Please select a page for the Contact Slideout in Theme Options > Header Options

/kliping:/ Film-Film Ingmar Bergman

/kliping:/ Film-Film Ingmar Bergman
17/06/2014 admin

Diketik ulang oleh Kineruku dari majalah Horison edisi April 1971, Tahun Ke VI, Nomor 4. Artikel aslinya masih memakai ejaan lama, dan untuk keperluan posting ini sudah diubah menjadi EYD. Selamat membaca.

.

Victor (Dr. Borg)

PENGANTAR: Dari tanggal 14 s/d 18 Maret 1971 yang baru lalu oleh Lingkaran Seni bersama Kine Klub Djakarta, di Pusat Kesenian Taman Ismail Marzuki Djakarta, telah diadakan sebuah pameran film Swedia, khusus mempertunjukkan karya-karya Ingmar Bergman. Film-film tersebut adalah: Sawdust and Tinsel (1953), Smiles Of A Summer Night (1955), The Seventh Seal (1956) dan Wild Strawberries (1957). Berlainan dari dua pameran (pekan) film yang pernah diadakan sebelumnya, pameran kali ini cukup menarik karena selain merupakan karya seorang sutradara film terkemuka dewasa ini, juga karena film-film tersebut merupakan karya-karya dari tahun ketahun, sehingga dengan demikian bagi peminat film yang serius, dapat melihat perkembangan Bergman sebagai seniman film. Pada malam penutupan tanggal 19, diadakan satu diskusi mengenal keempat film tersebut yang dipimpin oleh saudara Asrul Sani. Berikut ini adalah salinan rekaman diskusi itu, dikerjakan oleh J.E. Siahaan, yang dipilih dari pembicaraan-pembicaraan yang ada hubungannya dengan film-film di atas.

 

ASRUL SANI: Maksud diskusi ini bukanlah suatu kesimpulan seperti dalam satu rapat kerja, akan tetapi mencoba mengadu argumentasi kita masing-masing, sebab diskusi pada pokoknya berdasarkan pada perbedaan pendapat.

Pertama, ada suatu hal yang penting sekali bagi seorang sineas atau bagi umumnya seniman, yaitu masalah hubungannya dengan realita. Problem pertama yaitu mengenai hubungan dengan realita, dan bagaimana dia mempergunakan realitas tersebut dalam karya-karyanya. Oleh sutradara-sutradara yang lebih muda di Swedia, Ingmar Bergman dituduh sebagai seorang introvert seorang yang asyik mengucek-ngucek isi perutnya saja dan mereka berpendapat bahwa medium sinema bukan untuk itu.Medium sinema adalah untuk memperlihatkan kejadian dan keadaan sosial, untuk mengadakan protes, untuk mengadakan koreksi. Sedang Bergman dianggap mereka sebagai seorang yang tidak punya perhatian terhadap hal ini. Apakah ini betul saudaralah yang lebih tahu, dan kita kepingin dengar.

Kedua, ada orang mengatakan bahwa Ingmar Bergman adalah seorang penganut realisme psikologi, yaitu semacam realisme yang mencoba mencari hal-hal yang lebih dalam dan tidak hanya membatasi diri pada persoalan-persoalan lahiriah saja.

Ketiga, ada dua unsur yang selalu digabung oleh Bergman, yaitu unsur drama dan kemudian unsur komedi. Hampir dalam semua film yang empat itu kita temukan paling sempurna bentuknya dalam film Smiles Of A Summer Night, tetapi dalam film lain ditemukan humor atau juga bentuk-bentuk komedi yang agak aneh kelihatannya. Keanehannya dimana, kita bicarakan malam ini. Apakah terletak dalam hubungannya dengan realita ataukah tentang sense dari kehidupannya.

Satu hal lagi yang menarik juga ialah potret-potret dari wanita yang digambarkan. Bagi Bergman, kelihatannya wanita-wanita ini secara potensi tidak ada yang dapat dipercaya—ini pendapat Bergman, bukan pendapat saya—secara potensial, senang lari ke sini ke sana. Ini bukanlah barang baru dalam kebudayaan Swedia, kita temui pada Strinberg misalnya dan rasa-rasanya besar sekali pengaruh August Strinberg dalam penggambaran wanita ini pada Ingmar Bergman. Tapi sebaliknya kita lihat kecintaan kepada orang-orang muda seperti dalam film Smiles Of A Summer Night, istri muda dengan anak-anak muda dalam The Seventh Seals, kita lihat keluarga sandiwara keliling itu juga dalam Wild Strawberries kita lihat anak muda itu. Sungguh pun film-film ini, disatu pihak memberi gambar yang agak suram kelihatannya, tapi di lain pihak jelas harapan yang diberi Ingmar Bergman. Apakah kesan saya ini salah atau benar saya kira dapat kita pertimbangkan. Apakah yang dibuatnya suatu hal yang dibuat-buat apakah hal wajar.

Kemudian suatu fakta lagi yang kelihatan juga di sana yang ditimbulkan oleh asal daripada Ingmar Bergman, yaitu dalam seni film sutradara itu datang dari berbagai lingkungan. Ada sutradara yang datang dari dunia perfilman itu sendiri yaitu sutradara sekarang, ada sutradara yang datang dari lingkungan teater, panggung, ada sutradara yang datang dari kesustraan dan kritik. Ingmar Bergman adalah contoh sutradara yang datang dari dunia teater, seperti halnya dengan Elia Kazan dari Amerika. Apakah ada persamaan gaya antara kedua mereka itu, apakah ada persamaan dalam set up kameranya dalam penyusunan ceritanya, dan dalam kontinuitasnya dan dalam penilaian gambar dan sebagainya. Kalau kita bandingkan misalnya dengan sturadara-sutradara yang pure datang dari dunia sinema dan dibesarkan oleh film sendiri tapi yang filmnya juga sudah beberapa kita lihat seperti Alain Resnais dan sebagainya dari Prancis dan Satyajit Ray yang berasal dari dunia kritik dan kesusastraan, apakah ada perbedaan itu, dan sekiranya Ingmar Bergman ini seorang sutradara yang berasal dari dunia teater adakah ciri-ciri teater itu yang tinggal padanya, dan apakah ciri-ciri teater yang diterapkan ke dalam sinema ini cukup sinematik ataukah masih tetap tinggal teater.

Saya kira sebagai satu inventarisasi kecil, saya kira cukup banyak hal-hal yang dapat kita pungut dan kita catat dari keempat film ini. Tapi satu hal yang perlu saya beritahukan bahwa Ingmar Bergman tergolong pada sineas, tergolong pada sutradara yang di Prancis disebutkan orang ‘auteur’ artinya sutradara—seperti kata seorang pengkritik Prancis Andre Bazin—yang mengatakan bahwa seorang sineas modern itu mempergunakan kameranya, mempergunakan segala alat sinematiknya itu sebagai seorang pengarang mempergunakan sebuah pulpen. Jadi dia adalah pengarang penuh dan pemegang copyright penuh dari segala kreatifitas yang terdapat dalam film itu. Itu menyebabkan bahwa bagaimanapun juga unsur yang terdapat dalam film tersebut, bahwa film Ingmar Bergman harus dinilai secara keseluruhan. Sebab semuanya yang terdapat di dalam itu adalah tangan daripada Ingmar Bergman.

Yang kedua, satu hal yang boleh juga kita ambil sebagai konsiderasi. Kira-kira dalam tahun ’56 atau ’57, Ingmar Bergman pernah menulis sebuah artikel dalam majalah Cahier du Cinema dengan judul ‘Apakah yang disebut sinema?’ Antara lain dia mengatakan, bagaimana terjadinya sebuah film. Jawabannya adalah interesan sekali sebab jawabannya itu bukanlah jawaban seorang yang berasal dari teater akan tetapi seorang yang betul-betul sudah matang dalam seni film, dia mengatakan: “sebuah film itu lahir bukan dari sebuah ide. Sebuah film lahir dari sebuah lapangan pada suatu musim dingin yang basah di mana terdapat sebuah bangku dan ada duduk dua orang perempuan yang dipisahkan oleh sekeranjang apel dan ucapan-ucapan yang tidak dapat ditangkap karena tidak diketahui artinya. Dus lebih banyak tingggal pada bunyi dan suasana. Dari sini lahirnya film.”

Dus lahirnya film pada Ingmar Bergman adalah dari image, yaitu image dari suatu gambaran.

Hal yang sama juga pernah diucapkan oleh Michelangelo Antonioni, seorang sutradara Italia, yang tidak berasal dari dunia teater. Dia mengatakan bahwa “film saya lahir tatkala saya duduk di sebuah hotel pada suatu musim hujan dan lapangan yang di depan saya itu ditinggalkan orang dan ada dua anak kecil bermain sepeda. Dari sana lahirnya film.”

Jadi kalau dilihat dari ucapan-ucapan mereka ini jelaslah, bahwa sumber dari kreatifitas Ingmar Bergman, seperti juga halnya dengan Michelangelo Antonioni adalah sumber kreatifitas yang paling wajar sekali dapat dipergunakan oleh seorang sineas.

Jadi ini ada beberapa hal yang bertentangan: apakah ucapan Ingmar Bergman itu kita temui dalam filmnya, ataukah itu hanya satu alasan yang dikemukakan, ataukah ada memang unsur itu ditemui tetapi kemudian dia balik kepada teater. Kalau saya sebutkan tetaer barangkali karena kita sebagian besar adalah awam di sini penggemar film yang berpengalaman tetapi barangkali tidak mempunyai waktu untuk mempelajarinya dengan baik-baik. Saya ingin mengambil contoh, dalam sebuah adegan dalam film Smiles Of A Summer Night, tatkala Egermann datang ke kamar pakaian dari Desiree Darmstadt. Waktu itu Desire duduk di depan meja dan Egermann lalu berdiri di sampingnya, kemudian sambil berbicara dia memutar meja itu, dan bicara terus dan persis dia berhenti dia sampai dan duduk. Ini adalah satu bloking teater. Timing yang persis penggunaan dialog dihubungkan dalam gerakan, sedangkan kamera tidak bergerak sama sekali. Ini yang saya sebutkan unsur-unsur teater pada Ingmar Bergman, sedang unsur-unsur sinematik saya kira itu dapat kita lihat.

Demikianlah saudara-saudara sebagai pengantar yang tidak bermaksud mengatakan apa-apa, tidak bermaksud meyakinkan saudara, hanya mencoba mengarahkan pandangan saudara dan menyegarkan sedikit kenangan pada apa yang sudah kita lihat selama empat hari.

Sawdus and Tinsel

Sjuman Djaya: Saya kira saya akan membuat penilaian. Saya akan membatasi diri seperti penonton-penoton yang lain membagi kesan dengan saudara tentang film-film yang kita lihat. Saya kira itu lebih aman daripada membuat suatu penilaian.

Ada beberapa catatan yang kebetulan mungkin kita sama sependapat dengan Saudara Asrul Sani bahwa Ingmar termasuk pada sutradara yang disebut seorang individualis di dalam pembuatan film, dan ini keluar sama sekali dari konteks pengertian penciptaan film itu seperti yang kita kenal di Rusia misalnya dari negara blok sosialis, di mana sebuah cipta film, tidak lebih dari suatu hasil kolektif. Ini kita bisa mengerti apabila kita tarik suatu garis bahwa yang menjadi pokok bagi Ingmar adalah atau pada mulanya adalah Image. Dan image melahirkan suatu ide di dalam film. Orang bilang bahwa film yang baik adalah film yang berkesan, bukan film yang memberi pengertian. Saya kira kesan-kesan kita sudah cukup banyak di dalam melihat empat buah karya Ingmar Bergman itu, sehingga kita mempunyai suatu keberanian morel untuk mengatakan keempat film ini adalah film yang baik. Pada saya pribadi ada kurang lebih tiga macam kesan yang barangkali bisa mengundang suatu penilaian atas penilaian di dalam diskusi malam ini. Kesan saya pertama adalah—ini lebih banyak bicara tentang masalah cinematography—yaitu masalah penggunaan kamera yang tadi secara baik sekali diisyaratkan oleh saudara Asrul dari sebuah citra bahwa kamera dan seluruh komponen dari sebuah film buat seorang indivdualis seperti Ingmar Bergman, merupakan suatu alat yang sama kira-kira dengan sebuah pensil dengan seorang penulis, dan sebuah palet atau sebuah kanvas buat seorang pelukis. Yang ingin saya katakan ialah bahwa dari seluruh film yang kita lihat, ada semacam penggunaan kamera yang begitu intensif dan ternyata, Ingmar Bergman merupakan seorang sutradara yang dalam hal ini merupakan seorang master, yang dapat menggunakan segenap komponen daripada film, materi daripada film, termasuk environment, termasuk pictorial composition dalam suatu pictorial image yang halus, subtil sekali walaupun pada dasarnya materi yang dia pilih di dalamnya adalah merupakan materi-materi yang sifatnya non-dinamik. Ini barangkali lebih jelas andaikata kita bandingkan pemilihan material yang dipakai oleh Ingmar Bergman secara selektif itu dengan pemilihan material yang digunakan oleh sutradara-sutradara dari kebanyakan film-film Amerika di mana seluruh materi itu boleh dibilang diambil dari sesuatu yang paling dinamik, dan ini yang melahirkan konfilk-konflik secara runcing dan keras, secara tajam, sedang Ingmar kita lihat, apakah itu handling terhadap aktor—di sini kita lihat bagaimana handling daripada Ingmar terhadap Victor Sjostrom dalam film Wild Strawberries—yang oleh orang seperti Rotha misalnya, atau kita ambil salah seorang Gerassimov (?) dari Rusia itu dikatakan sebagai seorang yang paling dingin. Orang yang dingin di dalam handling setiap material, tetapi seorang master di dalam menyusun mengorganiser seluruh materi-materi ini dalam satu komposisi yang pictorial sekali. Dan hal ini membuat suatu kesan yang dalam sekali impresif di dalam hasilnya dan ekspresif di dalam pernyataannya. Barangkali alasan dari kedua orang kritik ini untuk menuduh Ingmar sebagai seorang sutradara yang dingin di dalam handling, mungkin justru karena yang saya bilang tadi adalah pemilihan material yang non-dinamik ini. Kelanjutan daripada image-image visual yang dinyatakan oleh Ingmar di atas layar, kedinginan ini juga terasa di dalam bidang editing, di mana kita lihat dalam seluruh film itu, pengertian daripada konstruktif editing seperti yang kita kenal di beberapa negara berlainan sekali sifatnya dengan konstruktif editing yang dilakukan oleh Ingmar Bergman. Pembentukan suatu kesan emosionil di dalam suatu paralel cutting atau counter cutting, tidak dilakukan seperti halnya yang kita lihat di dalam film Eisenstein misalnya, seperti halnya Kapal Penjelajah Potemkin, tidak seperti Pudovkin tetapi suatu konstruktif editing yang mengalir secara lamban, tetapi dingin dan halus dan impresif sekali, dan bisa menarik setiap meaning daripada adegan yang ingin dinyatakan. Ini kesan yang pertama.

Kesan yang kedua. Ini masalah waktu—saya kira akan menjadi bahan pemikiran yang cukup polemik sifatnya—yang kita lihat di dalam Wild Strawberries. Mengenai masalah waktu ini, ada sebuah teori dari seorang sineas bernama Marcel Martin yang mengatakan bahwa: “sebuah visualisasi dalam film, setiap gambar di dalam film, setiap image di dalam film selalu diterima oleh publik sebagai sesuatu kejadian yang berlaku pada saat ini.” Dus kalau kita menafsirkan ini, kira-kira sama pengertiannya dengan sebuah mimpi, bahwa setiap mimpi selalu kita terima sebagai suatu kejadian yang berlaku pada hari ini. Karena demikian halnya dalam suatu teori film, kita mengenal apa yang disebut sebagai flashback, untuk sesuatu penggambaran kejadian yang berlaku pada masa lampau, dan ini dalam praktek kita lihat dilakukan dalam bentuk dissolve, sound, dan bold editing dan macam-macam lagi, justru masalah ini dibatalkan oleh Ingmar Bergman seperti kita lihat dalam filmnya yang terakhir Wild Strawberries di mana suatu penggambaran masa lampau diterapkan dalam masa sekarang. Tidak ada garis pemisah. Tidak ada suatu kata penghubung yang memisahkan antara kejadian sekarang, dan imajinasi pada masa lampau. Ini untuk banyak penonton yang awam saya pikir akan sukar mengertikan maksud daripada Ingmar karena sifat daripada film itu sendiri sebagai suatu keadaan, sebagai suatu kondisi. Sekarang apakah suatu penolakan terhadap kanon tertentu dari suatu fenomena semacam film seperti tradisinya yang kita kenal di sini menjadi buyar, lemah atau menjadi kuat. Kesan saya mengatakan bahwa justru dia menolak kanon past and present tense, justru menolak modus-modus penghubung seperti yang dikenal dalam film-film konvensionel, justru dia bicara tentang masa lampau dalam keadaan seperti sekarang. Di sana terlahir suatu ekspresi tertentu yang lebih impresif daripada suatu cara yang biasa kita kenal. Ini kesan saya yang bisa berbeda dari saudara-saudara, tetapi anyhow mudah-mudahan merupakan suatu hal yang baru yang sebelumnya tidak pernah kita kenal. Kalau kita mau mengambil suatu penafsiran yang lain saya kira, seorang Fellini pernah juga mencoba suatu usaha semacam ini, melepaskan kanon past and present tense itu dalam filmnya 81/2. Tetapi kita lihat perbedaan fundamentil yang ada pada Fellini dan apa yang ada pada Bergman, bahwa sebegitu jauh Fellini tetap masih menggunakan suatu cara yang dapat kita anggap terlalu biasa, yaitu dengan editing yang tepat, yang terburu-buru dan bukan seperti Ingmar Bergman bahwa semuanya seolah-olah berjalan sebagai mana adanya, terutama dalam adegan 81/2 itu ketika sang sutradara bicara tentang imajinasi, masa kanak-kanak dia di tepi pantai dan di sebuah kafe.

Yang ketiga: Masalah simbolis di dalam film dan masalah film simbol. Saya mendapat kesan ini dari film The Seventh Seal. Ini juga sebuah pembangkangan terhadap suatu tradisi dalam film ini seperti kesan saya. Pembangakan ini, kalau yang pertama terhadap masalah past and present terhadap sifat dasar daripada film ini, maka di sini terhadap approach penciptaan suatu film, dan dalam setiap film yang kita kenal ini selalu simbolisme ini merupakan suatu kejadian nomor dua sesudah kejadian yang pertama. Artinya begini: bahwa film pertama kali adalah merupakan suatu realita kehidupan, bahwa minimal pemilihan tema, pemilihan cerita, dan tokoh-tokoh berangkat dari suatu prototipe manusia tertentu, yang real dan konkret terjadi dan ada di dalam masyarakat dan dikenal oleh setiap kita dalam lingkungannya masing-masing.Jadi dalam satu film itu kita lihat bahwa wujud daripada setiap gambar, pengertian dari setiap ekspresi gambar setiap image dalam gambar film, pertama kali ia bicara tentang suatu keadaan, atau kenyataan yang real baru sesudah itu merupakan suatu pengertian lebih dalam, berdasarkan beberapa metode pengaturan tertentu. Artinya bahwa sekali seorang Joris Ivens, meletakkan dalam adegan pertama sebuah gambar the outcast people yang lapar dipinggir-pinggir kaki lima, sedang gambar kedua kita melihat-orang-orang, daripada pengusaha-pengusaha gandum, melemparkan gandum ke laut karena terjadinya konjunctur yang menurun dalam ekonomi. Kita tahu bahwa ini merupakan suatu simbolisme yang bersifat politik, tapi simbolisme ini lahir sebagai suatu kejadian yang kedua sesudah kita mau mencernakan kesan kita dan menggunakan kesadaran sosial kita untuk melihat gambar tersebut. Di dalam film Ingmar Bergman The Seventh Seal saya mendapat kesan, bahwa pada mulanya adalah ide. Karena pada mulanya adalah ide, pada mulanya adalah image, maka dia mencoba menerapkan ide ini dalam sebuah struktur cerita dan struktur cinematography tertentu sehingga kesan saya, bahwa semua tokoh-tokoh yang hidup di dalam itu seluruhnya berupa tokoh-tokoh yang tidak real tokoh-tokoh yang imajiner, yang hanya dikenal oleh sutradaranya. Kebetulan bahwa Ingmar Bergman seorang kreator, seorang sutradara yang individualistis, yang memang kaya akan imajinasi, sehingga apa yang kita lihat, tidak real menjadi suatu kenyataan yang real dan dapat diterima dan kita pun sehabis melihat film tersebut mendapatkan suatu kesan yang sangat mendalam, bahwa secara pribadi terus terang saya merasa pesimistis sesudah pulang dari nonton film tersebut. Tetapi Ingmar Bergman tetap seorang sineas yang besar, kreatif sekali, seorang sutradara yang besar, yang tahu betul menggunakan media film untuk berbicara dengan publik, menyatakan idenya. Pada pokoknya ia terlalu besar bahkan lebih besar daripada diskusi kita malam ini.

The Sevent Seal 2

Kasim Achmad: Apa yang dikemukakan Ingmar Bergman tidak terlalu sukar untuk dipecahkan, sebab lewat gambar-gambar dia sudah bicara. Agak berbeda dengan Je t’aime, Je t’aime dari Alain Resnais, di sana juga mengemukakan satu image dari sang sutradara untuk digambarkan tetapi bagi saya film tersebut sangat sulit ditangkap dan bahkan gambar-gambarnya itu tidak langsung berbicara. Jadi saya sebagai pecinta film, lebih senang pada karya Ingmar Bergman, yang langsung dirasakan dan berbicara. Misalnya dalam Wild Strawberries ada satu gambar sang bapak yang beberapa menit diam dengan tata lampu yang baik, dan dapat mengesankan, kesepian yang dihadapi orang tua itu terasa tidak membosankan dan suasananya bisa tercapai. Inilah yang ingin saya kemukakan. Hampir seluruh film itu, bisa saya terima dengan mudah. Mengenai flashback, bagi yang belum biasa, mungkin agak sulit, tapi kalau kita mengikuti cerita itu, meskipun tidak dengan sistem flashback untuk menggambarkan masa lampau masih bisa ditangkap. Ingin saya sampaikan juga bahwa kronologis yang disampaikan film ini, adalah dari tahun ke tahun yang diambil dari tahun ’50-an. Juga pernah saya lihat filmnya sesudah tahun 1965 misalnya The Silence. Rasanya hanya merupakan perkembangan Ingmar Bergman. Saya sebagai penonton merasakan perkembangan tersebut.

Asrul Sani: Film-film Ingmar Bergman ini dalam hitam putih. Kalau sekiranya dibuat dengan warna, seperti saudara tahu penonton-penonton sekarang ini senang dengan warna—kalau dibuat dengan warna kira-kira lebih efektif atau tidak.

Kasim Achmad: Saya kira kalau dibuat dengan warna kurang menarik. Jadi saya lebih condong pada hitam putih. Dengan hitam putih lebih berbicara.

Wahju Sihombing: Saya akan mencoba memberi catatan pada setiap film. Pertama Sawdust and Tinsel. Ingmar Bergman mau bercerita tentang dunia sirkus, kesepiannya, kemurungannya, dan keterasingan dunia orang yang bernaung di bawah panji-panji outcast itu. Ingmar Bergman menceritakan sebuah balada, dunia orang-orang terasing. Adegan yang dimulai dengan iringan kereta yang berjalan pada suatu malam yang sepi, menuju suatu kota, somewhere di Skandinavia. Sewaktu saya melihat adegan ini, timbul suatu kesan dalam diri saya, yaitu suasana religi daripada adegan tersebut. Peristiwanya sama. Waktunya pun sama.

Di dalam kitab Injil ada disebutkan tentang tiga orang gembala yang mengikuti perjalanan bintang di malam sunyi menuju kota Bethlehem, tempat kelahiran nabi Isa. Tapi akhir daripada perjalan ini tidak sama. Ketiga orang gembala sampai ke tempat tujuan mendirikan sirkusnya, tapi mereka tidak menemukan kebahagiaan di kota kecil tersebut. Setelah melihat adegan lainnya, atau dalam film lainnya dari Ingmar Bergman seperti Winter Light dan The Silence, ada kesan yang timbul, dalam diri saya, bahwa pengaruh kekristenan ada dalam dirinya atau dalam ide-idenya dengan catatan bahwa pengaruh tidak selalu menghisap seluruh pribadi orang tersebut, akan tetapi pengaruh itu bisa melahirkan sikap baru, yang kemudian dalam prosesnya bisa juga diingkari atau diejek. Demikian misalnya asosiasi yang berkesan, yang timbul dalam diri saya sesudah melihat adegan yang saya sebutkan duluan, yaitu adegan permulaan Sawdust and Tinsel ini.

Begitulah selanjutnya sewaktu saya melihat adegan yang lain, di mana kesan yang sama timbul dalam diri saya, yaitu prosesi Frost membawa isterinya. Ingmar Bergman menyelesaikan sesuatu ide, yang sangat baik pada adegan yang sangat menarik dan sangat bagus ini, adegan itu adalah adegan Frost tukang badut sirkus, berusaha membebaskan istrinya dari olok-olok para serdadu. Dalam adegan itu saya melihat Frost membawa istrinya, dalam prosesi ini Frost membawa istrinya bukan seperti para pendeta Yunani membawa dan mengarak patung Dionisos dari altar yang diiringi bunyi suling dan nyala obor, akan tetapi Frost membawa istrinya seperti prosesi Jesus Kristus membawa salibnya menuju bukit Golgatha yang berbatu-batu dengan jalan-jalan yang suram yang diiringi oleh arakan rakyat banyak, ejekan-ejekan tertawaan dan hinaan-hinaan. Proses Frost pun membawa istrinya diiringi oleh tertawaan dan ejekan, Frost ditelanjangi harga dirinya, kehormatannya sebagai suami dikoyak-koyak. Bagi Frost istrinya adalah suatu beban, suatu penderitaan, sekaligus sebuah salib. Beban penderitaan dan salib ini selalu bertengger di atas punggungnya. Istri Frost berusaha mencari kebebasan bagi dirinya, pembebasan dari dunia sirkus yang selalu menjemukan dan menyiksa, pembebasan dari suatu dunia yang selalu terasing, alienated. Sang istri menemukannya dengan para serdadu yang haus perang, haus hiburan, dan sekaligus haus perempuan. Sang istri dengan dunianya yang sunyi, berusaha berkomunikasi dengan dunia yang lain, dunia serdadu dan dia cukup bahagia dengan dunia tersebut, tetapi sebagian itu tidak lama dia itu mati, hanya mampir sebentar dalam dirinya. Ia kembali kepada dunianya dunia sirkus, suatu dunia yang tidak ditakdirkan buat dirinya di mana dia telah menjalani hidupnya dalam dunia tersebut. Albert sebagai direktur sirkus berusaha juga membebaskan dirinya kepada istrinya yang pertama dan mau meninggalkan dunia sirkus. Tapi malang menimpa dirinya, istrinya yang pertama ini, memang merasa karena, mereka berdua hidup dalam dunia yang berlainan. Albert menjadi orang asing bagi bekas keluarganya dan dia menjadi orang asing bagi anaknya sendiri.

Dunia sirkus yang bernuansa murung. Albert pun murung dengan dunia sirkusnya. Dia pun berusaha memusnahkan dunia sirkus dengan menembak properti sirkus yang paling berharga seekor beruang, Anne istri muda dari Albert juga berusaha membebaskan dirinya dengan mencoba bergaul dengan seorang pemain sandiwara. Dia juga harus kembali ke kandangnya, kereta sirkus yang terasing dan terdampar di bumi lain.Saya melihat hadirnya dua dunia yang terasing yaitu sirkus dan dunia teater. Dunia teater yang sunyi dari applaus penonton. Kedua dunia itu mau berkomunikasi satu sama lain, tetapi komunikasi ini pun buyar. Mereka masing-masing kembali kepda dunianya. Di dalam film ini, kita tidak bisa melihat atau tidak bisa mencari seorang hero dengan segala posturnya yang menunjukkan bahwa sang hero ini lebih gagah dari kita, lebih intelligent dan berani daripada kita untuk mengatasi konflik-konflik yang terjadi dalam dirinya. Frost bukanlah seorang hero yang mampu membelas kehormatannya terhadap orang-orang yang memperolok-olokan istrinya dan dirinya. Dan memang bukan itu maksud Ingmar Bergman dengan film ini. Seperti dikatakannya pada pemulaannya tadi, Ingmar Bergman mau mengatakan bahwa kita hidup dalam dunia kita sendiri, kita lahir dan besar dalamnya dan kemudian juga mati dalamnya. Dan dunia itu adalah dunia orang-orang gelandangan di Planet Senen sana, Kalau toh ada persuasion yang lain dari cerita itu maka persuasion itu adalah ikut ptihatin dengan dunia sirkus atau dengan bahasa yang lain, persuasion itu adalah sense of pity yaitu kira-kira bahasa teater. Gambar-gambar daripada film ini, dengan brain texture yang sarat dengan suasana murung, suasana sepi tandus, yang mencoba menghibur dirinya sendiri dengan langit-langit di bintang(?). Inilah kesan saya pada film pertama, Sawdust and Tinsel.

Kemudian Smiles Of A Summer Night. Kata malam telah banyak melahirkan image-image bagi penyair termasuk juga barangkali pada maling-maling. Tadi ada saya sebutkan bahwa ada kesan-kesan yang timbul dalam diri saya, setelah melihat beberapa film Ingmar Bergman, tentang pengaruh kekristenan dalam diri Ingmar Bergman dengan catatan-catatannya. Kalau dalam Sawdust and Tinsel Ingmar Bergman ada rasa keharuan terhadap pengaruh itu, maka dalam film Smiles Of A Summer Night Ingmar Bergman melemparkan tertawanya terhadap pengaruh itu.

Peristiwa malam ada juga dalam kita Injil, kalau saya tidak salah di Taman Getsemane. Waktunya sebelum ayam berkokok adalah persitiwa pengkhianatan. Unsur-unsur kekristenan ini ada juga saya lihat di dalam filmnya yang terakhir yang pernah saya lihat yaitu Winter Light dan The Silence malah dalam film The Silence Ingmar Bergman sedikitpun tidak menaruh hormat lagi kepada gereja, karena dalam film itu, ada disebutkan pemainnya melakukan persetubuhan di dalam gereja. Dalam film Smiles Of A Summer Night tiga orang laki-laki melakukan perbuatan serong. Tiga bentuk pengkhianatan. Henrik murid sekolah teologi, murid dari suatu kepercayaan. Sebagai murid dia tersiksa dan menderita dengan kepercayaan itu. Ini tentu adalah suatu hal yang ironis. Suatu kepercayaan yang menyebabkan siksaan dan penderitaan dalam hidup seseorang. Henrik kira-kira seperti Hamlet yang kecil itu mau keluar dari penjara kepercayaannya, sebab dia merasa dicampakkan di sana, bukan tumbuh di dalamnya. Kita melihat pada akhirnya Henrik pelajar teologi bisa keluar dari penjara itu dengan pertolongan sesuatu miracle: sebuah tombol dan bunyi sangkakala. Henrik pun pergi dengan ibu tirinya membawa cintanya bersama dia, membawa ular dan sekaligus membawa pengkhianatannya di atas sebuah kereta.

Di atas tadi disebutkan tentang Ingmar Bergman melemparkan serangan terhadap pengaruh kekristenan ini. Ini juga sebenarnya jelas dalam hubungan antara Fredrik dengan Dessiree, hubungan antara Margit dengan Dessire, di mana tidak ada lagi penghotmaan dan pengatur terhadap lembaga perkawinan seperti yang dicantumkan dalam ajaran agama Kristen, di mana disebutkan bahwa “sampai mati monogami harus dihormati dan dipegang teguh dan perceraian dalam bentuk perkawinan, hanya boleh diceraikan oleh kematian.” Dalam film ini cukup juga menarik dalam diri saya penggunaan arsitektur oleh Ingmar Bergman, menimbulkan suasana-suasana tertentu.

Film The Seventh Seal tidak banyak yang akan saya bicarakan, atau hampir tidak ada sama sekali, karena penjelesan dalam buku program menurut saya sudah cukup baik. Akan tetapi sinyalemen saya terhadap pengaruh kekristenan dalam diri Ingmar Bergman nampak juga dalam film ini. Anthonius Blok sebagai seorang penyair yang bertualang yang mencari hakekat dari kebenaran, kepercayaan dan pertarungan dengan maut dalam program dengan bagus ditulis “pencarian terus menerus untuk menemukan Tuhan. Tapi hanya maut lah yang satu-satunya pasti.”

Pengingkaran kesangsian terhadap image salib di bukit Golgatha sudah lama berlangsung. Barangkali sikap ini adalah juga termasuk ciri-ciri orang modern. Saya melihat dalam film inilah yang terbaik yaitu The Seventh Seal.

The Wild Strawberries. Simbol-simbol ada juga dipergunakan pengarang drama untuk menuangkan ide. Simbol yang dipergunakan sebagai channel untuk membangun source play tersebut. Ibsen misalnya dalam play ‘Ghost’, Chekov dengan play-nya ‘Burung Camar’, The Cherry Orchard, Tennessee William The Glass Managerie, dan Ingmar Bergman pun dalam filmnya The Wild Strawberries ini mempergunakan arbei liar sebgai simbol. Arbei liar yang memberikan suatu reminiscence dalam diri Prof. Isak. Ingmar Bergman mau mengungkapkan image-image dan consceince dari seorang manusia pada usia tuanya. Image itu dimunculkan atau ditampilkan sebagai news reminiscence nostalgia dan diri orang lain. Teknik dan moral yang dipakai Ingmar Bergman tentang reminiscence ini, adalah sangat bagus sekali dan juga tadi sudah dibicarakan oleh saudara Sjuman Djaya. Dan juga kedua orang pemuda dan seorang gadis yang ikut menumpang di mobil Prof. Isak adalah juga image dari conscience Prof tersebut. Dua orang suami istri yang berkelahi dalam mobilnya adalah juga image dari conscience dari Prof Isak.

Demikianlah kira-kira kesan saya melihat film tersebut.

The Seventh Seal

Asrul Sani: Saudara Sihombing mencoba menafsirkan Ingmar Bergman dari sudut yang juga banyak dilakukan oleh banyak pengkritik yaitu bahwa dirinya banyak sekali pengaruh ajaran kristen, satu hal yang tentunya tidak aneh karena Ingmar Bergman adalah seorang pendeta.

Bobmer: Setelah Smiles Of A Summer Night diputar, saya melihat dresses dari wanita dari Egermann, dimainkan antara 1895 atau 1905. Jadi Ingmar Bergman sebagai seniman tidak dapat dilepaskan dari kesenian waktu itu, yaitu masa impresionisme. Tahun 1906 Sezanne meninggal dalam usia tinggi sedang Debussy sebagai komposer mulai melemparkan diri dari romantik. Dus, ini adalah suatu proses yang ada dalam film itu.

Menurut saya dari dua film yang bisa saya lihat yang terbaik adalah The Seventh Seal. Sebegitu bagus dibuat sehingga saya diangkat dari kursi saya, saya seolah-olah turut memainkan film itu. Terasa kesedihan melihat penyakit-penyakit ini, terasa dengan maut, terasa dengan Tuhan, tapi Ingmar Bergman begitu kejam pada saya, sebab setelah film bubar, tanpa penyelesaian sama sekali, sebab saya tanya di rumah waktu saya berdiri di muka kaca, apakah maksud seni? Sebab kalau saya membaca buku yang bagus, melihat lukisan mestinya ada satu konsolasi pada kita dalam dunia, dalam penghidupan kita yang begitu pahit dan kesulitan. Konsolasi yang ingin saya minta dari seni.

Tuty Herati Noerhadi: Dengan film ini saya hendak menyampaikan apa yang saudara rasakan dalam saat-saat yang demikian itu, tidak lain dapat juga dialami oleh orang lain. Jadi fungsinya di sini menunjukkan bahwa sebenarnya puncak-puncak kesepian kehilangan harapan dan keterasingan, tapi momen-momen ini dikemukakan dalam film tersebut. Dan ini maksudnya sebagai satu komunikasi pada saudara bahwa kita semuanya mengalami hal yang demikian, meskipun tentu tidak secara nyata dan ini saya hubungkan dengan ucapan saudara Asrul Sani tadi bahwa Ingmar Bergman itu adalah ahli dalam soal mengemukakan psikologi realisme. Yang dikemukakan olehnya adalah panorama dari kehidupan, kejiwaan pada umumnya pada kehidupan sehari-hari itu kita lewatkan. Itu jugalah yang hendak dikemukakan oleh Ingmar Bergman tadi. Bahwa kebimbangan dan kesaksian terhadap religi terhadap kepercayaan itu tidak saja monopoli seseorang, tapi kita alami semua, ada yang intens ada yang tidak. Tapi dalam hal ini film ini janganlah dilihat sebagai sesuatu yang harus mendatangkan hiburan atau konsolasi, tapi sebagai suatu alat komunikasi menyatakan bahwa kita tidak sendirian mengalami itu.

Goenawan Mohamad: Berbicara mengenai konsolasi, mengapa harus ditanyakan bahwa Bergman harus memberikan konsolasi atau tidak? Dalam film itu—The Seventh Sealkita melihat bagaimana pada adegan terakhir kitab Injil dibacakan dan terdengar pada kita bukan sebagai penghibur, tapi sebagai horror story. Jadi masalahnya saya kira barangkali memang kita tidak perlu mengharuskan adanya hiburan. Kalau Injil tak menghibur, Bergman juga tidak.

Bobmer: Tentang konsolasi maksud saya, bukan dari hiburan, sebab kalau saya buka Bible, saya baca, itu juga satu konsolasi. Kalau saya baca buku yang bagus, bukan komik, kalau saya melihat lukisan, bukan yang digantung di Taman Surapati, kalau saya bilang saya mau lihat film bagus, bukan film Franco Nero, bukan. Kalau begitu saya tidak pakai kritik sama sekali. Dan apakah yang ia mau bilang, sebab ada message dari seniman pada kita. Semua bisa mendapat penyelesaian. Tidak ada satu kesukaran yang tidak mendapat penyelesaian. Mesti. Dan ini juga.

Baiklah kita semua, masyarakat, menderita itu sudah biasa, penyakit atau lain-lain. Tapi kalau kita sudah pulang di rumah kita punya konsolasi kalau kita tinggal keluarga kita yang memang sedih. Ini yang saya maksud dengan konsolasi. Dus bukan dari hiburan. Ini lain.

Asrul Sani: Sebuah film yang baik itu kalau dia bisa menghasilkan sebuah diskusi dengan diri kita sendiri. Dan saya kira ini sudah terjadi. Kalau boleh saya memberikan kesan saya, saya merasa terharu sekali dalam Sawdust And Tinsel. Kecuali flashback yang pertama cara dia membawa istrinya itu, seolah ia membawa sesuatu yang bagi orang lain tidak ada harganya sama sekali, tapi bagi dia adalah kekayaan yang paling terakhir. Ini kalau kita hubungkan dengan pemilik sirkus itu, Johanson, sesudah dia membunuh diri dan tidak berhasil kemudian mencari refleksi dari rasa kasih sayang yang ingin dia peroleh, pada seekor kuda itu, bukan main.

Jadi itu bukan suatu gambaran yang menyenangkan tetapi kita menyadarkan kembali kepada suatu hal yang sebetulnya potensial ada dalam diri kira tapi tidak kita hayati secara intensif, sehingga kalau orang mengalami hal tersebut kita tidak memahaminya lagi. Dengan jalan ini saya kira Ingmar Bergman mengaksentuer persoalan itu kembali. Tapi membuat kita mengadakan diskusi dengan diri kita sendiri. Saya kira lebih penting daripada diskusi dengan orang lain, seperti kita lakukan malam ini.

D. Djajakusuma: Saya hanya ingin melihat konsole itu pada shot yang terakhir. Bahagia itu digambarkan oleh istri pelawak itu. Ini dikawinkan kepada orang yang terlalu percaya hingga membayangkan yang tidak ada, tapi toh memberikan bahagia padanya. Ini barangkali konsole daripada film itu kalau harus dicari konsole. Semuanya pada saat ini, karena tidak terlalu banyak mencari, terlalu banyak tanya, banyak melihat ketidakadilan lantas memberontak. Bahagia itu justru pada keluarganya kecil itu barangkali karena pengaruh Injil. Jusuf, Maria, dan Jesus. Dari sejak semula istri clown itu kalau kita lihat gambarnya selalu cerah, cerah, tidak pernah kena bayangan, atau apa, dan sejak semula nampak ditekankan oleh Bergman. Hanya ada kecerahan. Kalau dia bisa hidup semacam itu, dia sudah bisa hidup dengan alam sekelilingnya. Itu bahagia.

Tentang pertanyaan Asrul kepada Kasim tadi yaitu tentang sekiranya film ini menggunakan warna tentunya pertanyaan ini salah alamat. Mestinya pertanyaan itu kepada Bergman. Sebab kalau Ingmar membuat shooting script itu kembali. Jadi kalau ini harus diberi warna dan dicat kembali, ini susah dijawab.

Dan saudara Sjuman tadi melihat perpindahan tidak lewat dissolve seperti kebiasaannya, kalau mau menggambarkan mimpi atau ingatan kembali atau flashback. Rasanya di sana masih ada juga dipergunakan. Sedikitnya ada bridge, atau dia lewat awan dulu lantas kembali lagi kebawah, tapi yang lebih bicara pada saya ialah bahwa dalam adegan-adegan nostalgia atau impiannya itu selalu dia melihat dirinya itu seperti dia berumur pada saat dia mimpi. Tidak menggambarkan dirinya itu sebagai anak muda. Barangkali satu yang menggambarkan sebagai anak muda tapi tidak langsung. Tapi kebanyakan daripada semacam flashback itu kita lihat dia sebagai dia pada waktu dia mimpi itu. Ini bagi saya lebih bicara daripada kalau dia digambarkan sebagai anak muda.

Asrul Sani: Memang adalah satu hal yang aneh sekali bahwa dia seolah-olah selalu memihak kepada yang muda-muda.

Ada suatu simpati padanya terhadap orang-orang muda dan penggambaran orang-orang muda. Saya kira juga itu merupakan salah satu unsur konsolasi, unsur harapan dalam film-film Bergman.

Djakarta, 25 Maret 1971

IMAGE0099

Di perpustakaan Kineruku tersedia DVD dan VHS film-film Ingmar Bergman, seperti: The Seventh Seal, The Silence, Wild Strawberries, Persona. Tersedia juga buku Ingmar Bergman berjudul Persona and Shame, The Magic Lantern, Film in Sweden, Essays in Criticism. Dan juga buku-buku karya Asrul Sani. Selengkapnya cek di kineruku.com

 

Comments (0)

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Subscribe