Ketidaktahuan, bagi beberapa orang, merupakan momok menakutkan. Di lain sisi, banyak orang terpacu untuk menembus ketidaktahuan tersebut. Ada orang yang memutuskan berkelana, namun ada juga yang memilih berandai-andai untuk memuaskan rasa ingin tahunya. Saya, sebagai makhluk yang lebih suka berkhayal di Kineruku daripada bertualang ke Kinabalu, merasa keingintahuan saya terpuaskan sekaligus berlipat ganda setelah membaca Journey to the Center of the Earth, yang dipublikasikan pada 1864, hasil karya Jules Verne.
Sebagai salah satu pionir science fiction, novel ini berhasil menarik perhatian pembaca dengan berfokus pada detail, terlepas dari kebenaran “sains” yang dibahas di dalamnya, tanpa menjadi membosankan. Malah Journey to the Center of the Earth adalah sebuah novel petualangan yang fantastis (aduh, jadi novel ini karya fantasi, atau sci-fi, atau apa, sih?). Mulai dari kecintaan Axel terhadap bebatuan, hipotesis Lidenbrock mengenai panas inti bumi, juga perjalanan Lidenbrock, Axel, dan Hans memasuki terowongan gelap ke arah pusat bumi, hingga pelayaran lautan bawah tanah dengan badai dan kilat—gabungan sains dengan imajinasi Jules Verne yang luar biasa menjadi bahan utama novel ini.
Karakter-karakter di dalamnya seakan-akan merepresentasikan sifat manusia di kala modernisme, ketika novel ini ditulis: pemberontakan terhadap alam, sekaligus semangat penjelajahan dan keingintahuan. Sifat keingintahuan dan keberanian manusia dalam menjelajah seakan-akan mendapat tubuh bernama Professor Otto Lidenbrock, sementara skeptisisme sekaligus antusiasme sains tergambar dari karakter Axel, keponakan Professor Lidenbrock. Adapun ketangguhan manusia dalam bertahan hidup direpresentasikan oleh Hans, pemandu Lidenbrock dan Axel.
Journey to the Center of the Earth, bersama sekumpulan novel Verne lainnya seperti Twenty Thousand Leagues Under the Sea dan Around the World in Eighty Days (yang akan saya pinjam dari Kineruku), mengajak kita menjadi manusia modern sekaligus arkaik yang skeptis sekaligus eksploratif.
Muhammad Rangga Padika,
mahasiswa Sastra Inggris yang sembari menyusun skripsinya
kini magang di perpustakaan Kineruku