Please select a page for the Contact Slideout in Theme Options > Header Options

/resensi: buku/ 123 Ayat tentang Seni

/resensi: buku/ 123 Ayat tentang Seni
29/01/2015 admin

123AyatTentangSeni_still

123 Ayat Tentang Seni
Yapi Tambayong
Penerbit Nuansa Cendekia, 2012

 

Usianya 67 tahun ketika menerbitkan buku ini. Sudah tak lagi muda secara fisik, namun stamina berpikirnya jauh mengungguli mereka yang masih muda. Kali ini ia memakai nama lahirnya, bukan sebagai Remy Sylado (nama populernya), atau Alif Danya Munsyi jika menulis serba-serbi linguistik. Yapi Tambayong sudah mulai menulis sejak umur belasan (karya-karya fiksi paling awalnya ketika era Semarang kini langka dan dihargai sangat mahal di lapak buku bekas), di usia dua puluhannya ia mengurusi rubrik musik dan sastra di majalah Aktuil di paruh pertama dasawarsa ’70an (hingga melambungkan reputasi majalah itu ke tingkat cult), lalu merilis album-album folk-rock nyeleneh dengan musik dan lirik yang sama-sama ciamik (yang sekarang juga banyak diburu kolektor musik), juga pertemanan baiknya antara Dapur 23761 dengan Bengkel Teater Rendra, hingga kebiasaannya menulis esai-esai seni budaya dengan referensi tak lazim, pengetahuan gigantik yang menakjubkan.

Meski mungkin hanya sekian persen dari total isi kepalanya, buku 123 Ayat tentang Seni ini seperti meringkas wawasan luas Yapi Tambayong soal seni susastra, musik, drama, film, seni rupa, dsb., yang tentunya telah ia lahap sepanjang hidupnya. Masing-masing bab dibeberkan dalam 123 ayat, yang sambung menyambung dari satu ayat ke ayat lainnya. Banyak data-data menarik yang mungkin tidak akan Anda temukan lewat googling. Yang juga menarik adalah bagaimana buku ini menggiring pembaca untuk tidak memisahkan antara Timur dan Barat, seakan-akan ingin memberitahukan betapa kedua arah mata angin itu sudah lama berkelindan di seni sejak awal. Pada ayat ke-13 tentang Seni Susastra (dasar-dasar filologi) misalnya, ia menulis:

“Dari pengetahuan yang didapat di Sumeria, kemudian manusia di Mesir pada tahun 2000 sebelum tarikh Masehi mendirikan perpustakaan—artinya telah tumbuh kesadaran adab dan budaya pada waktu itu yang memandang pustaka sebagai ikhtisar sejarah yang amat penting—yang menyimpan banyak pustaka, khususnya yang didapat dari Sumeria tersebut. Dari zaman itu pula, puisi ditulis di Mesir di atas ilham tentang dukacita dan skeptisme: dua keadaan hayati manusia yang menjadi pengetahuan sejati tentang keberadaan manusia. Awal berangkatnya tradisi ini dari Sumeria ke Mesir diperkenalkan oleh suku nomad Aramean di kawasan Eufrat melewati wilayah Semit Kanaan di Palestina.”

Sementara di ayat ke-96 tentang Seni Musik (dasar-dasar musikologi), ia menulis sejarah asal-muasal kata ‘dangdut’, demikian bunyi ayatnya:

“Sebutan “irama melayu” ini kemudian berubah pada 1971 menjadi dangdut. Yang mula-mula memakai istilah ini secara lisan adalah Billy Silabumi (aslinya Billy Chung), pemusik dari grup Young Crescendo di Bandung yang juga merangkap wartawan majalah Aktuil. Ia menyebut sambil mengejek tren musik “irama melayu” waktu itu yang kian kencang melaju di pasaran dengan melewekkan mulutnya mengucapkan “dang-dut, dang-dut”. Maka, kemudian redaktur yang lain dari majalah itu mempopulerkannya dalam sebuah tulisan main-main. (Jadi, kalau ada pihak tertentu yang meng-klaim bahwa istilah dangdut berasal darinya, itu tidaklah benar.)”

Tak hanya sekali dua kali di buku ini (juga di beberapa kesempatan diskusi) Yapi Tambayong mengkritik Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dinilainya masih sering salah dan minim data referensi. Kecakapannya membicarakan seni drama dan seni rupa juga tak kalah mengagumkan, meskipun bagian Seni Film (dasar-dasar sinematografi) terasa tidak sepekat dan sekomprehensif ayat-ayat di bab lainnya. Ketengilannya masih tetap terasa bahkan di pengantar Seni Film, yang mengatakan bahwa jika kita bicara soal film, dengan sendirinya kita berkenalan dengan kosakata sinematografi. Di situ ia menulis “Kali ini tumben Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) lumayan benar menerangkannya pada lema yang dimaksud. Dalam KBBI kita membaca, “sinematografi: teknik perfilman, teknik pembuatan film.” Sekali tengil tetap tengil!

Kini usia Yapi Tambayong sudah hampir menyenggol angka 70, tapi tak ada tanda-tanda ia bakal berhenti menulis (tahun lalu dia bahkan menerbitkan novel filsafat). Karena menurutnya, mengutip bapak bangsa Cina modern, Sun Yat-sen: “Yang membedakan manusia dengan hewan bukan sandang-pangan-papan tetapi buku.”

* * *

[Rahmat Arham, Budi Warsito]

123-Ayat-Tentang-Seni_thumbnail
123 Ayat tentang Seni
Yapi Tambayong
Penerbit Nuansa Cendekia, Bandung
298 hlm.; 15,5 x 23,5 cm
cetakan I, Agustus 2012

Posting terkait:
>> Musik Pop Indonesia: Kebebalan Sang Mengapa
>> Peta Syair Lagu Populer Selama 100 Tahun (1883-1983): Satu Amatan Sosiologis

Kineruku juga mengoleksi karya-karya Remy Sylado/Yapi Tambayong/Alif Dansya Munsyi, baik fiksi maupun nonfiksi. Selengkapnya kunjungi web kineruku.com atau langsung datang ke perpustakaan Kineruku, Jl. Hegarmanah 52, Bandung.

Comments (0)

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Subscribe