Please select a page for the Contact Slideout in Theme Options > Header Options

Burung-burung Manyar
Y.B. Mangunwijaya, 1981

Burung-burung Manyar
Y.B. Mangunwijaya, 1981
27/01/2010

Judul: Burung-Burung Manyar
Pengarang: Y. B. Mangunwijaya
Penerbit: Djambatan
Cetakan: II, 1981
Halaman: vi+261

Setiap beberapa bulan sekali, saat ada bom meledak, Manohara kabur dari Malaysia, meninggalnya seorang tokoh nasional, atau ‘sekedar’ tujuh belas agustusan, kita diingatkan akan betapa penting dan mulianya mencintai tanah yang bernama Indonesia ini. Dan saya teringat Teto.

Adakah yang mencintai Indonesia lebih dari Teto? Ini pertanyaan retoris, bukan karena kita semua pasti tahu jawabannya, tapi justru karena terlalu sulit untuk dijawab. Apa itu cinta dan apa itu Indonesia? Teto adalah tokoh dalam peralihan. Bapaknya Jawa yang jadi tentara Belanda, Koninklijk Nederlands Indisch Leger asli lulusan Breda. Ibunya Belanda totok walaupun Teto tidak yakin karena Mami “sangat cantik” dan “tak punya sistem pendidikan yang berdisiplin” (hal. 5). Ketika Jepang masuk, dunia-serba-gemilang anak kolong Teto berantakan. Ia benci Jepang, terlebih ketika Mami dijebak jadi gundik tentara Jepang demi menyelamatkan nyawa Papi. Dan Jepang menjelma jadi Indonesia merdeka. Teto memilih masuk KNIL, berperang melawan kaum republik. Celakanya, gadis pujaannya, Atik, ada di pihak ‘sana’, Indonesia.

Tapi apakah Teto tidak cinta Indonesia? Jangan kacaukan keinginan Teto supaya Belanda tetap bercokol di Indonesia dengan kebencian. Itu sama saja dengan Teto yang mengacaukan gerakan Indonesia merdeka dengan bungkuk pada perintah fasis Jepang. “Suatu bangsa yang sudah berabad-abad hanya membongkok dan minder harus dididik dahulu menjadi kepribadian. Barulah kemerdekaan datang karena durian yang jatuh karena sudah matang (hal. 89).”

Dalam roman Burung-burung Manyar, Romo Mangun dengan bahasa yang aduhai luwes-lincah dan terkadang menggelitik, menyampaikan mimpinya tentang Indonesia. Bukan melalui Atik, yang menggebu-gebu, yang terbuai dengan kata-kata Soekarno. Justru melalui Teto, yang skeptis namun hormat tergagu di depan Syahrir. Sebuah Indonesia yang bukan bangsa kuli atau teroris, melainkan bangsa yang cendekia dan menjunjung elan kemanusiaan. Walaupun, diakui saja, menyimpan keragaman nyaris ironi di mana “yang putih dan halus rupa-rupanya (di sini) bisa bersahabat dengan yang kotor dan busuk (hal. 154)”.

Setiap membaca buku ini saya tersentak menyadari bahwa mimpi Romo Mangun maupun kebimbangan Teto bukan hanya tidak basi, tapi bahkan mengaktualisasi diri setiap ada bom meledak, setiap Manohara kabur dari Malaysia (tunggu, itu cuma terjadi satu kali ya?), setiap seorang tokoh nasional meninggal dunia, dan setiap tujuh belasan.

[Rani Widya]

Ilustrasi: Priyanto Sunarto, Peta Bumi Indonesia Baru (Evaluasi & Reorganisasi)

Kineruku juga mengoleksi karya-karya Y.B. Mangunwijaya lainnya, yang tersebar mulai dari bidang sastra, antropologi, filsafat, dan arsitektur.

Comments (0)

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Subscribe