Ketika masih duduk di kelas 5 SD sekitar seperempat abad yang lalu saya pernah disuruh guru untuk mewakili sekolah ikut bertarung di lomba baca puisi tingkat kecamatan, dan dari pembacaan yang mungkin lebay dan overdramatic atas sajak “Krawang-Bekasi” (1948) itu saya hanya mendapat juara II dan gagal maju ke tingkat kabupaten. Setelah masuk bangku SMP saya baru tahu ada puisi Archibald Macleish “The Young Dead Soldiers Do Not Speak” (1941), tapi bahkan kalimat “They have a silence that speaks for them at night and when the clock counts” di situ bagi saya tetaplah tidak sesyahdu interpretasi Chairil Anwar, “Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak“. Lebih ringkas, lebih mak jleb.
Siapa pun yang mengalami masa-masa pendidikan dasar di era ’80an atau ’90an di negeri ini pasti pernah mendapati puisi “Doa” yang legendaris itu muncul sebagai soal ujian Bahasa Indonesia tentang apa pesan moral (!) dari larik-larik magis “di pintuMu aku mengetuk/ aku tidak bisa berpaling“, dan bukannya diajarkan berimajinasi kita malah dibatasi harus mencari jawabannya dalam bentuk pilihan ganda! Kalimat-kalimat Chairil memang sangat bertenaga sehingga kerap dikutip di mana-mana, seperti “aku mau hidup seribu tahun lagi“, “nasib adalah kesunyian masing-masing“, “hidup hanya menunda kekalahan“, “tapi kerja belum selesai, belum apa-apa“, “sekali berarti sudah itu mati“, dsb., dst.
Tak terhitung pula banyaknya musikalisasi puisi yang telah tercipta dari situ, salah satu yang lumayan terkini adalah interpretasi pop akustik Banda Neira dari sekitar 2014-2016 atas puisi “Derai-derai Cemara”, sebelum kemudian duo itu vakum dan akhirnya memutuskan untuk bubar—seperti mengamini baris penutup di puisi tersebut, yang konon adalah puisi terakhir yang ditulis Chairil Anwar semasa hidupnya: “…sebelum pada akhirnya kita menyerah.” Sementara favorit saya hingga hari ini masih tetap datang dari Igor Tamerlan, seorang singer/songwriter sekaligus multi-instrumentalis nyentrik yang berhasil menghadirkan kegalakan sekaligus kegenitan puisi “Aku” lewat nada-nada eklektik pop kreatif dengan bumbu saksofon yang licin, di sebuah piringan hitam 12″ keluaran Musica pada tahun 1980.
Sebuah foto tua tanpa sengaja saya temukan beberapa hari lalu di akun twitter Potret Lawas, dengan watermark “KITLV – @potretlawas” tertera kecil di sudut kiri bawah foto hitam putih tersebut. Cuitan itu menyebutkan lokasi dan tahun pemotretannya (Jakarta, 1948) beserta keterangan siapa saja seniman Gelanggang yang ada di foto, dari kiri ke kanan: Mochtar Apin, Asrul Sani, Baharuddin, Henk Ngantung, Chairil Anwar. Mereka seperti sedang membicarakan sebuah lukisan. Tongkrongan Asrul terlihat cukup rock ‘n roll (meski istilah itu bahkan belum muncul saat itu) dengan kancing terbuka, lengan baju digulung, dan rokok terselip di bibir. Sementara Henk, yang juga memegang rokok, tampak begitu ceria—mungkin belum terbayang sama sekali olehnya ia bakal jadi gubernur Jakarta dua windu setelahnya. Dan tokoh kita, Bung Chairil, malah terlihat serius (atau malu-malu?) menunduk membaca buku. Pencitraan atau bukan, hanya Tuhan dan si cungkring itu yang tahu.
Andai saja ia tak mati muda di usia hampir 27, hari ini si Binatang Jalang bakal genap berusia 95 tahun, dan mungkin ia akan posting foto-foto terbarunya di Instagram. Tentu dengan caption “Mampus kau dikoyak-koyak selfie!”
Dirgahayu, Bung.
[Budi Warsito]
_
Buku-buku karya Chairil Anwar dan juga beberapa kajian tentangnya tersedia di koleksi perpustakaan Kineruku. Sementara untuk yang dijual, ada judul ini.