Oleh: Subagio Sastrowardoyo
Sajak cenderung menunjukkan gejala atavisme. Pada saat-saat tertentu di dalam perkembangannya nampaklah padanya ciri-ciri persajakan yang sudah lama terpendam. Ciri-ciri itu timbul lagi karena merupakan perwatakan yang khas bagi sajak.
Atavisme ini harus dibedakan dari peniruan kepada ciri-ciri jenis sajak yang telah ada. Misalnya bukanlah gejala atavisme yang kita jumpai pada sajak soneta yang dikarang oleh Muhammad Yamin atau Sanusi Pane pada tahun dua puluhan, yang jelas meniru cara bersajak Gerakan Delapanpuluh penyair-penyair Belanda seperti Willem Kloos dan Jacques Perk barang setengah abad sebelumnya. Ciri-ciri soneta itu lahir lagi pada zaman Pujangga Baru karena mengikuti acuan ekspresi itu telah ada.
Pengertian atavisme, yang kami pinjam dari bidang biologi, menunjukkan pada gejala bangkitnya ciri-ciri nenek moyang, yang tidak terdapat pada orang tua dan keturunan keluarga yang dekat. Jika kita hendak mendapatkan gejala atavisme pada sajak, kita harus berhadapan dengan sajak yang menampakkan unsur-unsur persajakan yang paling asasi. Unsur-unsur ini sering terpendam daya ekspresinya di dalam sajak-sajak yang telah menjadi konvensionil bentuknya seperti soneta. Bangkitnya ciri-ciri soneta pada sajak yang baru tidaklah menandakan atavisme. Soneta serta sajak-sajak konvensionil lainnya seperti gurindam, dan syair di dalam bahasa Melayu sudah merupakan bentuk tahap perkembangan dari bentuk ekspresi sajak yang lebih purba. Gejala atavisme menunjukkan kepada bangkitnya kembali ciri-ciri ekspresi persajakan yang lebih purba itu.
Barangkali sebagai fase antara di tengah tiruan dan atavisme adalah sajak Sitor Situmorang “Lagu Gadis Itali” yang bait pertamanya berbunyi:
Kerling danau di pagi hari
Lonceng gereja bukit Itali
Jika musimmu tiba nanti
Jemputlah abang diteluk Napoli
Sajak ini mengandung atavisme kalau pantun yang memberi pengaruh kepada bentuk dan wataknya kita pandang sebagai ekspresi persajakan yang purba. Ciri-ciri pengucapan yang primitif dan elementer pada pantun di dalam hal ini dapat kita pergunakan sebagai pertanda kepurbaannya. Tetapi di samping itu pantun terlalu jelas memperlihatkan garis-garis acuannya yang telah menjadi konvensionil (sekalipun di dalam sajak Sitor Situmorang sebagai selingan pada peniruannya tidak dipatuhi benar rumus sajak pantun yang umum a-b-a-b), sehingga tidak bisa ditetapkan benar kepurbaan ekspresi pantun serta adanya gejala atavisme di dalam sajak di atas.
Di dalam menentukan adanya atavisme atau peniruan saja, tersangkut masalah tentang penilaian terhadap “orisinalitas” pengucapan sajak dan masalah tentang unsur-unsur yang paling esensiil yang menentukan adanya sajak. Tetapi sebelum kita memasuki masalah-masalah itu ingin kami menunjukkan sajak yang menurut penglihatan kami jelas menunjukkan gejala atavisme. Di dalam kumpulan Sitor Situmorang Dalam Sadjak yang memuat sajak di atas, terdapat sajak-sajak kecil terdiri dari beberapa baris saja, seperti:
HARI PASAH
Layar putih
Di langit biru
(Laut merah kesumba)
Isa, Isa, Isa
Aku tak punya rupa
Dan sajak yang sangat terkenal di waktu terbit mula-mula:
BUNGA
Bunga di atas batu
Dibakar sepi
Mengatas indera
Ia menanti
Bunga di atas batu
Dibakar sepi
Sajak-sajak ini mempergunakan alat-alat pengucapan yang paling esensiil, dan karena itu juga yang paling asasi. Sajak-sajak ini hendak menangkap pikiran pada intinya serta menyerahkan perkembangan bayangannya pada tenaga asosiasi yang bisa timbul dari pemakaian katanya. Ciri ini tidak dibangkitkan dari acuan jenis sajak tertentu, melainkan mempergunakan tenaga-tenaga ekspresi persajakan yang umum, tetapi yang khas membawa perwatakan sajak. Karena memokokkan diri pada inti pikiran belaka dan menyandarkan kekuatan ekspresinya pada daya saran kata-katanya, maka sajak berbeda dari uraian prosa dalam kepekatan dan kesingkatannya. Perwatakan demikian bertemu pada setiap karangan yang bernama sajak. Perbedaan bentuk ucapan di antara sajak sendiri hanya graduil menurut kepekatannya yang tergantung pula dari lemah dan kuatnya daya asosiasi kata-katanya.
Di dalam sejarah perkembangan sajak tiba saat-saat penyair sadar akan daya ekspresi yang khas pada sajak itu, yang jika telah disadari hanya merupakan pengetahuan biasa yang tidak pelik atau ajaib, tetapi yang di dalam berbagai periode cenderung diabaikan di dalam penulisan sajak. Kesadaran akan daya dan bentuk ucapan yang khas itu tidak jarang menimbulkan jenis puisi yang memberi sesuatu asas estetik kepada suatu golongan atau angkatan sastra. Metode ekspresi sajak yang asasi yang terdapat pada sajak Sitor Situmorang itu pernah, misalnya dicita-citakan oleh aliran Imagism di dalam sastra Amerika dan Inggris antara 1912-1927 yang diwakili terutama oleh T.E. Hulme, Ezra Pound, Amy Lowell, Richard Aldington, Hilda Doolittle, John Gould Fletcher, dan F.S. Flint.
Kaum Imagis menginginkan sajak dapat meng-“image” kesan-kesan dan perasaan, yakni dengan membayangkan pengalaman-pengalaman itu secara konkret dan keindraan dengan pemberian batas-batas lukisan yang jelas dan tegas. Kecuali itu mereka berkeyakinan pula bahwa intisari puisi adalah konsentrasi, sehingga menyukai sajak-sajak yang pendek-pendek dengan mempergunakan kata-kata yang setepatnya dan sehematnya.
Sebagai contoh dapat dikemukakan di sini sajak T.E. Hulme, penyair Inggris yang sekalipun beberapa saja produksi sajaknya telah meletakkan landasan bagi lahirnya Imagism:
ABOVE THE DOCK
Above the quiet dock in midnight,
Tangled in the tall mast’s corded height,
Hangs the moon. What seemed so far away
Is but a child’s balloon, forgotten after play.
Subjek sajak aliran Imagism cenderung mencukupkan diri pada satu kesan atau perasaan saja dengan tidak disangkutkan kepada pengalaman-pengalaman yang lebih luas dan dalam. Bahkan bayangan yang objektif dan keinderaan sering tidak memperkenankan penafsiran kepada makna-makna yang abstrak. Bayangan dunia lahir harus diterima di dalam yang lahir itu juga, seperti pada sajak Hilda Doolittle ini:
CREAD
Whirl up, sea
Whirl you pointed pines,
Splash your great pines
On our rocks,
Hurl your green over us,
Coverus with your pools of fir
Itu saja bayangan laut, dan tidak ada makna hidup atau pengalaman yang lebih dalam yang harus kita cari di dalam sajak itu kecuali suasana dan angan-angan subjektif yang timbul dalam diri kira menghadapi pembayangan laut itu sebagai pohon cemara. Yang diharapkan adalah kumandang kesan dan perasaan di dalam diri kita dari goresan kesan dan perasaan juga yang di dalam “Above The Dock” dibayangkan di dalam kiasan yang konkret dan keinderaan seperti bayangan bulan di atas pelabuhan yang sepi, yang mengingatkan T.E. Hulme kepada balon anak yang terlupa di dalam permainan.
Di dalam menghadapi sajak-sajak demikian mungkin sekali kita tidak dapat menghindarkan diri dari penafsiran yang abstrak yang bersifat religi atau filsafat, karena terbawa oleh suasana dan angan-angan yang dihidupkan di dalam diri kita oleh bayangan di dalam sajak itu. Misalnya mungkin sekali kita akan merasakan adanya keyakinan bahwa dunia ini ditinggalkan kepada nasib dan kemauan sendiri oleh Tuhan setelah saat penciptaannya, seakan-akan “a child’s balloon, fotgotten after play” – di balik sajak T.E. Hulme itu. Tetapi menurut programnya dan asanya, aliran Imagism menekankan kepada pengalaman-pengalaman yang konkret dan mengelakkan pemikiran yang intelektual dan abstrak, seperti ternyata di dalam sajak yang sangat pendek oleh Ezra Pound ini:
ALBA
As cool as the pale wet leaves of lily-of-the-valley
She lay beside me in the dawn.
atau ini:
THE ENCOUNTER
All the while they were talking the new morality
Her eyes explored me
And when I arose to go
Here fingers were like the tissue
Of a Japanese paper napkin.
Mata yang tajam akan segera mengingatkan bentuk ucapan sajak-sajak ini kepada jenis sajak Jepang haiku. Penglihatan demikian tidaklah salah, karena Ezra Pound dan kebanyakan penyair Imagis telah menerima pengaruh dari persajakan haiku, bahkan Ezra Pound sendiri telah menerjemahkan beberapa dari jenis sajak itu ke dalam bahasa Inggris. Kehematan dalam ekspresi serta pembatasan pada satu kesan atau perasaan saja di dalam sajak Imagis adalah pula menjadi asas pengucapan sajak haiku.
Haiku diperlakukan sebagai permata yang digosok-gosok permukaannya sampai unsur-unsur kelebihan yang sekecilnya pun dapat dihilangkan dari teras batu yang memancar. Hasilnya adalah buah sastra yang hanya terdiri dari tujuh belas suku kata yang harus sanggup memancarkan suasana dan angan-angan lewat bayangan-bayangan alam dan pengalaman lahir.
bulan cerah: meigetsu ya
kolam – aku berkeliling ike wo megurite
dan malam hilang. yo-mo-sugara
begitu hening shizukasa ya
menembus kebatu – iwa ni shimi-iru
cerik djengkereik. semi-no-koe
Wajah haiku mengingatkan kepada lukisan Cina kuno yang dengan beberapa coret tinta saja di atas kain telah sanggup menyarankan suasana dan angan-angan dari garis-garis bayangan tangkai dan daun-daun bambu.
Sajak-sajak Imagis tidak meniru, melainkan meneladan kepada haiku dengan membangkitkan tenaga-tenaga ekspresi yang terkandung di dalam sajak Jepang yang berkembang di dalam abad-abad tujuh belas sampai sembilan belas itu. Yang dipergunakan oleh penyair-penyair Imagis bukanlah acuan persajakan yang telah tetap dan konvensionil, melainkan tenaga-tenaga sajak yang asasi telah menghidupi pula haiku. Haiku ini seperti telah mengingatkan penyair-penyair Imagis akan unsur-unsur yang paling esensiil yang terdapat pula di dalam jenis-jenis sajak yang lain yang mempunyai daya tarik kepada selera kemanusiaan pada umumnya.
Juga sajak-sajak pendek Sitor Situmorang seperti “Hari Pasah” dan “Bunga” mencapai daya puitiknya dari asas-asas ekspresi yang sama seperti pada haiku. Yang hendak dituju adalah suasana dan angan-angan dari bayangannya dunia lahir yang konkret lewat konsentrasi pikiran dan kata-kata. Hanya pada Sitor Situmorang, seperti pada Ezra Pound, arah tanggapan yang disarankan oleh kata-kata lebih tegas daripada haiku pada umumnya. Seruan “Isa, Isa, Isa/ Aku tak punya rupa” waktu menyaksikan layar putih di langit biru, membayangkan kesadaran akan dosa diri di tengah keheningan dan kesunyian Hari Pasah. Demikian pula di dalam sajak “The Encounter” Ezra Pound dengan jelas mengarahkan bayangannya kepada cinta kasih yang penuh dosa menurut tanggapan kesusilaan umum tetapi nikmat dan mulus rasanya bagi diri. Jari-jari gadis yang mengajakanya adalah lembut seperti sapu tangan kertas Jepang yang halus.
Kebenaran asas ekspresi yang terdapat pada haiku itu terbukti pada luasnya popularitas serta pengaruhnya, kecuali pada aliran Imagism, juga pada kalangan-kalangan sastra yang lain di dunia Barat, yang berkembang terutama pada pertukaran abad dua puluh. Hemat kami, sebabnya terletak pada kemampuannya menyentuh salah satu segi hakikat sajak, yakni buah sastra yang memusatkan kesanggupan bicaranya pada daya asosiasi kata-katanya. Akibatnya seperti yang kita saksikan pada haiku, sajak-sajak Imagis dan sajak Sitor Situmorang, sajak dapat mencapai efek suasana dan angan-angan yang meresap dengan bayangan kata yang sehematnya.
Sajak Sitor Situmorang dengan menggapai bentuk pengucapan yang asasi dan purba telah membangkitkan ciri-ciri “nenek moyang” persajakan, dan dengan demikian menampakkan gejala atavisme.
*
Ciri-ciri pengucapan sajak yang asasi itu terutama dapat kita jumpai dalam masyarakat yang sederhana alam pikirannya serta tidak kompleks ekspresi budayanya. Penyair modern dalam hendak menemukan corak yang khas yang sesuai dengan pribadinya cenderung meninggalkan lingkungan peradaban dan kebudayaan sendiri yang telah menyempitkan pengucapan diri yang langsung dan bebas. Ia ingin melepaskan diri dari tradisi budaya yang kompleks yang cenderung mengikat setiap ekspresi dengan aturan dan konvensinya. Jalan keluar baginya adalah tinggal setia pada kewajaran watak sendiri dengan mengarahkan cita hidupnya pada bayangan kemanusiaan yang umum. Ia “berdiri telanjang” di luar tradisi dan konvensi sebagai “kuda jalang dari kumpulannya terbuang”. Proses persahajaan diri itu berlaku setiap kali kehidupan sastra menyadari asas-asas ekspresinya yang benar dan wajar. Di dalam perkembangan itu ekspresi sajak mendekati ciri-ciri yang terdapat di dalam sastra masyarakat yang primitif.
Gejala atavisme demikian terdapat misalnya pada sajak Chairil Anwar “Tjerita buat Dien Tamaela”. Sekalipun sajak ini sudah lama dikenal pembaca sehingga sebenarnya tidak perlu pengulangan, tetapi untuk penjelasan gejala atavisme ini bolehlah seluruh sajak itu kami bentangkan di sini.
Beta Pattiradjawane
Yang dijaga satu-satu
Cuma satu
Beta Pattiradjawane
Kikisan laut
Berdarah laut
Beta Pattiradjawane
Ketika lahir dibawakan
Datu dayung sampan
Beta Pattiradjawane, menjaga hutan pala
Beta api dipantai. Siapa mendekat
Tiga kali menyebut beta punya nama.
Dalam sunyi malam ganggang menari
Menurut beta punya tifa
Pohon pala, badan perawan jadi
Hidup sampai pagi tiba.
Mari menari!
Mari beria!
Mari berlupa!
Awas! Jangan bikin beta marah
Beta bikin pala mati, gadis kaku
Betapa kirim datu-datu!
Betapa ada di malam, ada di siang
Irama ganggang dan api membakar pulau…
Beta Pattirajawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu.
Nada bicara, ulangan-ulangan, kesederhanaan penjanjian dan suasana akrab pada alam di dalam sajak ini mendekati ciri-ciri yang kita jumpai di dalam serapah yang berlaku di dalam masyarakat lama. Di dalam sajak itu Chairil Anwar rupanya ingin membangkitkan kembali tenaga yang tersimpan di dalam kata yang dapat mempengaruhi dan merubah secara magis alam sekitarnya seperti kata-kata serapah ini:
Seri Dangomala! Seri Dangomali!
Hendak kirim anak sembilan bulan,
Segala inang, segala pengasuh,
Jangan beri sakit, jangan beri demam,
Jangan beri ngilu dan pening,
Kecil menjadi besar,
Tua jadi muda,
Yang tak kejap diperkejap,
Yang tak sama dipersama,
Yang tak hijau diperhijau,
Yang tak tinggi dipertinggi,
Hijau seperti air laut,
Tinggi seperti bukit Kap.
Serapah yang hendak mempengaruhi tumbuhnya tanaman ini terbit dari kepercayaan akan tenaga magi kata. Di dalam sajak modern pun ada kepercayaan kepada tenaga kata, tetapi efeknya bersifat psikologis, yakni sanggup menggerakkan hati dan pikiran. Sedang di dalam serapah pengaruhnya lebih jauh dari itu, tidak hanya jiwa manusia saja yang dapat digerakkan oleh kata, melainkan tenaga kata ini merupakan jurang yang tetap memisahkan suasana dan semangat sastra lama dan sastra modern. Atavisme di sini hanya bisa terlaksana separuh jalan karena penyair modern pun tidak berkeinginan untuk mempengaruhi alam secara konkret. Paling jauh yang hendak dicapai adalah pengalaman batin yang tidak dapat ditangkap oleh daya indera biasa, suatu penglihatan visiun dari alam yang gaib, dari “L’Inconnu”, seperti yang dicita-citakan oleh Arthur Rimbaud.
Tetapi pola ekspresi serapah tetap mempunyai daya tarik kepada penyair modern, karena suasana misteri yang tidak dibuat-buat yang didorong oleh kesungguhan kepercayaan akan pengaruh kata, dan pula karena kesan kepurbaan yang mengadung daya ekspresi yang paling elementer dan asasi. Kalau kekuatan saran di dalam haiku terdapat pada tegasnya lukisan bayangan, maka di dalam serapah kekuatan itu terdapat pada ulangan-ulangan. Sugesti di sini lebih langsung menurut efeknya dari ulangan-ulangan dengan mengorbankan kadar konsentrasi pada ekspresi, sedang di dalam haiku konsentrasi ekspresi, dengan pertimbangan estetis-psikologis, lebih meminta perhatian dengan melemahkan daya saran yang langsung dari bayangannya, yang karena itu pula berkesan memberi lukisan yang agak statis.
Atavisme dengan ciri-ciri serapah kita temukan juga pada sajak Ajip Rosidi “Diketemukan kembali si anak tunggal” yang memuat baris-baris sajak ini:
Kelong yang berada di hutan
Kelong bersinggasana tidak di alam kami
Kelong yang malam adalah siang
Kelong yang menipu mata anak manusia
Kelong yang berbundakan lautan selatan
Kelong yang berbapakan angin bangkit pegunungan
Kelong yang berada di gelap malam
Kelong yang bermata menyala
Kelong yang bersusu seribu depa
Jangan sembunyikan anak tiada berayah
Jangan sembunyikan anak sudah bersunah
Telah kami kurbankan kerbau sepasang
Untuk pesta kerajaanmu
Dang pelayan banyak peri taklukanmu
Hang hulubalang banyak hantu jajahanmu
Kembalikan anak pada bundanya.
Sajak ini merupakan bagian dari sebuah balada panjang mengenai seorang ibu yang kehilangan anaknya dibawa hantu di pohon dan karena hendak mendekati benar bentuk dan corak serapah (yang diucapkan ibu itu), maka meskipun tercipta di dalam angan-angan penyairnya, ciri-cirinya bolehlah dikata tepat seperti di dalam angan-angan pada buah tutur magis di dalam masyarakat yang bersuasana kepercayaan lama itu. Tetapi sebagai hasil angan-angan sastra modern sajak tersebut mengandung gejala atavisme. Yang diteladan di sini adalah pola berpikir dan bicara di dalam lingkungan kehidupan lama yang belum mencapai aturan dan susunan yang tetap.
Dari bentuk ekspresi yang masih sahaja dan primitif demikian lebih dapat terjadi atavisme. Bentuk pantun ataupun soneta yang telah menuruti suatu aturan yang tetap dan konvensionil adalah hasil dari suatu tingkatan kultur, yang hanya memungkinkan pengucapan yang klise jika dicoba dibangkitkan ciri-cirinya kembali di dalam sajak yang baru. Klise demikian karena kurangnya membuktikan kepribadian serta orisinalitas pikiran dan bicara mengesankan nilai yang kurang pula dibandingkan dengan atavisme yang hendak mendapatkan pola yang esensiil dan asasi belaka seperti yang ada di balik haiku dan serapah. Mungkin bentuk-bentuk sajak-sajak yang sudah mencapai aturan yang konvensionil dapat menimbulkan juga gejala atavisme di dalam sajak-sajak yang baru, seperti misalnya dari pantun dapat diambil asas asosiatifnya yang terdapat di antara kedua baris pertama (“sampiran”-nya) dengan kedua baris terakhir (“maksud”-nya) dengan tidak mengikatkan diri pada banyak baris ataupun suku kata yang dipersyaratkan pada pantun. Dengan demikian hanya unsur esensiil pada pengucapan pantun saja yang diteladan sehingga bisa timbul atavisme.
Rupanya karena hendak menangkap unsur-unsur yang paling esensiil dan asasi saja dari haiku, maka Ezra Pound waktu hendak menjelaskan prinsip sajak-sajak Imagism menyatakan, bahwa sajak harus memiliki suatu “form of superposition”, bentuk susunan bertingkat yang terdiri dari bayangan yang hidup yang dikombinasikan kepada bagian yang menyatakan maksud dengan langsung. Bagi Ezra Pound rupanya asas ekspresi pada haiku sama seperti yang terdapat di dalam pantun, yang merupakan form of superposition demikian juga.
Gejala atavisme membuktikan bahwa sajak, setelah mengalami perkembangan yang kering karena bentuk-bentuk konvensionil yang terlalu mengikat, demi kesegaran hidupnya butuh kembali menemukan ekspresi persajakan yang paling esensiil dan asasi dengan menjangkau kepada bentuk-bentuk pengucapan yang lebih elementer dan primitif. Yang penting adalah menemukan kembali ekspresi persajakan yang asasi itu, dan subjek bicara tidaklah penting. Bahwa apapun dapat menjadi bahan buat sajak yang mengalami atavisme—sebagai penutup karangan ini—dapat kita lihat pada sajak Asrul Sani “Dongeng buat Bayi Zus-Pandu” yang meneladan kepada serapah. Fungsi serapah sudah hilang, yang tinggal adalah suasana misterinya yang dibangkitkan oleh ulangan-ulangan, kesahajaan penjanjian dan berkuasanya bayangan alam.
DONGENG BUAT BAYI ZUS-PANDU
Sintawati datang dari Timur,
Sintawati menyusuri pantai.
Ia cium gelombang melambung tinggi,
Ia hiasi dada dengan lumut muda,
Ia berjanji atas karang sore dan pagi,
Sintawati telah datang dengan suka sendiri.
Sintawati telah lepaskan ikatan duka
Sintawati telah belai nakhoda tua,
Telah cumbu petualang berair mata
Telah hiburkan perempuan-perempuan bernantian di pantai senja
Jika turun hujan terlahir di laut,
Berkepakan elang pulang ke benua.
Sintawati telah tunggu dengan warna bianglala,
Telah bawa bunga, telah bawa dupa.
Sintawati mengambang di telaga gunung,
Dan panggil orang utas yang berkeyakinan kelabu.
Telah menarik haruman pada batang tua,
Telah dendangkan syair dari gadis remaja.
Sintawati telah menyapu debu dalam kota,
Telah mendirikan menara di candi-candi tua,
Sintawati telah bawa terbang cuaca,
Karena Sintawati senantiasa bercinta.
Sintawati datang dari Timur,
Sintawati telah datang…….
……datang,
Sinta
datang…..!
Bandung, 29 Januari 1969
* * *
Diketik ulang dari majalah Budaja Djaja edisi No. 10, Maret 1969, halaman 136-146. Tulisan ini juga dimuat di buku kumpulan tulisan Subagio Sastrowardoyo berjudul Bakat Alam Dan Intelektualisme (1971). Pemuatan aslinya masih memakai ejaan lama, dan untuk keperluan web ini tulisan tersebut sudah diganti ejaannya dengan EYD. Foto ilustrasi di posting ini memakai hasil pindai dari ilustrasi asli di majalahnya, yakni vinyet karya Ipe Maruf.
Kineruku juga mengoleksi buku-buku karya Subagio Sastrowardojo, di antaranya: Manusia Terasing Di Balik Simbolisme Sitor, Simphoni, Sastra Hindia Belanda Dan Kita, Sekilas Soal Sastra Dan Budaya, Bakat Alam Dan Intelektualisme, dsb. Selengkapnya cek di kineruku.com
.
Tengok koleksi [ARSIP] sebelumnya:
>> Merekam Wajah Asli Indonesia
>> Kau Takkan Kurelakan Sendiri
>> Musik Pop Indonesia: Satu Kebebalan Sang Mengapa