Saya kaget. Komunitas Salihara dua kali mengirim esai tentang buku puisi Jantung Lebah Ratu (Nirwan Dewanto, 2008) sebelum dan sesudah acara diskusi buku tersebut pada Senin, 19 Oktober 2009. Esai tersebut masing-masing “Aku dan Sebuah Rumah Berpintu Terbuka” (Zen Hae, 14 hal.) dan “Ikhtiar Melampaui Rezim Indrawi, Menghadirkan yang Tak Terungkap Bahasa” (Bagus Takwin, 13 hal.) Karena tinggal di Bandung, saya sulit datang ke acara itu, sebab bila hadir kemungkinan saya bisa mendapat komentar dan wawasan lain, terutama dari moderator dan para peserta.
Rupanya Komunitas Salihara menganggap saya mendalami sastra dan “menunjukkan minat terhadap buku puisi Nirwan Dewanto,” jadi pantas menerima esai tersebut. Saya bilang kejadian ini ke seorang teman, namun dia malah meledek. “Wah, kamu dianggap penggemar puisi Nirwan Dewanto tuh!”
Berminat! Sejujurnya buku itu sudah agak lama saya selipkan di jajaran rak buku paling atas, setelah terang-terang bilang betapa sulit saya memahami isinya. Jantung Lebah Ratu merupakan buku puisi paling jahanam yang pernah saya baca. Dua esai itu bermanfaat bagi pembacaan dan pemahaman lebih lanjut. Efeknya jelas: saya jadi membaca-baca lagi arsip komentar sejumlah orang tentang Jantung Lebah Ratu.
Pertama ialah resensi Acep Iwan Saidi di Kompas Minggu, 14 Desember 2008, yang langsung disambar oleh Saut Situmorang sebagai pseudo-analisis. Menurut saya, Acep bisa melihat sisi lain sebuah buku puisi yang gagal saya nikmati, meskipun dia pun cukup kepayahan melakukannya, misal dengan bertanya retoris: “Kapankah pembaca seperti saya bisa memahami hamparan estetika tersebut?” Soalnya dia kuatir bahwa puisi Nirwan menunjukkan gejala skizofrenik. Acep jelas lebih “menunjukkan minat” terhadap puisi Nirwan.
Resensi Acep memancarkan kesan positif terhadap Jantung Lebah Ratu, bahwa puisi-puisi di sana menawarkan sesuatu yang mengejutkan, bahkan meskipun itu skizofrenik. Diskusi itu mengingatkan saya pada perdebatan tentang “puisi gelap” bertahun-tahun lalu; dulu kritikus seperti Saini K.M. bisa menjelaskan seperti apa “puisi gelap” yang berhasil dan mana yang gagal. Penyair bisa sama-sama menggunakan kata “cacing” atau “tuhan” baik untuk hal yang suci dan profan. Bagaimana membuktikan atau menganalisisnya? Orang seperti Saut Situmorang ahlinya. Komentar yang berani dan jujur bisa mengembalikan opini kepada publik, seperti apa sebenarnya sebuah puisi itu.
Bareng dengan pengakuan, pujian, dan keberhasilan atas puisi karya Nirwan, kesan menonjol dari para komentator ialah mereka rupanya perlu mati-matian dulu untuk bisa menikmati karyanya. Usaha itu sungguh luar biasa bila dibandingkan dengan tudingan Saut Situmorang terhadap Acep: “Andai nama penulisnya bukan ‘Nirwan Dewanto,’ apa Anda akan membuat pleidoi seperti ini, bukan langsung mengatakan puisi itu gagal?”
Saya juga menduga bahwa para pembaca awal Jantung Lebah Ratu mengalami kesulitan serupa, namun beruntung mereka akhirnya sukses. Boleh jadi karena mereka punya alat pemahaman maupun wawasan lebih luas, dengan begitu bisa lega berkomentar setelah menemukan kesulitan. Enin Supriyanto awalnya bahkan mengaku susut nyali setiap kali menemui “puisi bebas” sejenis karya Nirwan Dewanto. Namun dia mengaku kekhawatirannya terbayar tuntas.
Pembacaan Bagus Takwin dan Zen Hae juga terasa berat. Untuk meyakinkan bahwa puisi Nirwan Dewanto hebat, masing-masing meminjam pendekatan Alain Badiou dan Umberto Eco. Cara itu malah mengingatkan saya pada komentar Saut Situmorang, yaitu “Nirwan Dewanto memilih mana yang kira-kira akan membuat pembacanya tahu kalau dia baru saja habis baca sajak-sajak orang lain.” Di Jantung Lebah Ratu, Nirwan memang menggunakan, mengutip, dan memiuhkan sejumlah kata, frasa, atau baris dari puisi, prosa-puisi, cerita pendek, dan lirik lagu yang sudah ada–misalnya dari karya Hiroshi Sekine, Wallace Stevens, Juan José Arreola, Umar Kayam, juga Ismail Marzuki dan Sukamto.
Bagus Takwin berkomentar, “Nirwan Dewanto berani mengambil risiko untuk tak dipahami oleh cara pikir lama, siap untuk tak disapa oleh dunia lama karena mendeklarasikan pikirannya dan bukan berkomunikasi lewat puisi.” Zen Hae menilai: masalah pemaknaan puisi-puisi Nirwan bukan melulu disebabkan oleh kondisi intertekstual. Dalam beberapa kasus itu lebih disebabkan oleh jaringan kalimat yang membangun mereka. Meski masih ada alas cerita di sana, mereka membangun satuan-satuan ujaran itu dalam alinea yang cukup panjang dengan fokus ujaran yang terus berpindah dari satu detail satu ke detail lainnya. Bahkan ketika detail itu terasa belum selesai. Mereka memakai bukan hanya kalimat tunggal, tapi kalimat majemuk dengan hubungan sebab-akibat yang cukup menguras keringat. Belum lagi ketika di dalamnya tampil permainan citra yang terasa sangat ajaib, bahkan ganjil, dan alusi yang menjangkau berbagai khazanah sastra dan pengetahuan umum. Gerombolan kata yang mesti diburu hingga ke dalam kamus dan ensiklopedi. Semacam rentetan “monolog interior” yang membuat pembaca awam cukup kerepotan menyingkapkan makna yang tersembunyi di dalamnya.
Sayalah salah satu pembaca awam itu.
Rendahnya keterbacaan pada puisi Nirwan Dewanto membuat saya jadi tersudut. “Kalau kamu alergi terhadap karya sulit, aku takut kamu hanya ingin agar penulis menghasilkan karya yang gampang-gampang saja untuk dicerna,” demikian kata seorang teman. Pendapat ini masuk akal. Soalnya saya kerap bilang bahwa salah satu tugas utama penulis ialah mengeksplorasi bahasa sehebat-hebatnya. Bisa jadi, itulah yang Nirwan lakukan dengan tingkat kesulitan tinggi. Mestinya saya bahagia karena menemukan karya yang pantas dibedah menggunakan seluruh daya upaya.
Pada dasarnya yang paling saya sukai dari teks sastra ialah keterbacaan: merangsang imajinasi, mudah dibaca dan dipahami. Penulis mau menyampaikan apa? Apa pesan itu sampai dengan baik? Bentuk tidak jadi masalah. Lepas dari eksplorasi gila-gilaan, yang menonjol di buku puisi itu ialah kepandaian Nirwan Dewanto menemukan kata susah dan asing, dengan idiom-idiom aneh, misalnya ‘temurui’, ‘campuhan’, ‘zuhrah’, ‘bubu’. Perhatikan tiga frasa yang membagi himpunan puisi ini, yaitu Biru Kidal, Kuning Silam, dan Merah Suam—butuh imajinasi lebih dari liar untuk bisa membayangkan, merasa, dan merabai apa makna tersiratnya. Nirwan Dewanto tidak menulis puisi gelap dan bentuk puisinya pun biasa saja. Tapi entah bagaimana dia bisa begitu rapat menyimpan rahasia, lantas berpesan pada pembaca agar giat dan berani menelusuri makna. Amanatnya:
Puisiku hijau
seperti kulit limau.
Kupas-kupaslah
…
Puisiku putih kabur
seperti cangkang telur.
Pecahkanlah, pecahkanlah
(Semu, hal. 20-21)
Setelah mengambil lagi Jantung Lebah Ratu, saya jadi lebih peka terhadap isinya. Misal di bagian Kuning Silam, banyak berisi puisi yang mengacu pada persetubuhan. Pas kebetulan, seorang kawan dari Hungaria mengajak saya bicara soal pembacaan teks sastra. Kembali saya mengungkit teks Nirwan Dewanto sebagai contoh. Saya bilang padanya bahwa Jantung Lebah Ratu merupakan contoh karya yang elitis dan sombong. Meski ujung-ujungnya saya bertanya, “Apa kamu tertarik Jantung Lebah Ratu? Kalau mau bisa aku kirim segera ke sana.” Saya penasaran apa bisa mencelampakkan buku puisi itu ke suatu sudut di negeri Balkan.
*
Anwar Holid gagal meresensi Jantung Lebah Ratu di media cetak, lalu mengirimkan ke kami dan dimuat setahun yang lalu. Bekerja sebagai editor dan penulis, blogger di http://halamanganjil.blogspot.com.
Jantung Lebah Ratu (Himpunan Puisi)
Penulis: Nirwan Dewanto
Penerbit: GPU, 2008
Tebal: 94 hal.
ISBN: 978-979-22-3666-8
Selain Jantung Lebah Ratu (2008), Kineruku juga mengoleksi buku Nirwan Dewanto lainnya, yakni Senjakala Kebudayaan (1996).