Sejak terbitnya buku kumpulan cerpen Rumah Kopi Singa Tertawa karya Yusi Avianto Pareanom pada 2011, lebih banyak orang yang tahu bahwa tidak ada salahnya juga memakai nama “Yusi” untuk menamai anak laki-laki. Bagi banyak pembaca sastra, nama penulis itu identik pula dengan cerita segar yang sulit tertebak bagaimana akhirannya. Dalam kisah-kisah bikinannya, Yusi juga kerap menambahkan berbagai fakta sepele yang dengan ringan seolah bicara begini, “Kalau kamu sampai menganggap hidup membosankan, itu artinya kamu belum tahu.”
Pada 2016, novel dongeng Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi karya Yusi menyusul terbit dan memenangkan Kusala Sastra Khatulistiwa kategori Prosa. Pembaca buku Yusi terdahulu ada yang suka, ada juga yang kurang suka dengan Raden Mandasia. Yang jelas, semakin banyak lagi orang yang mulai membaca cerita Yusi, dan menanti kehadiran cerita-ceritanya yang baru. Buku Raden Mandasia.. itu bahkan menggerakkan seorang seniman menafsirkan dunia dalam buku itu melalui serangkaian gambar yang dibuatnya.
Muslihat Musang Emas (2017) adalah buku kumpulan cerpen terbaru Yusi, yang judulnya diambil dari salah satu cerita di situ, “Muslihat Musang Emas dan Elena”. Seperti biasa, kemunculan buku baru juga memunculkan pembaca baru. Namun, kali ini ada juga sederetan pertanyaan baru: apa sekarang sudah makin banyak orang yang terbiasa gaya bercerita Yusi? Darimana datangnya kelucuan-kelucuan itu? Apa keajaiban ceritanya sudah turun pangkat jadi trik sulap jadul? Apakah Yusi tergantung sepenuhnya pada muslihat untuk mengejutkan pembacanya?
Mari membicarakannya di hari Jumat ini.
__
Buku Muslihat Musang Emas (Penerbit Banana, 2017, 246 halaman) bisa didapatkan di Kineruku, Rp 68.000,-