Please select a page for the Contact Slideout in Theme Options > Header Options

/catatan:/ Resep Pesta Boneka a la Papermoon

/catatan:/ Resep Pesta Boneka a la Papermoon
28/11/2016 admin

papermoon_talkshow-kineruku

“Yang selalu berkesan adalah acara When Puppeteers Cook…” kata Ria Papermoon, dalam temu wicara Pengalaman Mengelola Pesta Boneka, di Kineruku, Kamis (17/11) lalu. “Kami meminta para dalang boneka memasak makanan kesukaan mereka. Boleh apa saja, kalau sukanya sandwich bikin sandwich juga boleh. Mereka bisa membawa bahan makanan dari tempat mereka berasal, atau sekalian berbelanja waktu kami mengajak mereka main ke pasar… Siapapun boleh mencicipi masakannya! Pada Pesta Boneka yang lalu, ibu-ibu berkomentar masakan dari Filipina terlalu asem buat lidah mereka! Sementara itu, puppeteer dari Jepang mencoba mengikuti selera kita dengan membuat sushi berisi pete dan ikan teri!”

* *

Sebagai anak laki-laki yang lebih senang main boneka daripada bola, saya selalu menanti sajian pentas boneka dalam International Biennale Puppet Festival Pesta Boneka di Yogyakarta. Saya pertama kali mengunjungi Pesta Boneka #3, pada 2012. Ketika itu, harga tiket Kelas Ekonomi Kereta Api Kahuripan, dari Stasiun Kiaracondong sampai Stasiun Lempuyangan masih Rp38.000. Saya mengajak sepupu saya, mahasiswa UGM yang kamarnya saya tumpangi, berangkat ke Padepokan Seni Bagong Kussudiardja di Bantul, dengan sepeda motor. Itu pertunjukan boneka pertamanya. Saya tertawa mendengar sepupu saya tertawa lepas menyambut lawakan Wayang Hip-Hop. Pesta Boneka jadi pengalaman yang sama-sama kami nikmati.

Dua tahun kemudian saya datang lagi. Penginapan saya dekat dengan IFI LIP Yogyakarta, salah satu lokasi Pesta Boneka #4. Saya pergi dan pulang berjalan kaki sambil membawa payung pinjaman dari penginapan. Sayangnya, waktu itu sepupu saya sedang sibuk mempersiapkan diri menjadi dokter. Dia tidak bisa menemani saya menonton pentas boneka. Namun, saya punya sederet teman di Yogyakarta, yang baru saya kenal dari komunitas penyuka korespondensi, Card to Post. Kami lantas janjian kopi darat, sekalian menonton pentas boneka bersama. (Sekarang saya bisa membaca surat sambil membayangkan suara sahabat pena saya.)

Tahu-tahu, hampir dua tahun berlalu sejak kunjungan terakhir saya ke Pesta Boneka. Sepupu saya sudah menjadi dokter yang bertugas di Flores. Harga tiket Kelas Ekonomi Kereta Api Kahuripan, dari Stasiun Kiaracondong sampai Stasiun Lempuyangan kini Rp84.000. Tahu-tahu, Pesta Boneka #5 diadakan lagi pada tanggal 2-4 Desember mendatang! Temanya kali ini: Home. Sejak minggu lalu, saya mulai mempersiapkan serba-serbi keberangkatan saya: tiket kereta, tiket menonton, dan penginapan. Saya bahkan menjerat seorang sahabat ikut dalam perjalanan ini, karena percaya Pesta Boneka bakalan menjadi pengalaman menyenangkan bagi kami.

* *

Sebelum berbagi pengalaman mengelola Pesta Boneka, Ria menceritakan bagaimana Papermoon lantas menjadi marganya. Papermoon Puppet Theatre adalah kelompok teater yang didirikannya bersama rekan-rekan. “Dulu bonekanya dibuat dari kain-kain lama yang kami pakai lagi. Pentasnya juga bisa di mana saja, panggungnya bisa dibawa ke mana-mana.”

Seiring berjalannya waktu, Papermoon Puppet Theatre senantiasa menabung pengetahuan. Ketika mereka dikunjungi sekawanan orang dari belahan dunia lain yang ingin mempelajari wayang kulit, mereka juga minta supaya diajari sesuatu. (“Padahal kami bukan ahli wayang kulit,” ujar Ria. “Mereka berkunjung karena kami menyebut diri kami ‘puppet theatre‘.”) Salah seorang dari kawanan itu lantas membuatkan boneka topeng yang jadi bagian dari pementasan Pesta Boneka yang pertama. “Sebetulnya program pementasan yang dulu kami buat kurang sesuai dengan istilah ‘festival’ karena programnya jangka panjang (bukan dalam hitungan hari atau minggu),” ujar Ria.

Ria menjelaskan bagaimana konsep ‘International Biennale Puppet Festival’ awalnya merupakan klaim Papermoon Puppet Theatre belaka. “Dulu, kami memakai kata ‘international‘ karena salah satu karya yang ditampilkan buatan orang dari luar negeri,” ujarnya. “Dua tahun kemudian, pada suatu kesempatan kami hendak memamerkan karya kami. Kami curhat kepada pemilik galeri, bagaimana kami mau bikin festival boneka. Tahu-tahu dia menyuruh kami membuatnya sebagai bagian dari pameran! Salah satu penampilnya berasal dari Prancis. Dari sana, dia bisa sampai ke Indonesia dengan menyetir mobil (!). Dia singgah, dan sempat tinggal di berbagai negara. Kebetulan, dia sampai ke Indonesia bertepatan dengan acara kami. Lalu kami mintalah dia pentas.” Karena saat itu festival boneka yang mereka adakan berjeda dua tahun, maka terpikirlah istilah ‘biennale‘. “Banyak event bergengsi dunia yang memakai kata ‘biennale‘, kami pikir boleh juga dipakai Pesta Boneka, supaya jualannya lebih gampang,” kata Ria. Jelas ada doa dan usaha yang menempel dalam konsep tersebut, karena kemudian Pesta Boneka betul-betul menghadirkan puppeteers mancanegara, dan diadakan berkelanjutan selama dua tahun sekali.

Keluarga Papermoon juga mengumpulkan pengetahuan dengan bepergian ke berbagai penjuru dunia. Mereka pernah mengikuti program residensi di kota New York. Selama beberapa bulan, mereka dibiayai untuk hidup dan mengunjungi berbagai museum di sana. “Bentuk pertanggungjawaban kepada penyelenggara residensi cuma laporan tertulis sebanyak dua lembar kertas A4,” kata Ria. “Residensinya luar biasa baik!” Sepulang dari kota New York, Papermoon Puppet Theatre memproduksi lakon Mwathirika, yang terinspirasi kisah orang-orang hilang saat terjadi guncangan kekuasaan di Indonesia. Lakon tersebut berumur panjang, dipentaskan di banyak kota, termasuk Bandung. Entah bagaimana, program residensi yang berkesan ‘longgar’ itu malah memicu kemunculan karya yang menyentuh hati banyak penonton.

Papermoon Puppet Theatre kerap berpartisipasi dalam festival-festival boneka, baik di dalam maupun luar negeri. Namun, tidak semua merupakan pengalaman manis. Pernah mereka berpartisipasi dalam festival yang panitianya menjanjikan berbagai hal besar yang akhirnya kosong. Pada kesempatan yang lain, mereka berangkat ke festival boneka di negara lain dengan biaya sendiri, lalu merasa tidak mengalami hubungan emosional dengan kota, serta para seniman lain. Mereka hanya tampil, lalu istirahat di hotel. Kegiatan yang bisa dilakukan di mana saja. Ada juga festival boneka yang berhasil mendatangkan maestro dari berbagai penjuru dunia, tapi gagal mendatangkan penonton. Dari pengalaman tersebut, mereka mengumpulkan rempah beraneka rasa. Secara bertahap, keluarga Papermoon menulis resep festival boneka yang ingin mereka sajikan.

Menurut Ria, sesungguhnya puppeteers adalah orang-orang yang baik. Mereka menjadi dalang boneka bukan karena ingin kaya. Ketika berpartisipasi dalam sebuah festival, mereka ingin berbagi cerita. Mereka ingin punya hubungan dengan penonton; hubungan dengan tempat yang mereka kunjungi; hubungan dengan sesama puppeteer. Mereka rela mengeluarkan biaya transportasi ke belahan dunia yang jauh dari tempat tinggalnya, selama mereka berkesempatan untuk berbagi dan merasakan berbagai hubungan tersebut. Keluarga Papermoon berupaya memenuhi kebutuhan akomodasi, makanan, berupaya memberi fasilitas di mana para seniman bisa tampil baik, dan berkesempatan merasakan hubungan emosional dengan penonton, tempat, dan sesama seniman.

“Bayangkan saja, ada seorang teman puppeteer dari Islandia yang tahu-tahu menyatakan bahwa dia mau tampil di Pesta Boneka. Kenalnya lewat Facebook. Sebelum tampil, dia menyapa saya di depan penonton, ‘Hello my Facebook friend!’,” kata Ria. Perkawanan dengan para seniman boneka di berbagai penjuru dunia merupakan salah satu bentuk ‘modal sosial’ penyelenggaraan Pesta Boneka. ‘Modal sosial’ yang lain adalah kawan-kawan yang dijumpai dalam perjalanan Papermoon Puppet Theatre, mereka yang lantas menjadi panitia dan relawan yang bersedia membantu semampunya.

Ada juga ‘modal kultural’. Ria mengamati orang-orang Jogja senang sekali merayakan sesuatu, “Bahkan gerobak saja dirayakan.” Berdasarkan pengamatan ini, diputuskanlah bahwa Pesta Boneka juga dirayakan di tengah masyarakat desa. “Ada pementasan yang memiliki kebutuhan teknis tertentu (lighting, sound, dll) yang kami akomodasi dengan menyiapkan ruangnya. Selain itu, ada juga pertunjukan yang dirayakan di tengah-tengah desa. Kami bekerjasama dengan anak-anak muda di Desa Kepek untuk menyelenggarakan Pesta Boneka di sana.”

Selain itu, tentu saja penyelenggaran Pesta Boneka juga membutuhkan ‘modal kapital’. Ria mengaku belum menemukan teknik menulis proposal jitu yang menjamin permohonan funding mereka diterima. Namun, di sisi lain, situasi tersebut membuat Papermoon Puppet Theatre berupaya mandiri. Mereka mengadakan fundrising. Salah satu caranya: mementaskan kembali lakon Secangkir Kopi dari Plaja yang muncul dalam sekuel film Ada Apa dengan Cinta?, dengan harga tiket yang lebih mahal dari pertunjukan mereka yang biasa. Cara lainnya adalah menyediakan paket-paket donasi, di mana para dermawan bisa menyumbang sekaligus menerima cenderamata istimewa. Panitia Pesta Boneka juga bekerjasama dengan festival lain di Yogyakarta, dan berujung pada perolehan dana bersama. Mulai Pesta Boneka #4, mereka juga mulai menarik tiket pertunjukan. “Kami rapat serius sebelum memutuskan menarik tiket. Kami khawatir kalau belum ada penonton bagi kelompok teater yang masih baru,” ujar Ria. Namun kekhawatiran itu sirna, ketika kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa tiketnya sold out.

* *

“Bagaimana cara merawat penonton?” tanya seorang penyimak, saat sesi tanya jawab dibuka. “Seperti merawat Instagram saja,” jawab Ria jenaka. “Jangan cuma posting kalau sedang ada perlunya.” Mereka menghargai kesempatan berinteraksi dengan orang lain, termasuk membalas e-mail yang kerap masuk untuk menanyakan kapan Papermoon Puppet Theatre mengadakan pementasan. “Kebetulan, kami jarang mengadakan pementasan di Indonesia karena berbagai alasan. Pesta Boneka seperti traktiran kami, dua tahun sekali. Kami membangun rasa penasaran. Kami juga berupaya membuat Pesta Boneka jadi festival yang ramah keluarga.”

“Ketika membuat acara, seseorang punya gambaran tentang bagaimana acara itu seharusnya diadakan. Bagaimana menyampaikan gambaran itu kepada orang lain?” tanya penyimak yang lain. Ria menjelaskan, tujuan utama membuat festival yang melibatkan begitu banyak orang adalah untuk berbagi kesenangan. Kepuasan pribadi bukan menjadi prioritasnya. “Kita bisa memenuhi ego pada kesempatan lain, misalnya saat berkarya.”

Pada temu wicara ini, para penonton pun berkesempatan berbagi pengalamannya menyelenggarakan festival. Ada teteh-teteh yang menceritakan pengalamannya membuat festival mendongeng di Bandung. (“Kejutannya adalah hujan besar ketika acara.”) Ada seorang budhe yang membuat kemah penari di Bandung. Dia paham sekali bagaimana ‘modal sosial’ berperan besar dalam terwujudnya sebuah cita-cita. Budhe bercerita pengalamannya menggalang dana melalui situs crowdfunding.

Seorang kakak-kakak menuturkan pengalamannya menyelenggarakan pameran keliling di bidang ilustrasi. “Volunteer yang mendaftar kebanyakan dari latar belakang yang lain, misalnya hukum,” ujarnya. Apa yang mereka kerjakan, punya daya tarik bagi masyarakat yang lebih luas.

 * *

Menyimak pengalaman Ria mengelola Pesta Boneka, saya seolah diizinkan mengintip ke dapur Papermoon; melihat bagaimana sajian kesukaan saya disiapkan. Selama ini, saya senang menonton pentas boneka, karena boneka dapat menceritakan hal sulit dengan cara sederhana. Saya terkesan dengan bagaimana puppeteers meniupkan nyawa pada boneka ciptaannya; dengan mereka yang terinspirasi kisah yang ada di sekitarnya, dan mengajak penonton berpartisipasi memperkaya lakon mereka. Siang itu, di Kineruku, Ria tidak bercerita tentang bagaimana Papermoon Puppet Theatre melakukan hal tersebut, tapi tentang sesuatu yang lebih penting lagi, yaitu:

Resep Keluarga Papermoon Menyelenggarakan Festival:

1. Resep membuat anggaran:
– Buat anggaran realistis. Sesuai kemampuan. (“Jangan berpegang pada standar yang sama. Kalau di masa depan uang yang terkumpul nggak cukup untuk membayar penginapan, ya kami bikin acaranya berkonsep kemah saja.”)
– Punya tim kerja yang ramping.
– Membangun kepercayaan dan kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk penginapan. (“Penginapan adalah biaya yang paling besar.”) “Sebetulnya ini mirip dengan produksi pementasan boneka. Pilih bahan-bahan yang bisa digunakan lagi pada pementasan selanjutnya.”

2. Resep membangun tim kerja:
– Bangun suasana kerja yang nyaman, tanpa paksaan. Orang yang bekerja bersama mereka mesti senang. Percaya bahwa setiap angota tim mampu menjalankan tugasnya dengan baik.
– Berani berbuat salah, dan belajar dari kesalahan. Upgrade kemampuan anggota tim, misalnya dengan mengajak technical director melihat pentas boneka lain yang ada di luar negeri.
– Sedia plan B.

* * *

Andika Budiman, tinggal di Bandung

Tulisan ini pertama kali dimuat di blog pribadi-nya. Dimuat di web Kineruku atas seizin penulis.

Comments (0)

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Subscribe