“Tidak ada kalimat yang sempurna. Sama seperti tidak ada keputusasaan yang sempurna.”
Kalimat pembuka Dengarlah Nyanyian Angin (1979), novel pertama Haruki Murakami ini, seolah menjadi peringatan/permintaan maaf/alasan bahwa karya debutan ini belumlah sempurna. Cara penulisannya mirip autobiografi, atau surat pribadi yang panjang berisikan pengakuan pada orang tak dikenal. Sebenarnya tak ada yang terlalu spesial dalam kisah-kisah yang mengisi novel ini, yang memang merupakan perjalanan hidup si ‘Aku’ dengan gaya penceritaan datar, nyaris tanpa klimaks. Namun, kekuatan Murakami yang selalu membuat saya angkat topi adalah bagaimana ia menggambarkan tokoh-tokoh dalam novel/cerpennya dengan begitu unik, sangat berbeda satu dengan lainnya, tak pandang bulu apakah itu tokoh utama ataupun hanya selewatan saja.
‘Aku’, tokoh utama dalam Dengarlah Nyanyian Angin dikisahkan sebagai seorang pemuda yang biasa-biasa saja, mahasiswa jurusan Biologi, menyukai binatang karena mereka tidak tertawa, memiliki hubungan cinta/benci dengan tulis menulis, dan terobsesi pada pengarang Amerika tidak terkenal yang mati bunuh diri bernama Derek Heartfield. Si ‘Aku’ juga gemar membaca buku, tapi hanya karya dari pengarang yang sudah almarhum. Menurutnya, ia bisa memaafkan banyak hal dari orang yang sudah tak bernyawa. Ia mendengarkan The Beach Boys, tetapi tiap malam masih harus menyemir sepatu ayahnya—sebuah perpaduan gaya hidup modern-tradisional yang menarik.
Si ‘Aku’ bersahabat dengan seseorang bernama Nezumi (artinya ‘tikus’), seorang anak dari keluarga kaya tapi membenci orang kaya. Ia mengaku tak suka membaca buku, namun kemudian melahap karya-karya Henry James sampai Kazantzakis, dan bercita-cita menulis novel tanpa adegan seks dan kematian. Kegemarannya adalah memakan panekuk baru matang yang disiram Coca Cola, dan memiliki kalimat yang menjadi ciri khasnya “Kukatakan dengan tegas, ya…” Dua sahabat ini berkenalan di suatu malam dalam keadaan mabuk di Jay’s Bar (tempat nongkrong favorit mereka di kota kecil itu), yang berakhir dengan Nezumi menabrakkan mobilnya ke pagar taman kota.
Pacar ‘Aku’, seorang perempuan yang ditemukan tak sadarkan diri karena mabuk di lantai kamar mandi Jay’s Bar. Dengan berat hati si tokoh kita ini mengantarkan perempuan itu pulang ke apartemennya. Meskipun awalnya curiga, perempuan ini akhirnya merasa nyaman dengan ‘Aku’. Dia bekerja di toko musik kecil yang menjual piringan hitam, dan hanya memiliki sembilan jari tangan.
Novel ini mengambil setting musim panas, tahun 1970-an, masa di mana nilai-nilai budaya modern dari Barat berpapasan serta berangkulan (tanpa harus selalu akrab) dengan nilai-nilai budaya tradisional Jepang. Benturan ini terutama berpengaruh pada generasi mudanya, diwakili tokoh-tokoh dalam novel ini.
Cerita berkisar pada keseharian ‘Aku’ menghabiskan liburan musim panasnya di kota kelahirannya. Mulai dari perkenalannya dengan Nezumi dan perempuan yang kemudian menjadi pacarnya, percakapan-percakapan mereka mengenai hidup, cinta, dan sastra diselingi dengan nostalgia masa lalu ‘Aku’.
‘Aku’ kecil adalah anak yang sangat pendiam, hingga dibawa oleh ibunya ke seorang psikiater di mana dia mendapatkan pelajaran “Peradaban adalah informasi”. Jika sudah tak ada lagi informasi yang ingin disampaikan atau dibagi, maka selesailah peradaban. Selanjutnya ‘Aku’ berkembang menjadi pemuda yang tak pendiam, tapi tak banyak bicara juga.
Selain itu, nostalgia yang kerap muncul adalah pengalaman bersama perempuan-perempuan masa lalunya. Bagaimana mereka bertemu, berpacaran, bercinta, berpisah. Salah satu perempuan itu muncul kembali tanpa diduga dengan cara yang sangat trendy saat itu: mengirimkan request lagu ke radio disertai pesan. ‘Aku’ gagal menemukan perempuan masa lalu itu. Peristiwa muncul dan hilang tiba-tiba ini akan menjadi tipikal di novel-novel Murakami selanjutnya.
Menjelang penghujung buku, pacar ‘Aku’ baru saja menggugurkan kandungannya, yang bukan anak ‘Aku’. Kisah terus bergulir hingga ‘Aku’ harus kembali masuk kuliah karena liburan musim panas berakhir. Ditutup dengan ‘Aku’ mengunjungi makam Heartfield di Ohio.
Dengarlah Nyanyian Angin tampaknya sukses menjadi cetak biru bagi karya-karya besar Murakami selanjutnya. Kisah mantan pacar si ‘Aku’ yang bunuh diri di hutan akan membawa kita kepada Norwegian Wood, sedangkan raibnya teman semasa SMU ‘Aku’ seolah memprediksi lahirnya The Wind-up Bird Chronicle dan Dance, Dance, Dance yang diwarnai hilangnya tokoh perempuan yang signifikan.
Dalam buku-bukunya, Murakami selalu mengikutsertakan elemen jazz, bar dengan berbagai macam jenis alkoholnya, perempuan yang hilang secara misterius (lalu muncul kembali secara misterius pula), binatang-binatang entah sebagai piaraan atau topik pembicaraan, kegiatan seksual serta budaya yang populer pada masanya. Juga referensi musik, film, dan karya-karya sastra klasik hingga kontemporer.
Sering saya ragu dengan terjemahan karya-karya asing ke dalam bahasa Indonesia. Namun, Jonjon Johana telah terbukti berhasil menerjemahkan Norwegian Wood, dan sekali lagi melalui Dengarlah Nyanyian Angin, di mana ia mampu menerjemahkan dalam bahasa Indonesia tanpa terkesan kikuk, canggung, dan dipaksakan. Semuanya mengalir seperti memang diciptakan aslinya dalam bahasa Indonesia. Murakami piawai menciptakan humor cerdas, analogi dan kata-kata bijak yang hampir selalu ada di setiap lembaran halaman bukunya. Dan Jonjon Johana mampu menghadirkan padanannya dengan tepat.
Bagi yang tertarik membaca karya Murakami, sebaiknya tidak memulai dengan novel perdananya. Dengarlah Nyanyian Angin terasa agak membosankan dibandingkan karya-karya selanjutnya. Bisa jadi karena temanya tidak terlalu bombastis, latar di situ-situ saja, minim kejutan, berbeda dengan karya-karya selanjutnya yang jauh lebih aneh.
Kendati demikian, bagi saya pribadi, novel ini adalah novel Murakami yang betul-betul mampu mematahkan hati pembaca yang jatuh cinta kepadanya, termasuk saya. Kenapa? Karena saya menemukan fakta bahwa Derek Heartfield, pengarang Amerika yang bunuh diri dalam novel ini, adalah tokoh rekaan. Bagaimana mungkin pembaca tak jatuh hati (atau setidaknya, penasaran) pada Heartfield saat membayangkan ia mengakhiri hidupnya dengan melompat dari Empire State Building? Memeluk foto Hitler dengan tangan kanan, memegang payung terbuka di tangan kirinya?
Sylvia Plath dan Virginia Woolf, bisa dikatakan menjadi terkenal justru setelah kematiannya. Ironis memang. Namun, tidak halnya untuk Heartfield: kematiannya sama tidak terkenalnya dengan kehidupannya. Sepadan, sekaligus menyedihkan. Padahal, lompat indah dari gedung setinggi itu, sedramatis itu, tentu akan mengalahkan segala ketenaran kasus bunuh diri para pesohor lainnya.
Ditambah lagi, saya sudah mulai percaya dengan cerita karangan Heartfield (bayangkan, dia diceritakan menulis fiksi juga!), kisah seorang pemuda yang mendambakan kematian yang tenang tanpa diketahui orang. Ia pun menceburkan diri ke sumur-sumur gelap di planet Mars—tanpa menyadari waktu sudah berlalu sekitar 1,5 milyar tahun lamanya—untuk kemudian muncul lagi di permukaan, hening antara kehidupan dan kematian. Sesuai harapannya, ia bisa mengakhiri hidupnya tanpa ada yang memprotes, bersama sepucuk pistol, ditemani angin yang terbatuk-batuk dan bergetar ketika ia tertawa.
Banyak sekali pertanyaan perihal Heartfield yang tersisa tanpa jawaban, “Kenapa memilih Empire State Building?”, “Kenapa harus ‘mengajak’ Hitler?”, “Kenapa di bulan Juni?”, “Kenapa hari Minggu?”, dan tiba-tiba saya sudah tiba di halaman terakhir. Saya merobek catatan kecil, berisikan pertanyaan-pertanyaan tersebut, lalu menghapus garis bawah di beberapa paragraf, dan air mata saya meleleh. Untung saya menggunakan pensil.
Jika setelah selesai membaca Dengarlah Nyanyian Angin atau mungkin karya-karya Murakami lainnya, pembaca merasa kesal, tidak puas, atau setidaknya, bertanya-tanya mengenai apa maksud dari novel tersebut, izinkan saya mengutip Heartfield dalam suatu sesi wawancara fiktif, “Lantas apa artinya menulis novel yang isinya sudah diketahui semua orang?”
Jika Anda berminat membacanya, saya ucapkan: Selamat patah hati.
[Lintang Melati]
Dengarlah Nyanyian Angin
Haruki Murakami
Jakarta; KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2008
iv + 147 hlm; 11,5 cm x 19 cm
Rumah Buku/Kineruku juga mengoleksi karya-karya Haruki Murakami yang lain seperti Norwegian Wood, Kafka on the Shore, Sputnik Sweetheart, Blind Willow Sleeping Woman, The Wind Up Bird Chronicle. Selengkapnya tengok di sini.
Newer
<b>Man on the Moon</b>: <br>Kesepian di Dunia yang Bersahabat
Older
Introducing Still Loving Youth
Comments (2)
satu2nya penulis yg buku terjemahannya sy bc lebih dr 1x adl haruki murakami.
salam kenal.
wah, sama donk, saya juga. ceritanya membuat kita rindu dan ingin menengoknya sesekali. belum lagi, terjemahan Indonesianya memang bagus banget. terima kasih sudah mampir di review ini.
salam kenal juga.