Please select a page for the Contact Slideout in Theme Options > Header Options

/catatan:/ Bagaimana ‘Aku’ Ada Karena ‘Meps’ Bertemu ‘Beps’

/catatan:/ Bagaimana ‘Aku’ Ada Karena ‘Meps’ Bertemu ‘Beps’
27/03/2017 admin

Bagaimana ‘Aku’ Ada Karena ‘Meps’ Bertemu ‘Beps’
oleh: Andika Budiman

Sabtu siang lalu (11/3) ada derai tawa dan kehangatan di halaman belakang Kineruku. Rupanya karena acara keluarga. Bukan sunatan atau lamaran, melainkan bincang buku Aku, Meps, dan Beps, karya pasangan anak dan emak, Soca Sobhita dan Reda Gaudiamo. Selain mereka, turut pula bergabung Teddy W. Kusuma dari keluarga POST Press. Keriaan menjadi berkali lipat dengan pertunjukan musik oleh keluarga Tetangga Pak Gesang featuring Yuddhaswara dan Jon Kastella yang membawakan lagu anak-anak. Acara tersebut terbuka untuk siapapun yang menyayangi keluarga, dan kebetulan siang itu alam tampak bersahabat—meski nyaris tak seorangpun berani membahas cuaca karena siapa tahu hujan juga ingin hadir sewaktu-waktu?

Acara dibuka dengan Soca membacakan kutipan dari bukunya. Pengunjung menyimak sambil mengudap pisang goreng dan tempe mendoan, menyeruput teh manis dan es timun. “Cerita ini ditulis waktu saya kira-kira baru empat tahun,” ujar Soca di sebuah cerita berjudul “Meps Itu…” Meps dan Beps adalah panggilan sayang Soca kepada emak dan bapaknya, Eddie Prasetyo Budi. Panggilan itu muncul begitu saja, baik Reda maupun Eddie tak pernah mengajari Soca bagaimana harus memanggil mereka. “Sejak kecil Soca terbiasa menyampaikan maksudnya kepada kami dengan terbuka. Ketika dia masih kecil, pekerjaan saya hampir tak kenal waktu libur. Soca sering saya tinggalkan. Tapi saya nggak ingin kehilangan cerita Soca, jadi saya selalu menelepon, ‘Soca lagi apa?’ Dia jawab, ‘Lagi main.’ Saya tanya lagi, ‘Main sama siapa?’ Dia jawab, ‘Main sama bayangan.’ Saya pikir, ini anak masih kecil kok ngomongnya sudah jleb-jleb, ya?”

*

Pekerjaan Meps mengharuskannya sering duduk di depan komputer, atau dalam istilah Soca, ‘ketik-ketik’. Acapkali Meps menyalakan komputer ketika di dekatnya sedang ada Soca, yang kemudian meminta Meps supaya ceritanyalah yang ‘diketik-ketik’. Begitulah awalnya kolaborasi menulis terjalin di antara mereka. Dari kolaborasi ini lantas muncul berbagai cerita yang berbeda dari cerita untuk anak maupun cerita tentang anak-anak pada umumnya. Bentuk cerita dalam Aku, Meps, dan Beps macam-macam; ada cerpen, resep masakan, sampai daftar sifat Meps dan Beps. Bisa dibilang yang menyatukan semuanya adalah kesederhanaan bertutur. Makna ‘sederhana’ di sini tidak sebatas ‘seadanya’, tapi lebih kepada menghargai dan menyambut gembira segala sesuatu yang muncul tak terduga dalam kehidupan, serta melepaskan ide tentang apa yang ‘seharusnya’.

Di buku Aku, Meps, dan Beps, selain menuturkan bagaimana Meps memarahi kaktus karena tidak segar meski sudah dipelihara atau bagaimana Beps mengizinkan anaknya bermain dengan banjir dan gergaji, Soca juga ‘membocorkan’ kesulitan orangtuanya dalam mengemudikan mobil. Ada kejenakaan natural yang muncul justru dari hal-hal sepele itu. “Saya nggak mau memarahi Soca karena dia jujur. Kalau dimarahi, bisa saja besoknya Soca cuma mengatakan apa yang dia pikir akan menyenangkan kami saja,” kata Reda. Walhasil, Aku, Meps, dan Beps nyaris bebas sensor. “Ada satu yang saya sensor, yaitu nama teman saya yang memberikan kaktus,” tambah Reda. “Saya nggak mau dia tahu kaktus pemberiannya saya marah-marahi!”

Karena Aku, Meps, dan Beps memuat kisah keluarga yang personal, mau tidak mau pembaca pun ikut terbawa, mungkin juga penasaran tentang hal-hal yang tak termuat dalam buku. Pada siang itu, Beps berbagi kisah ketika Soca masih TK, “Waktu itu Soca menceritakan dua temannya yang berkelahi di sekolah. ‘Saya harus melakukan apa?’ tanyanya. Saya nggak menyangka, rupanya anak saya sudah punya kesadaran untuk membantu menyelesaikan masalah temannya. Saya lalu menanggapi cerita itu. Ternyata, keesokannya, Soca bercerita lagi tentang temannya dan perkembangan situasinya. Saya menyadari bahwa saya nggak bisa bicara sembarangan, karena Soca sungguh mendengarkan perkataan saya. Saya belajar dari anak saya. Saya yakin teman-teman di sini pasti pernah mengalami juga hal serupa.”

Cerita Beps itu dituturkan dengan lembut dan agak malu-malu, berbeda dengan gaya bercerita Meps yang penuh tanda seru. Hadirin pada siang itu jadi penasaran bagaimana Meps berjumpa dan akhirnya berbagi hidup dengan Beps. Apa betul sifat yang berbeda memang menarik bagi satu sama lain? “Kesan pertama, nggak bangeeettt!” sambar Meps. “Kami ketemu ketika masih sama-sama kuliah di Fakultas Sastra UI Jurusan Prancis. Mas Eddie pernah kuliah pakai bakiak, saya pikir, ‘Ini orang cari perhatian banget deh!’ Dia juga pernah tampil di pementasan teater yang disutradarai Mas Aji (Ags. Arya Dipayana, yang menciptakan komposisi musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono, “Aku Ingin”, yang kemudian dibawakan AriReda). Tadinya tugas Mas Eddie cuma jadi pembisik, tapi karena Alex Komang yang harusnya tampil malah dilarang main karena bukan dari Jurusan Prancis, jadilah Mas Eddie terjun sebagai aktor, memerankan tokoh pincang. Waktu berjalan ke depan, yang pincang kaki kanan. Tapi pas balik, lho kok yang pincang jadi kaki kiri! Ngaco, deh. Pas adegan tidur, eehh dia malah tidur betulan! Lain waktu, kami sedang nongkrong-nongkrong main gitar. Kadang-kadang dia juga ikutan, tentu sambil tidur-tiduran, lalu sok-sokan request, ‘Moon River.. Moon River..’ Herannya, request itu kok ya kami turuti! Pernah juga satu waktu dia tiba-tiba menggelar kain, lalu melukisinya. Saya pikir, ‘Ih, pamer banget deh. Iya iya, tahu kok, dia jago melukis’. Tapi teman saya banyak yang suka, dan bilang, ‘Mas Eddie keren yaa!’ Idih, menurut saya sih orang ini nggak ada keren-kerennya!”

Tentu saja kisah semacam itu akhirnya akan tiba pada kalimat: Sampai pada suatu hari… Wajah Meps sedikit merona saat bercerita, “Jadi waktu itu, saya pindah ke rumah yang lebih besar. Seorang teman minta izin mau melukis di sana. Saya mengiyakan. Tahu-tahu yang muncul bukan teman yang minta izin itu, melainkan Mas Eddie. Sambil bawa gembolan pula. Aduh! Mau menolak, nggak enak karena sudah telanjur bilang iya. Dan, aduh! Waktu itu cuma ada kami berdua! Masa nggak saya ajak ngobrol? Tahu-tahu kami pun ngobrol, dari sore sampai dini hari! Setelah pacaran selama tujuh tahun, akhirnya kami memutuskan menikah.”

Beps mengaku, dia kuliah memakai bakiak karena, “Saya tinggal di asrama mahasiswa, tidak ada barang yang cuma dimiliki sendiri. Sering tiap kali dibutuhkan, sepatu-sepatu malah menghilang, sedang dipinjam oleh entah siapa. Waktu itu pilihannya antara memakai bakiak, atau bertelanjang kaki. Saya juga sering melukis spanduk, karena begitulah bagaimana saya membiayai hidup. Bapak saya pensiunan ABRI, selama kuliah saya nggak ingin membebaninya. Saya nggak pernah memberitahukan alamat di mana saya sebenarnya tinggal, sehingga orangtua saya sulit mengirimkan wesel.” Mendengar pengakuan mengharukan itu, hadirin menjadi tidak hanya memahami alasan mengapa Meps sebal kepada Beps, tetapi juga alasan mengapa Meps menyukai Beps!

*

Reda Gaudiamo menulis buku-buku yang tidak biasa. Seringkali cerita pendek buatannya sangat pendek, dimuat dalam buku-buku tipis yang ringan dan mudah terselip di rak maupun di toko buku. Dari buku yang satu ke buku yang lain, format dan konsep ceritanya berbeda-beda. Ada yang isinya percakapan dalam kalimat langsung semua (“Supaya saat membaca, kita seperti sedang menguping,” kata Reda), ada tentang orang-orang yang dijumpainya, ada juga tentang kenangan masa kecil. Percakapan, perjumpaan, perpisahan, perasaan, kenangan; semua itu pemberian hidup yang mudah terlupakan. Apalagi jika terjadi tanpa diusahakan. Kesan yang terasa ketika membaca karya-karya Reda adalah: dia menghargai semua yang mudah terlupakan itu; Reda mencatatnya.

Soca mengaku, menyimak ceritanya yang ada dalam Aku, Meps, dan Beps, membuat dia berpikir bagaimana sebaiknya menulis. “Saya pernah mencoba berbagai latihan menulis. Salah satunya menganjurkan supaya saya mengikuti cara menulis penulis favorit saya dari awal sampai akhir, lalu menghapus karya itu. Saya pernah membuat cerita a la Agatha Christie, lalu setelah selesai menghapusnya. Saya juga pernah mencoba cara penuturan yang rumit. Tapi, ketika menyimak lagi Aku, Meps, dan Beps yang sederhana, saya berpikir, mungkin inilah ‘gaya menulis tetap’ saya?”

Sekarang Soca berusia dua puluh lima tahun. Meski usia itu jauh lebih tua daripada usia ‘aku’ di buku Aku, Meps, dan Beps, kalau Soca senantiasa penasaran, dia akan mengalami berbagai hal baru dan membaca berbagai cerita yang akan disukainya. Barangkali pembaca justru tidak mengharapkan gaya menulis yang ‘tetap’, melainkan gaya menulis yang selalu berkembang. Siapa tahu?

*

Reda telah bernyanyi selama puluhan tahun, tapi jumlah albumnya jauh dari angka puluhan. Bukunya pun agak jarang dijumpai, seringkali diterbitkan dan didistribusikan secara independen. Meski demikian, Reda tetap yakin karyanya akan sampai ke tangan yang tepat dan orang yang mengapresiasi. Maesy Angelina dari POST Press bercerita, dia pertama kali menemukan buku NaWilla karya Reda Gaudiamo dijual di Kedai Tjikini. Buku itu langsung menarik perhatiannya karena dia suka buku anak-anak (salah satu favoritnya, Matilda karya Roald Dahl). Maesy jatuh cinta dengan karakter NaWilla, yang sebagaimana Matilda, juga amat senang membaca. NaWilla lantas dijual di POST Bookshop, toko buku yang didirikannya bersama Teddy di Pasar Santa. Kebetulan Reda juga pernah membuka toko di sana. Ternyata semakin banyak lagi orang yang berjumpa dan menyenangi NaWilla.

Mendapati bukunya diapresiasi oleh Maesy dan para pengunjung POST Bookshop, ketika Reda menjumpai lagi naskah lama yang ditulisnya bersama Soca, dia lalu mengirimkannya kepada Maesy. Awalnya untuk meminta pendapat, “Apakah naskah ini layak untuk diterbitkan?” Balasan dari Maesy membuat hati Reda berdebar-debar, ”Saya bicarakan dulu ya, dengan ketiga teman saya.” Teddy mengaku, ketika hendak menerbitkan buku di POST Press, keempat pendirinya mesti setuju semua. Kalau ada yang tidak setuju, maka dia bisa memveto rencana tersebut. Ternyata keempat pendiri POST Press—Maesy, Teddy, Syarafina Vidyadhana, dan Arman Dhani—semuanya langsung menyetujui naskah itu. Walhasil Aku, Meps, dan Beps karya Soca Sobhita dan Reda Gaudiamo menjadi rilisan perdana POST Press. Meski buku ini tampak sederhana, menurut Maesy proses editing-nya justru sama sekali tidak sederhana. “Kami berdebat lumayan lama untuk penggunaan beberapa kata. Bahkan ketika bukunya dicetak ulang, masih ada perbaikan lagi.” Jika kemudian sebuah buku sampai dicetak ulang, bisa disimpulkan bahwa sambutannya melebihi ekspektasi penerbit.

Di akhir bincang buku sore itu, Reda mengatakan dengan lirih tapi bernada tegas, bahwa pilihan tak pernah berdiri sendiri. Selalu ada konsekuensi membayangi. Itu berlaku dalam segala hal, mulai dari berkarya, memilih pasangan hidup, hingga membesarkan anak. Seseorang bisa memilih apapun, asalkan siap menanggung konsekuensinya. Barangkali petuah semacam itu sudah sering kita dengar, tapi jika datang dari keluarga unik keren seperti si Aku, si Meps, dan si Beps, bolehlah itu kita resapi kembali.

* * *

Reda Gaudiamo ikut bernyanyi bersama Tetangga Pak Gesang feat. Yuddhaswara dan Jon Kastella, mendendangkan lagu anak-anak di antaranya “Tukang Kayu” dan “Burung Hantu”.

_
Buku Aku, Meps, dan Beps (POST Press, 2017) bisa didapatkan seharga Rp 55.000,- di Kineruku.

Comments (0)

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Subscribe