Please select a page for the Contact Slideout in Theme Options > Header Options

Apakah Cinta Sebuah Seni?

Apakah Cinta Sebuah Seni?
28/08/2010

Dulu saya selalu berpikir bahwa untuk membuat sebuah karya sastra yang hebat harus selalu dibangun melalui pengalaman yang otentik. Maksudnya begini. Saya percaya bahwa maha-karya tetralogi Bumi Manusia karangan Pramoedya Ananta Toer tentu tak dibangun “hanya” melalui sebentuk proses kontemplatif Pram semata. Tapi pengalaman ia semasa menjadi tahanan politik di Pulau Buru tentu berpengaruh besar lahirnya maha-karya tersebut. Atau contoh lainnya karya Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata yang memang dibangun dari pengalaman hidup yang panjang.

Lantas saya selalu berpikir ketika dulu saya banyak menolak untuk menulis novel bertema cinta karena nyatanya pengalaman cinta saya yang memang biasa saja. Tak pernah mengalami kesedihan yang tragis atau bahagia kepalang mengawang-awang. Saya tahu bahwa pernyataan saya tersebut memang semata sebuah eskapis. Karena nyatanya, banyak proses kreatif seniman atau penulis yang lahir tak semata melalui sebentuk, mengutip teori komunikasi, Field of Experience. Tapi itu dia, menurut saya pengalamanlah yang membuat manusia sadar akan eksistensinya.

Berbicara soal pengalaman cinta, sebenarnya saya banyak memperoleh cerita-cerita soal pengalaman cinta yang menarik dari banyak teman-teman saya. Ada yang berpacaran selama delapan tahun dan ditinggal begitu saja bak permen karet di bawah bangku, ada kawan perempuan saya di Jakarta yang menangis di pundak saya ketika ditinggal nikah meski ia telah memberikan segalanya, ada juga seorang kawan kantor yang extravaganza dengan para perempuan lain meski ia sudah memiliki pasangan hidup,ataupun kawan sekampus yang terlibat masalah cinta beda agama dan keukeuh mempertahankannya. Bagi mereka kisah cinta mereka adalah sesuatu yang memiliki kesan mendalam. Namun bagi saya, semua cerita itu hanya berbekas menjadi simpati. Tak lebih.

Suatu waktu, seorang kawan memberikan sebuah rekomendasi bacaan buat saya. Bukunya berjudul The Art of Loving karangan dari Erich Fromm. Saya sempat skeptis dengan judul tersebut. Bukannya apa-apa, memang terdengar cheesy dan sok romantis-romantisan. Apalagi saya ini bukanlah orang yang terlalu obsesif kalau bicara soal cinta yang rela jatuh bangun untuk mengejar pasangan atau membina suatu hubungan. Akhir kata, baru sekitar beberapa bulan lalu saya mendapatkan buku tersebut di perpustakaan Rumah Buku/Kineruku.

Nama Erich Fromm bukanlah nama asing bagi saya. Beberapa karya tulisnya banyak saya pelajari di bidang studi Psikologi Komunikasi yang saya pelajari di bangku kuliah dulu. Erich Fromm sendiri adalah seorang penganut psikoanalisis dan seorang filsuf-sosial dan salah satu penganut Mazhab Frankfurt, sebuah Mazhab yang sedang saya pelajari untuk tema skripsi saya dengan tetek bengek industri budayanya. Saya pikir pada awalnya buku ini hanya semacam “How To” atau semacam kiat mendapatkan pasangan hidup, namun nyatanya buku ini adalah gaya sinis khas Erich Fromm—yang banyak mencermati fenomena masyarakat kontemporer saat ini—mengenai hubungan percintaan.

Seperti halnya tulisan-tulisannya yang mencermati kondisi masyarakat kontemporer, bagi Fromm, cinta juga tak pernah lepas dari tuntutan perkembangan zaman. Pada zaman pertengahan, konsep cinta mengarah ke dalam bentuk yang spiritual. Di zaman Victorian cinta ditentukan oleh norma sosial dan aturan-aturan feodal. Atau pada tahun 1920-an, seorang gadis perokok dan peminum, ulet serta seksi dipandang menarik. Pada pertengahan abad 20, apa yang dianggap menarik mengalami perubahan. Sifat-sifat seperti senang tinggal dirumah justru pemalu yang dianggap anggun dan mengesankan. Di akhir abad ke-19 laki-laki yang memiliki karakter agresif dan ambisius adalah yang paling banyak dicari. Sementara sekarang, laki-laki yang memiliki watak sosial dan toleran adalah dambaan para wanita. Intinya, perasaan jatuh cinta biasanya berkembang karena adanya komoditas-komoditas yang bisa dipertukarkan.

Secara lebih meyakinkan Fromm memberikan sebuah hipotesis bahwa masyarakat kontemporer yang hidup di zaman kapitalis, secara sadar-tidak sadar menempatkan cinta sebagai objek dan sikap narsistik. Inilah yang membuat cinta tak lagi dipandang sebuah konsep art, seni, atau nilai. Ia menjadi benda komoditas yang dipertukarkan. Maksudnya begini. Menurut Fromm, orang-orang sekarang ini hanya ingin dicintai, bukan mencintai. Untuk mencapai itu, segala cara dilakukan. Bagi para wanita, untuk dicintai mereka rela untuk berdandan cantik, bergaya sopan, bertutur kata lembut, hingga menghabiskan jutaan rupiah untuk perawatan diri. Para pria pun sama saja. Mereka rela berdandan perlente, bertutur manis ke pasangan, bersikap lembut, ambisius, dan materialistis. Hal itu dilakukan dengan harapan agar sang pria mendapatkan hak dicintai dari pasangan wanitanya.

Hal tersebut memang sah-sah saja dilakukan. Siapa sih yang tidak ingin dicintai? Namun, masyarakat kapitalis dewasa ini yang percaya dengan sugesti media massa dan persuasif periklanan, seperti ciri khas kemewahan kapitalisme, yang selalu menawarkan sesuatu yang indah dan utopis tentang masa depan yang lebih baik. Maka manakala hak dicintainya sudah tak bisa didapatkan, harapan-harapan indah mengenai masa depan percintaan akan segera runtuh. Mimpi-mimpi indah yang dibangun, surga dunia yang hadir, akan menjadi sebuah utopia ketika semua itu kandas tak berbekas.

Seni mencintai juga tertahan karena sifat narsistik manusia itu sendiri. Dewasa ini, orang-orang selalu memberikan kategori untuk pasangannya. Contohnya, kawan perempuan saya yang dengan tegas selalu memberikan kategori-kategori soal pria yang diidamkannya yang bersifat ambisius, penyayang, arogan, berwajah tampan, dan tetek bengek lainnya. Sebenarnya sifat-sifat itu tak lain adalah sifat narsistik atau self-loving dari individu tersebut. Ia tak bisa benar-benar lepas dari kepribadiannya karena cerminan pasangan yang diidamkannya adalah cerminan dari rasa suka terhadap dirinya sendiri. Ia membatasi cinta berkembang dengan alamiah dan sendirinya karena pengkategori-kategorian. Inilah yang kemudian bahwa cinta tak lebih dari sekedar “Pasar Kepribadian” yang menuntut adanya hal-hal yang bisa dipertukarkan. Cinta menjadi transaksi jual-beli kepribadian. Semua orang masuk ke dalam pasar kepribadian tersebut dan membeli yang sesuai idamannya. Maka tak aneh jika Thom Yorke bernyanyi lirih, “if i could be who you wanted… all the time.” Pasar kepribadian telah menjadi tujuan.

Dalam hubungannya antara cinta dengan zeitgeist (“semangat zaman”) maka tak aneh jika cinta selalu menjadi komoditas di era kapitalisme mutakhir ini. Film, karya sastra, musik, drama televisi, hingga produk kecantikan yang menawarkan romantisme tersendiri mengenai cinta. Dengan sinisnya Fromm mengajukan sebuah persoalan bahwa manusia telah mengalami disintegrasinya soal cinta, dan hanya soal seni mencintai-lah yang menjadi jawaban akan eksistensi manusia yang mempersoalkan disiplin, tanggung jawab, dan kesabaran.

Tentu saja seni mencintai bagi saya bukan berarti cinta naïf dan tulus setengah mati ala Rama dan Sinta atau mesti piawai membuat lagu atau puisi, candle light dinner, atau perhatian yang bersahaja. Akan tetapi, menikmati proses kehidupan ketika sedang mencintai. Tragis atau bahagia. Saya termenung, ketika kehidupan percintaan saya yang kurang obsesif, biasa saja, antara serius-kurang serius karena boleh jadi saya adalah penganut sebuah kelompok yang oleh profesor sastra Eric Wilson dinamakan Ironic-Romantics, yang menganggap bahwa cinta adalah omong kosong yang kita idam-idamkan dan memiliki prinsip, “The person who is ironic in this way ultimately takes life seriously and not seriously at the same time.”

Kembali ke pertanyaan awal, apakah cinta sebuah seni?

Ya, jika Anda membangunnya bak seniman menikmati proses berkaryanya, meski kemudian karya itu berakhir tragis ataupun indah. Dan kebalikan dari rasa seni, art opposite with commodity, cinta menjadi komoditas ketika Anda berharap karya Anda menjadi ladang transaksi jual-beli. Ketika sudah mencintai dan berharap sebuah seks gratis. Cinta, sebagai bagian dari dunia, secara alamiah ditakdirkan untuk tidak cantik dan tidak pasti seperti halnya kehidupan dan kosmos yang serba tak menentu (unpredictable), rumit (complicated), buram (blurred), dan tidak berpola (messy).

Selamat mencintai.

[Idhar Resmadi]

The Art of  Loving
(edisi terjemahan Indonesia)
Erich Fromm
Fresh Book, 2004
218 halaman

Selain The Art of Loving, Rumah Buku/Kineruku juga mengoleksi buku-buku karya Erich Fromm lainnya, yakni: Akar Kekerasan dan Cinta, Seksualitas dan Matriarki. Selengkapnya klik di sini.

Comments (0)

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Subscribe