Saya merasa perlu menceritakan ulang percakapan saya dengan pengelola Kineruku pada Oktober 2014 lalu, yang dimulai dengan sebuah pertanyaan penting, “Boleh dibagi di sini ceritanya, satuuu saja, kaset yang Bung Sandya sangat sukai, sering putar, dan jaga baik-baik hingga akhir hayat nanti?”
Jawaban saya: kaset Favourite’s Group vol. 2 (dengan side B album pertama AKA), karena saya punya kenangan sangat panjang dengan kaset ini. Jawaban itu mungkin terlalu cliched dan mainstream karena biasanya orang-orang menjawab dengan album-album berat dengan nama-nama “susah” (mungkin karena beban pencitraan), sementara saya dengan enteng menjawab dengan sebuah album dari band pop Indonesia, yang ngepop banget. Untungnya saya tidak terbebani pencitraan sebagai seorang hipster kolektor kaset eksotik (memang bukan) dan jawaban saya jujur, seperti halnya si Eti.
Saya penggemar berat Favourite’s Group sejak masih di bangku taman kanak-kanak. Setiap hari sehabis magrib saya selalu memutar kaset The Best of Favourite’s Group vol. 1 (produksi 1986 kalau tidak salah) dan ikut bernyanyi (terutama lagu ini: “Siapa yang berdosa?/ Tak dapat ku berkata/ Siapa yang bersalah?/ Susah ditelaah/ Mari kita, kita renungkaaan..”), tetapi sayang suatu hari kaset itu putus dan sebagian rekamannya terhapus karena tape JVC lama di rumah ngadat. Untuk menggantikan kaset itu, Favourite’s Group vol. 2 (yang sebenarnya sudah ada sejak saya belum lahir) inilah yang sering disetel. Setiap bepergian jauh, kaset ini selalu dibawa, seringkali karena keinginan saya, bukan keinginan bapak saya sebagai pemilik kaset ini, untuk mendengarkannya di perjalanan.
Sepertinya karena bapak saya tahu saya lebih suka Favourite’s Group daripada dia, kaset ini adalah kaset pertama yang dia wariskan kepada saya. Agak berat menerimanya karena saya tahu kaset Favourite’s Group vol. 2 itu adalah kenangan masa remajanya dengan teman-teman sekampung sebelum hijrah ke Bandung. Sewaktu bapak bereuni dengan teman-teman sekelompok teaternya di Losari, Cirebon, album ini pun diputar sebagai musik latar.
Menjelang awal tahun kedua di SMU (dulu begitu namanya), saya merasa perlu belajar bermain gitar sebagai bentuk aktualisasi diri seorang remaja (cieee). Lagu pertama yang saya ulik dengan gitar adalah “Creep”-nya Radiohead, dengan bantuan seorang teman yang mengajari saya bentuk kord minor. Lagu kedua adalah “Mimpi Sedih”-nya Favourite’s Group. Ini lagu yang kord-kordnya mudah, bahkan lebih mudah ketimbang “Creep”, tetapi megahnya (sekaligus menye-menyenya) mengalahkan “Creep”. Dulu kaset Pablo Honey dan kaset Favourite’s Group ini berdampingan. Sekarang Pablo Honey entah ke mana, dipinjam dan tak dikembalikan lagi, tapi rasanya teman-teman sebaya saya dulu tidak pernah ada yang meminjam Favourite’s Group vol. 2 ini. Lagipula mana ada remaja tanggung di penghujung milenium kedua yang mau mendengarkan Favourite’s Group? Hampir semua sedang larut entah dalam 13 atau Californication (atau sebagian kecil larut dalam Utopia, seperti teman sebangku saya).
Tetapi lagu favorit saya di album ini bukan “Mimpi Sedih”, melainkan track tepat setelahnya, yaitu “Lagu Gembira”. Jadi, setelah bermimpi sedih lalu berlagu gembira. Cukup membingungkan. Ada gerakan-gerakan yang tak diduga-duga muncul, yang membuat saya sangat gembira (!) setiap mendengar lagu ini. Ketika saya belajar menulis dan mengaransemen lagu, baru saya paham ini sepertinya adalah kejeniusan A. Riyanto dan mungkin lagu ini adalah lahan eksperimennya. Di tengah-tengah lagu tiba-tiba ada progresi kord mundur per setengah not (sampai sekarang saya belum tahu namanya) yang dengan mulus sekali masuk ke refrain yang berirama ala “La Bamba”, tapi kemudian interlude-nya jadi terdengar murung karena nada dasarnya berubah jadi minor sebelum kembali ke intro yang ceria. Uniknya si La Bamba-La Bamba-an itu tidak diulang setelah verse kedua, sehingga lagunya jauh sekali dari kesan norak dan klise. Progresi kordnya sinting, berbeda drastis dengan “Mimpi Sedih” dan memberi banyak pelajaran tentang bagaimana membuat lagu catchy dengan progresi kord cukup njelimet (kualitas yang juga saya temukan di karya-karya Yockie Suryoprayogo).
Di album Favourite’s Group vol. 2 ini pula ada sebuah lagu spoken words berjudul “Sajak untuk Seorang Gadis yang Sedih”, dengan iringan musik pop instrumental orkestral ala ’70an awal. Saya kemudian terpikir untuk membacakan kembali “Sajak..” ini dengan latar musik yang sama sekali berbeda, elektrik dan sedikit industrial. Si spoken words “Sajak..” ini ditulis oleh Is Haryanto, dan cemennya minta ampun. Sepertinya kecemenan inilah yang menjadi ciri khas Is Haryanto di kemudian hari. Hahaha. Karena waktu itu judulnya musik eksperimental, jadi saya bereksperimen saja menabrakkan musik elektronik yang mekanikal dengan sajak cinta cemen karya Is Haryanto ini. Maka kemudian jadilah rekaman elektronik lo-fi pertama saya. Rekaman ini kemudian dikirimkan ke kompetisi musik eksperimental pada tahun 2004, yang diselenggarakan oleh kolektif musik eksperimental Pemuda Elektrik (yang kemudian sebagiannya atau mungkin 2/3 atau 3/4-nya kita kenal sebagai SL*T alias Sungsang Lebam Telak).
Bagaimana dengan lagu-lagu lain di album ini? Killers. Semuanya diaransemen dengan ketat, eklektik, tidak terlalu manis atau gurih, dan menurut saya malah lebih terpoles daripada album-album Favourite’s Group berikutnya. Indonesian mainstream pop at my personal best. Di kesempatan lain mungkin saya akan membahas satu per satu ketujuh lagu lain yang ada di album ini, juga membandingkannya dengan album yang ada di sisi B, yakni AKA volume 1. Jika Anda punya kaset ini, dengarkan dan apresiasi kembali. Mungkin Anda akan menemukan bahwa Favourite’s Group, setidaknya di formasi pertama mereka, adalah a different beast altogether (susah nih diterjemahkannya).
[Sandya Maulana]
Tulisan ini pertama kali dimuat di blog-nya,
lalu dimuat ulang di web Kineruku atas seizin penulis.
::: Foto ilustrasi oleh Budi Warsito, dari koleksi pribadinya.
::: Format piringan hitam album Favourite’s Group vol. 2 ini bisa didengarkan via streaming dari arsip kawan-kawan yang telaten di Irama Nusantara.
* * *