Apakah evolusi alam semesta mengarah pada keteraturan (order), atau justru sebaliknya, ketidakteraturan (chaos)? Perkara dua pertanyaan tersebut selalu menjadi tegangan di antara para peneliti. Dalam film ? (Pi), tegangan itu juga dialami peneliti matematika yang mengidap paranoid, Maximillian Cohen (diperankan sangat cemerlang oleh Sean Gullete). Saking paranoidnya dengan angka-angka dan perhitungan, Max selalu dapat menghitung cepat tanpa bantuan alat. Berapa 322 dikali 491? Langsung: 158.102! Berapa 73 dibagi 22? Segera: 3.181818181…! Dan segala macam perhitungan itu mampu ia bereskan hanya dalam waktu.. 3 detik! Jadilah kemampuan itu semacam kutukan baginya. Apapun selalu dipikirkannya—dihitung, dicatat, dicari pola-pola di balik semuanya: termasuk proporsi organ manusia, rimbunnya dedaunan, rumah keong, hingga lekuk-lekuk asap rokok. Kebiasaan ganjilnya itu muncul karena ia percaya satu hal: bahwa di belakang semua fenomena alam semesta ini, pastilah bersembunyi pola yang mengaturnya, pola yang bisa dicari melalui angka.
Pertanyaan-pertanyaan yang menyesaki benaknya makin berpacu ketika Max mendengar cerita dari Sol Robeson, seorang pria tua pensiunan peneliti matematika sekaligus mentornya, tentang misteri di balik rumus Pi (alias ?, 22/7 atau 3,14) dalam lingkaran. Rasa penasaran Max berujung pada pertanyaan praktis: jika alam semesta memiliki pola, bisa jadi pasar saham pun memiliki pola. Mungkin berpola rumus Pythagoras, Archimedes, deret Fibonacci, golden ratio, atau malah pola temuannya sendiri. Dalam perjalanannya, Max mulai menyadari betapa pola-pola itu bisa berarti banyak bagi beberapa pihak. Kaum Hasidim alias penganut Yahudi Ortodoks butuh menemukan sebutan bagi Tuhan (yakni menggunakan Torah, urutan angka yang dipercaya sebagai kode dari-Nya), sementara para agen berdasi dari sebuah firma lebih mengincarnya demi kepentingan ekonomi. Sol Robeson sendiri malah menyarankan sebaliknya: lupakan angka-angka tersebut! Tak ada kebenaran dalam perhitungan. Semua hanyalah kekosongan, jadi untuk apa dihitung? Cukup rasakan saja, demikian menurut Sol.
Ketika Max gundah mencerna apa yang sebenarnya terjadi, perempuan di sebelah kamarnya selalu ingin menolong. Berkebalikan dengannya, yang selalu berkutat di depan komputer tanpa pernah ingin bersosialisasi, perempuan itu justru sangat menikmati hidupnya dengan kenikmatan indrawi yang berasal dari hubungan seks. Keadaan semakin rumit dan kacau. Tak hanya diincar dan diburu banyak pihak, ia pun harus dikejar-kejar oleh pikirannya sendiri. Untuk menghindari kejaran agen berdasi dan kaum Hasidim, Max bisa terus berlari. Namun demi menghindari pikiran-pikiran jenius dan paranoidnya, Max justru merasa harus menghancurkan otaknya sendiri. Dan semua digambarkan dengan pameran visual yang resah dan editing yang memukau.
Mungkin sudah menjadi suratan takdir bagi seorang penemu, di mana gagasan yang muncul darinya seringkali menghadapi benturan; sebagaimana sejarah telah mencatat pemikiran-pemikiran Leonardo da Vinci dan Galileo yang ditentang pihak gereja. Sementara di film ini, gagasan brilian nan absurd Max Cohen mendapati benturan dari dirinya sendiri, juga pihak-pihak yang menginginkan isi kepalanya. Benturan-benturan inilah yang pada akhirnya menguji mana yang lebih kuat: ketajaman gagasan, atau keteguhan hati.
Menonton film Pi ibarat masuk ke dalam keriuhan isi kepala Max Cohen: demikian cepat, demikian gelisah, tak berdaya dan sendirian. Didukung visual hitam-putih, musik psychedelic, alur cepat dan pergantian scene yang tiba-tiba, editing yang menyentak-nyentak, adegan-adegan metaforis di film ini menjadi semakin mencekam. Bisa jadi sutradara Darrren Aronofsky memang ingin menghadirkan tokoh-tokoh metaforis sebagai representasi cara pandang dari masa-masa tertentu. Max Cohen mewakili sudut pandang cartesian, seperti pada masa renaisans yang selalu percaya pada apa yang bisa dipikir secara logis. Kaum Hasidim adalah gambaran sudut pandang relijius, seperti masa-masa awal Masehi yang meyakini satu kebenaran wahyu. Para agen berdasi adalah perwakilan fungsionalisme, seperti pada masa modern yang percaya aspek-aspek kegunaan, khususnya komoditas. Sementara sosok tua seperti Sol menunjukkan falsafah sederhana seperti era primodial, yang percaya pada kebijaksaan pragmatis. Sedangkan perempuan di sebelah kamar lebih pada perayaan kenikmatan sebagai pemenuhan hasrat, seperti pada masa postmodern atau justru pada masa prasejarah.
Dengan keragaman sudut pandang tersebut, pikiran penonton dibetot pada berbagai kemungkinan cara pandang. Bertanya-tanya manakah yang lebih benar bisa jadi melintasi benak setiap penonton yang mau berpikir, meski semua itu tak sepenuhnya bisa ditemukan dan dibenarkan. Pertanyaan sederhana yang selalu muncul pada setiap era adalah: apakah kebenaran dapat dicari, atau hanya dapat didekati saja? Atau bahkan lebih mendasar lagi: apakah memang harus dicari?
[Andreas Anex]
Kineruku juga mengoleksi film-film karya Darren Aronofsky lainnya, yaitu: Black Swan / Requiem For A Dream / The Wrestler / The Fountain. Selengkapnya klik di sini.
Newer
Kineruku Screening: <b>3 Short Films</b> by <b>Add Word Productions</b>
Older
<b>Species of Spaces and Other Pieces</b> | Georges Perec, 1974
Comment (1)
Phi, between math and numerology!