Menjelang dimulainya acara, Ari Rusyadi mewakili teman-temannya menyapa pengunjung, “Kalau boring, garing, yah paling nggak filmnya pendek.”
“Tapi ada tujuh, ya?” canda Budi Warsito.
“Iya.”
* * *
Adalah hal yang lumrah jika Bandung menjadi pilihan orang-orang Jakarta untuk menghabiskan waktu di akhir pekan. Biasanya masing-masing sudah punya distro, factory outlet, atau warung batagor favorit. Namun kali ini tujuan sebagian dari mereka rupanya bukan untuk berbelanja pakaian maupun menikmati aneka macam jajanan. Sabtu malam (10/10), mobil-mobil berplat nomor B berderet rapi di area parkir Rumah Buku/Kineruku, tempat berlangsungnya pemutaran Film-Film Kursi Panas yang merupakan film-film pendek tugas akhir Institut Kesenian Jakarta (IKJ) 2008-2009.
Sekelompok warga IKJ inilah bagian spesial dari acara Kineruku Special Screening. Kehadiran mereka di Hegarmanah 52 menjanjikan diskusi yang menarik setelah pemutaran film. Film-film Kursi Panas terdiri dari tujuh film pendek dengan durasi mulai dari delapan menit sampai dua puluh tiga menit. Film-film ini termasuk salah satu syarat kelulusan di Fakultas Film dan Televisi IKJ. Para filmmaker muda ini telah merasakan duduk di ‘kursi panas’ di mana mereka membela film produksinya, mempertanggungjawabkan kesesuaian antara rencana praproduksi dengan eksekusi akhirnya.
Sembari menunggu persiapan pemutaran film, Ariani Darmawan gencar menawarkan menu andalan Rumah Buku. “Mas Erik mau pesan Nasi Ijo? Enak lho. Kayak nasi goreng, tapi pake daun jeruk, kacang, ikan asin…” bujuknya dengan meyakinkan. Walhasil yang terpikat dan penasaran tidak hanya si Mas Erik saja. Pengunjung lain yang tadinya tidak pesan makanan jadi pesan Nasi Ijo, yang sudah pesan makanan lain jadi berganti memesan Nasi Ijo, bahkan yang baru menghabiskan makanan lain pun ikut-ikutan memesan Nasi Ijo.
Acara dimulai kurang lebih pukul tujuh. Seiring dengan bergulirnya gambar di layar, ternyata semakin banyak pula penonton yang berdatangan. Teras dan halaman belakang menjadi penuh diduduki sekitar 70 orang lebih. Ketujuh film pendek ini memiliki gaya masing-masing, mulai dari B-movie dalam The First Nation on Mars, Pabrik Dodol yang dokumenter, Kabar Gembira mewakili road movie, sampai Nemesis yang berkesan noir. Tema yang diusung juga bervariasi. Ada This Is Bullshit yang dengan jenaka membahas Tuhan, CINtA tentang hubungan cinta yang terhalang perbedaan SARA dan trauma yang ditimbulkannya, hingga Sabotase yang mengangkat kehidupan sebagian warga Jakarta yang terus dirongrong ancaman penggusuran. Film-Film Kursi Panas ini pas: durasinya tidak terlalu lama, jumlah filmnya cocok, serta gaya dan temanya bermacam-macam. Semakin ke belakang tepuk tangan penonton semakin meriah dan tulus. Kenyataannya, meskipun pendek film-film ini tidak garing apalagi boring. Sebetulnya Ari Rusyadi tak perlu membuat alasan seperti yang dilakukannya menjelang pemutaran.
Acara pun dilanjutkan dengan diskusi antara penonton dan para pembuat film, dengan Ariani Darmawan sebagai moderator. Dosen pembimbing, ide cerita, dan anggaran produksi merupakan persoalan yang paling sering ditanyakan. Apalagi keluhan mahasiswa IKJ yang sering terdengar pada masa tugas akhir adalah betapa sulitnya menemui dosen pembimbing. Ditanyai tentang seberapa jauh kewenangan dosen dalam membimbing dan mengubah film karya mahasiswanya, sutradara Kabar Gembira Nicholas Yudifar lantas menanggapi, “Dosen pembimbing memberikan saran atau option. Keputusan diambil sepenuhnya oleh mahasiswa.”
“Lalu apa yang mesti dilakukan apabila mahasiswa berbeda pemikiran dengan dosen pembimbingnya?” tanya seorang pengunjung. “Bukankah masing-masing berpikiran bahwa ideologinya adalah yang paling benar?” Sutradara Pabrik Dodol Ari Rusyadi mengaku telah dua kali ganti dosen pembimbing. “Awalnya pembimbing saya nggak percaya bahwa dokumenter tanpa dialog seperti Pabrik Dodol bakalan bisa menyampaikan pesannya.”
Dengan gayanya yang blak-blakan, Heytuta Mahsjur yang turut menjadi editor di film The First Nation On Mars lalu menambahkan, “Pokoknya jangan sampai salah memilih pembimbing. Kadang-kadang mahasiswa mau cari aman memilih pembimbing yang gampang ketemunya di kampus. Padahal belum tentu juga itu bakal membantu kita. Cerita Mars sebetulnya lebih ekstrim dari yang ini, cuma banyak yang dilarang sama dosen pembimbingnya. Malah dosennya menyarankan film ini ditutup dengan adegan penulis tua yang sedang mengarang-ngarang cerita!” Kontan saja penonton bergidik setelah mendengarkan cerita Heytuta.
Tentang ide cerita, jawaban dari para pembuat film bermacam-macam. Ada yang mendapat ide dari sesuatu yang sifatnya personal, ada yang mesti berkompromi dengan teman-teman yang lain, dan ada juga Heytuta Mahsjur yang membuat This Is Bullshit berdasarkan skenario film dari blog teman yang kemudian dia rombak.
Bagi Ari Rusyadi tinggal di Garut dari kecil sampai kelas 3 SMP, pabrik dodol merupakan tempat ia biasa bermain. Sempat kesulitan mendapatkan ide untuk tugas akhirnya, kepulangan Ari ke Garut menginspirasinya untuk membuat film tentang makanan khas daerahnya sekaligus favoritnya itu. Hasilnya adalah Pabrik Dodol, sebuah film dokumenter unik yang menangkap harmoni antara pabrik dodol tradisional dengan pabrik dodol modern.
Pengalaman personal Hadrah Daeng Ratu juga memberinya ide untuk membuat Sabotase. “Rumah gue pernah digusur untuk pelebaran jalan. Ayah sempat mengurus ke LBH. Sempat ada teror, kebakaran kecil. Sampai akhirnya ketahuan bahwa itu ulah ketua RT yang dikasih uang untuk menghasut warga supaya pindah,” tutur Hadrah. Perempuan itu melanjutkan, pada akhirnya pun semua masih simpang siur, karena ada warga yang sudah mendapatkan ganti rugi sementara ada juga warga yang belum menerima apa-apa.
Ditanya mengenai alasannya membuat Nemesis, William Chandra menyatakan pandangannya, “Kita tidak bisa percaya bahwa hukum mampu memberikan keadilan.” Karakter yang berwajah Ambon dipilih karena keinginan memunculkan wajah-wajah yang biasanya terpinggirkan.
Penata kamera film CINtA, Gandang Warah, bercerita bahwa inspirasinya datang dari kesenangannya pergi ke Pasar Baru untuk membeli film. Ia melihat tempat tersebut memiliki arsitektur yang bagus dan merupakan titik temu dari berbagai macam kebudayaan. Belakangan Gandang mengalami hubungan cinta berbeda agama yang semakin mendorongnya untuk membuat film tentang perbedaan budaya. CINtA adalah hasil komprominya dengan sutradara Steven Facius. Sementara itu, Nicholas Yudifar menyebutkan Kabar Gembira merupakan perpaduan obsesinya dengan obsesi penata artistik. Penata artistik terobsesi membuat film dengan ambulans, dan Nicholas terobsesi membuat road movie. Jadilah Kabar Gembira di mana perjalanan karakter-karakternya dilakukan dengan mobil jenazah!
[Andika Budiman, melaporkan dari Rumah Buku/Kineruku, Bandung]
Trivia tentang “Film-film Kursi Panas”:
* Pemeran astronot Amerika Serikat dalam film The First Nation On Mars merupakan Atase Budaya Kedutaan Besar Perancis. Sementara itu produsernya, Perdana Batangtaris, pernah berakting sebagai anak Ayu Azhari dan Cok Simbara pada sinetron Noktah Merah Perkawinan.
* Anggaran film Kabar Gembira membengkak sampai dua kali lipat karena naiknya harga premium (waktu itu) hingga Rp 6.000/liter.
* Selain bermain sebagai anak Djenar Maesa Ayu di film CINtA, Titi Sjuman juga menjadi penata musik untuk film tersebut.
* Di antara ketujuh film pendek tersebut, anggaran terbesar untuk satu film adalah tujuh puluh lima juta rupiah. Sementara anggaran terkecil adalah tujuh setengah juta rupiah.
* Perlu menyewa dua mobil untuk membuat adegan penutup film This Is Bullshit.
* Scoring yang digunakan dalam tujuh film ini kesemuanya legal.
* * *
Newer
Just Arrived! <br><b>October - November 2009.</b>
Older
<b>Perahu Kertas Dee: <br>Katakanlah Sejujurnya</b>
Comments (3)
makasi Ariani, Budi, dan seluruh penghuni Kineruku…
pengen segera mampir ke situ lagi deh..selamat untuk acara ini ! maaf saya tidak bisa hadir, selaku sutradara film CINtA.. thx for all..
Pingbacks
- Author
[…] dan Ariani), Babi Buta yang Ingin Terbang-nya Edwin, dan lain-lain. Pernah juga muter kompilasi film-film pendek tugas akhir mahasiswa IKJ. Waktu itu penonton bisa sampai 70-an orang karena kami pasang layar tancep di taman […]