John Berger, Vintage International, 1996, 180 pages.
Perihal ingatan selalu menduduki tempat istimewa dalam kerumitan peradaban manusia. Berbagai penemuan tercipta demi ‘menolak hilang ingatan’: jam pasir di era Mesir kuno hingga jam weker modern buatan Swiss; lukisan purba di gua-gua prasejarah hingga tulisan-tulisan blog di dunia maya; kamera pertama ciptaan Joseph Niépce hingga piranti tercanggih di katalog terbaru Canon. Sejalan pesatnya kemajuan teknologi, makin kompleks pula pemikiran manusia: ranah ingatan kemudian melebar dari ‘sekadar upaya mengawetkan’ menjadi ‘sekaligus media berekspresi’. Tak terhitung karya seni yang lahir dari persoalan ini. Sutradara Christopher Nolan membuat film Memento, sebuah narasi menarik tentang kamera Polaroid dan perlawanan tokohnya terhadap amnesia; penyair Goenawan Muhamad menggubah puisi Kwatrin tentang Sebuah Poci yang teramat menggetarkan perihal kenangan; dan pelukis Raden Saleh dengan kanvasnya menafsirkan penangkapan Pangeran Diponegoro oleh tentara Belanda.
Di antara banyak pilihan medium, John Berger, seorang novelis pemenang Booker Prize sekaligus kritikus seni yang handal asal Inggris, memilih ‘fotokopi’ sebagai lahan filosofis untuk bermain-main dengan ingatan. Di buku berjudul Photocopies, Berger berkisah tentang orang-orang yang pernah ia temui, baik yang sudah lama ia kenal, maupun mereka yang tak bernama dan hanya singgah dalam perjumpaan singkat tak sengaja. Sejumlah 29 esai pendek ditulis dalam gaya memoir yang mengasyikkan: perjalanan kapal feri menyusuri perairan Mediterania, musim panas yang menyiksa di Barcelona, perjumpaan dengan pianis muda asal Ukrania, dua siswi sekolah yang cerewet di dalam perjalanan bus dari Dublin, seorang wanita tuna wisma yang memelihara burung dara di sebuah taman di London, atau percakapan filosofisnya dengan fotografer legendaris Henri Cartier-Bresson. Penggabungan kemampuan visual Berger (yang juga seorang pelukis) dengan penguasaan teknik menulis prosa liris menjadikannya bukan sekadar catatan biasa.
Esai pertama di buku ini, “A Woman and Man Standing by a Plum Tree” bercerita tentang perempuan yang pernah Berger temui selama 5 menit di Madrid bertahun-tahun silam, dan tiba-tiba muncul di rumahnya di Prancis sambil menenteng kamera tua. Sebelum kembali menghilang, perempuan itu memotret dirinya bersama Berger di bawah pohon rindang. Hasil foto itu, yang dimuat di halaman pertama buku ini, tak pernah tampak jelas. Meski menyisakan detil di beberapa titik, ia juga buram di sana-sini. Foto tersebut (yang lebih mirip hasil ‘fotokopi’ daripada ‘fotografi’) sangat tepat menggambarkan nada keseluruhan buku ini: segigih apapun kita menjaga kenangan, selalu ada yang bakal mengabur.
Teks Berger memang berkisar di wilayah abu-abu antara ‘mengingat’ dan ‘melupa’. Fotokopi jelas sebentuk kepemilikan semu. Kita bisa saja memfotokopi satu dua halaman yang kita sukai dari sebuah buku tebal di perpustakaan, tapi itu sekaligus menegaskan bahwa kita tak kuasa memilikinya secara utuh. Para petugas di kelurahan tidak serta merta memiliki identitas warganya (apalagi dalam arti luas dan seutuhnya), ketika kita menyerahkan fotokopi KTP untuk urusan administrasi penduduk: identitas tetaplah mutlak milik orang per orang.
Demikian pula segala kenangan di buku ini, mereka cuma otentik di benak penulisnya. Kita, para pembaca, ‘hanya’ berhak membaca replikanya, fotokopiannya, yang jauh dari komplet. Namun jika dituturkan dalam gaya filosofis dan selera orisinal seperti ini, rasanya sudah lebih dari cukup. Mengutip puisi Goenawan Mohamad, “Sesuatu yang kelak retak, dan kita membikinnya abadi.” Dengan citarasa mumpuni, Berger membikin kenangan itu abadi. [Budi Warsito]