuk melihat Hattie menangis dari sudut pandang Ray. Atau sebaliknya kamera juga tidak mau mencemplungkan penonton ke dalam percakapan nan dramatik tersebut. Sangat mungkin menciptakan efek kebencian yang sangat mendalam pada Ray dengan menempatkan sudut pandang kamera pada Hattie, tepat di atas pundak Hattie sehingga sekaligus menjadi sudut pandang penonton.
Secara meyakinkan dan tanpa terburu-buru, kamera bergerak mengalir dari arah punggung Hattie. Posisi ini meemberikan dua hal yang penting dalam film ini yaitu keberjarakan penonton dan ketercakupan situasi visual. Dengan masih menjaga jarak, penonton tetap berada dalam intensi semula bahwa mereka hanya mengamati. Gerak mengitari juga membuka kemungkinan bagi penonton untuk melihat situasi percakapan antara Ray dan Hattie secara keseluruhan. Di sini informasi bahwa Hattie menangis, Ray tetap menatap dengan datar dan angkuh, dan sebagainya, tetap didapatkan.
Sudut pandang kamera seperti ini banyak terjadi di adegan lain, termasuk scene-scene antara Ray dan Blanche. Adegan-adegan romantis mereka tetap menempatkan penonton sebagai pengamat. Bahkan untuk adegan Ray ditolak oleh Hattie setelah kepergiannya yang kedua, tak ada kegenitan menempatkan kamera dalam sudut pandang subyektif. Dan perhatian penonton tetap saja terus terpatri pada film.
Adegan Ray menghancurkan gitar yang kemudian diikuti dengan kamera menjauh dan bergerak ke atas seolah menunjukkan bahwa “Ray sudah berakhir.” Sudut lain juga hendak mengatakan bahwa dia juga “bukan siapa-siapa”. Simbolisasi kehancuran gitar Ray, lalu gambar memendar, menjelaskan sebuah alegori yang sejak awal disembunyikan: sebuah kekaburan. Untuk kesinambungan, film ini diakhiri dengan penutup berupa paparan dari narasumber, tentu juga termasuk Allen. Sebuah penegasan tentang karakter Ray.
Kekurangajaran yang Manis
Imaji yang dibangun dalam film ini sejak awal adalah keseriusan, narasi yang lurus dari orang-orang yang nyata, dan sejumlah argumentasi. Namun, sejak awal pula nalar penonton menjadi sedemikian sadar bahwa kemunculan Allen dan diikuti orang-orang selanjutnya adalah sebuah anekdot. Kesadaran berbuih dengan adukan yang sangat kuat antara kenyataan dan banyolan. Allen meraciknya dengan sangat sempurna, bahkan dalam banyak hal, ini menjadi pintu masuk untuk melihat realitas yang nyata. Untuk memahami film ini, konon, harus mendengarkan “Swing Minor” karya Django Reinhardt yang merupakan gitaris jazz idola Emmet Ray.
Posisi demikian juga dimunculkan dalam beberapa adegan yang menempatkan keseriusan dan kekurangajaran menjadi satu. Hattie, yang dimainkan dengan begitu menarik oleh Samantha Morton, diceritakan juga pernah menjadi bintang film bisu ketika mereka berada di Holywood. Ini tentu sangat main-main, walaupun akhirnya menjadi sangat manis. Samantha yang bermain menjadi gadis muda bisu itu pun mampu melibatkan gestur tubuhnya dan ekspresi wajahnya menjadi sangat kekanak-kanakan. Hal yang sangat kontras dengan Sean Penn yang bermain dengan wajah angkuhnya.
Film yang diproduksi tahun 1999 ini setidaknya telah membawa Samanta Morton masuk dalam nominasi Academy Awards sebagai Aktris Pembantu Terbaik dan Sean Penn sebagai Aktor Utama Terbaik. Walaupun nominasi yang diberikan kepada Samantha menjadi catatan oleh beberapa kritikus film, karena bahkan Samantha tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
Sweet and Lowdown adalah kemampuan film bercerita tanpa perlu terjebak dalam sebuah pola yang kaku. Film ini menggunakan secara teknis adalah semi-dokumenter, tetapi basis dari dokumentasinya sama sekali tidak ada. Hanya sebuah fiksi yang kemudian dikelola dengan kerangka dokumentasi. Menariknya, film ini tidak melelahkan, dan juga tidak harus memaksa penonton berpikir.
[Sigit Giri Wibowo]
Sweet and Lowdown
Woody Allen, USA, 1999, 95 menit