Mari berkenalan dengan Sonia (Holly Hunter), seorang ‘not mom material‘ yang tak bisa mengobrol dengan pasangannya tanpa mengubah obrolan itu menjadi kompetisi pasif agresif. Lalu ada Samantha (Amanda Seyfried), remaja yang terjepit di antara kedua orang tua yang tak saling berbicara. Kemudian peluklah Camille (Kathy Baker) yang jadi penggerutu menjelang operasi pengangkatan payudaranya. Namun jangan lupa menyapa enam perempuan lain yang juga berjuang seru menghadapi kesehariannya dalam Nine Lives. Walaupun berbeda-beda, tetapi masalah mereka berakar pada sumber yang sama: keinginan untuk terkoneksi dengan orang lain.
Sutradara dan penulis skenario Nine Lives, Rodrigo Garcia, membangun plot film ini dengan membaginya menjadi sembilan segmen yang masing-masing membeberkan cerita seorang karakter secara realistis. Sekilas mirip Berbagi Suami karya Nia Dinata, atau malah film Garcia sebelumnya, Things You Can Tell Just by Looking at Her. Kerennya, setiap segmen Nine Lives bercerita dengan bermodalkan sorotan kamera yang terfokus pada sebuah momen saja tanpa terputus (unbroken scene).
Kelebihan dari konstruksi plot seperti ini adalah peluang masuknya cerita-cerita menjadi maksimal. Kekurangannya, mata dan pantat penonton mudah kelelahan. Konsentrasi yang dibutuhkan untuk menonton sebuah film panjang berdurasi satu setengah jam tentu berbeda dengan menonton sembilan film pendek dengan durasi yang sama. Penonton juga harus siap menghadapi kemunculan karakter dari segmen sebelumnya yang terkadang pas, tetapi terkadang juga kurang pas.
Beruntung Nine Lives didukung para aktris watak yang hampir semuanya menjadi penerang setiap segmen. Amy Brenneman mungkin kurang meyakinkan, tetapi Robin Wright Penn tampil menggugah sebagai seorang wanita hamil tua yang berjumpa dengan kekasih lamanya di supermarket terdekat. Begitu pula Glenn Close dan Dakota Fanning yang asyik bercengkerama dalam sebuah piknik yang bisa jadi tidak nyata, tergantung apa definisi nyata tentu saja.
Dari segi tema, Rodrigo Garcia tetap konsisten dengan yang diangkatnya sejak film terdahulu. Putra peraih Nobel Sastra Gabriel Garcia Marquez ini mengukuhkan citranya sebagai laki-laki feminis dengan tetap menyinggung masalah interaksi antar manusia melalui karakter-karakter perempuan. Ini justru pilihan ‘jantan’ (baca: berani) karena membuat film-filmnya menjadi segmented. Bayangkan saja, Things You Can Tell Just by Looking at Her akhirnya hanya diputar di televisi setelah menyabet Prix Un Certain Regard dari Festival Film Cannes! Prix Un Certain Regard adalah penghargaan untuk bakat-bakat baru yang menyuguhkan orisinalitas.
Sembilan segmen, sembilan kehidupan, dan sebuah idealisme sutradara menguatkan alasan untuk tidak melewatkan film ini. Besar kemungkinan penonton, baik laki-laki maupun perempuan, akan memilih karakter favorit yang dirasanya paling dekat dan memikirkan pendapat Rodrigo Garcia: membuat koneksi dengan orang lain, sebagaimana membuat koneksi dengan diri sendiri, merupakan perjuangan yang dilakukan setiap hari tiada henti. [Andika Budiman]
Newer
British Council/Kickfest's Guest Visit
Older
<b>The Velvet Underground and Nico</b> | The Banana Album, 1967
Comment (1)
Film bagus yg mengingatkan sy akan Paris J’taime (Paris I love you) & New York I love you. semua segment nya berkesan skali.
Adapun segment favoritku yg kebetulan kedua duanya memiliki twist di akhir yg tak terduga adalah :
Diana – wanita hamil yang berjumpa dengan kekasih lamanya di supermarket
dan Lorna – yg bertemu dgn mantan suaminya di upacara pemakaman istri kedua mantan suami nya tsb.
Buat Andika, Thank you u/ review nya!