Please select a page for the Contact Slideout in Theme Options > Header Options

Crazy Diamond,
You Shone Like the Sun!

Crazy Diamond,
You Shone Like the Sun!
01/11/2009

Pada edisi Oktober 2008, majalah UNCUT menerbitkan cover story berjudul “Pink Floyd 30 Greatest Songs” yang antara lain dipilih sendiri oleh Dave Gilmour, Nick Mason, dan puluhan insan musik lain, terutama kalangan dekat mereka, seperti manajer, desainer cover, produser, sound engineer, konduktor, musisi junior yang amat terpengaruh oleh mereka, fotografer sezaman mereka, dan lain-lain. Secara menyesakkan Roger Waters terpaksa diabaikan sebagai pemilih, karena secara hukum dia dilarang menggunakan nama Pink Floyd; sementara Richard Wright dan Syd Barrett sudah meninggal.

Ke-30 lagu itu ialah:
01. Shine On You Crazy Diamond
02. See Emily Play
03. Interstellar Overdrive
04. Arnold Layne
05. Another Brick In The Wall (part 2)
06. Wish You Were Here
07. Set Controls For The Heart Of The Sun
08. Astronomy Domine
09. Jugband Blues
10. Fearless
11. Lucifer
12. Careful With That Axe, Eugene
13. Atom Heart Mother (Suite)
14. Is There Anybody Out There?
15. Breathe
16. Goodbye Blue Sky
17. Apples and Oranges
18. Comfortably Numb
19. Have a Cigar
20. See-saw
21. One Of These Days
22. High Hopes
23. Brain Damage
24. Chapter 24
25. Fat Old Sun
26. Time
27. If
28. Green Is The Colour
29. Money
30. Echoes

Menurutku, daftar ini lebih memuaskan dibandingkan seleksi dalam album Echoes – The Best of Pink Floyd (2001). Entahlah, urutan tersebut merupakan hierarki atau acak. Tapi kalau sekilas diperhatikan, boleh jadi alasannya kesetimbangan. Daftar itu diawali dengan lagu yang amat panjang (25 menit), ditopang lagi di tengah-tengah (23 menit), dan ujungnya (23 menit). Echoes kekurangan aspek itu, bahkan sengaja memberikan edisi potongan untuk lagu-lagu panjang.

Yang mungkin cukup seru, tak ada lagu terpilih dari album The Final Cut dan A Momentary Lapse of Reason. Sementara lagu dari The Dark Side of the Moon dan The Wall mendominasi. Sebagian kritikus maupun penggemar Pink Floyd menilai bahwa The Final Cut merupakan album solo Roger Waters yang harus dikerjakan anggota Pink Floyd; dan sebaliknya, A Momentary Lapse of Reason kerap dinilai sebagai album solo Dave Gilmour yang dikemas atas nama Pink Floyd, minus Roger Waters. Namun lebih dari semua itu, ke-30 lagu itu memperlihatkan rentang karir dan karya Pink Floyd secara seimbang.

Perjalanan karir Pink Floyd terbagi dalam tiga fase utama. Pertama di awal terbentuknya band itu, di bawah kepemimpinan Syd Barrett. Kedua setelah Barrett meninggalkan band itu karena emosinya labil dan sakit mental, dan kepemimpinan segera diambil alih oleh Roger Waters. Ketiga setelah ketiga anggotanya berseteru dan bermusuhan dengan Roger Waters, dan akhirnya ganti David Gilmour memimpin Pink Floyd. Periode pertama dan ketiga berlangsung relatif sebentar bila dibandingkan periode ketika mereka menghasilkan sejumlah masterpiece dengan arahan artistik di bawah Roger Waters.

Menurut statistik, Roger Waters punya andil 70% dari semua karya Pink Floyd. Meski begitu, harus diakui statistik itu tidak berarti mengesampingkan kualitas sumbangsih keempat anggota lainnya. Ada banyak lagu Pink Floyd yang dengan mudah memperlihatkan virtuositas masing-masing anggota. Contoh peran Richard Wright dalam “The Great Gig in the Sky”; Dave Gilmour dalam “One of These Days”, dan Nick Mason dalam “Echoes”. Jadi meskipun Syd Barrett sudah lama sekali inaktif dan Roger Waters secara menyakitkan kalah di pengadilan, ruh keduanya masih begitu terasa dalam karya Pink Floyd. Bahkan boleh dibilang kedua orang itu senantiasa menghantui Pink Floyd dan menjadi patokan bagi setiap karya mereka. Karya, reputasi, dan sosok mereka mustahil tumbang hanya oleh kegilaan maupun arogansi dan egoisme.

Mendengarkan ke-30 lagu itu membuatku seakan-akan menyaksikan layar lebar berisi perjalanan sebuah band yang sarat drama, kegilaan, kreativitas, sekaligus ironi, kesedihan, dan perseteruan. “Kami tak pernah berhasrat ingin jadi terkenal ataupun bintang rock ‘n’ roll,” kata Richard Wright. Di awal formasi sebagai band kampus Regent Street Polytechnic, bisa jadi niat itu jujur. “Kami lebih ingin jadi seniman daripada musisi rock,” kata Nick Mason dalam BBC Seven Ages of Rock bagian 2. Dari latar belakang keluarga, semua anggota Pink Floyd berasal dari golongan kelas terdidik-mapan. Kemakmuran sudah menjadi bagian mereka sejak orok. Jadi mereka lebih butuh aktualitas atau keinginan mencapai status baru yang prestisius.

Richard Wright sendiri, misalnya, jauh lebih terpengaruh Miles Davis (pemain terompet & komposer jazz terkemuka) dibanding pemain piano/keyboard dari ranah rock. Album debut mereka, The Piper at the Gates of Dawn (Agustus 1967), juga tampak merupakan album rock yang nyeleneh daripada mudah didengar dan didendangkan. Apalagi mereka sejak awal menampilkan instrumental rumit berdurasi cukup panjang, “Interstellar Overdrive” (durasi 9 menit 41 detik), dan nanti ditradisikan di album kedua, dengan “A Saucerful of Secrets” (12 menit.) Mana ada grup rock biasa yang berani melakukan terobosan seperti itu? Kecenderungan itu sudah agak lain bila dibandingkan dengan pendekatan The Beatles yang tengah sedang populer.

“Kami memainkan musik yang sulit dipahami perusahaan rekaman,” papar Wright. Tapi lepas dari itu, eksperimen dan jangkauan musik mereka sungguh luar biasa. Bila mula-mula mereka main di klub underground, lama mereka mengemuka, jadi pionir, dan sangat berpengaruh. Merekalah bapak dari genre psychedelic rock, art rock maupun progresif rock. Dan lebih dari itu semua, keberhasilan mereka secara komersial nyaris tak tertandingi oleh grup mana pun yang sealiran mereka. Gabungan musik mereka—blues, rock, jazz, bunyi-bunyi “aneh”—kerap bernuansa depresif, bahkan disisipi oleh jeritan atau lolongan orang, belum lagi raungan gitar, timpalan bebunyian dari keyboard, dentuman bass, juga suara-suara kehancuran dari simbal dan tempo yang bikin gelisah dari drum. Lagu seperti “Shine On Your Crazy Diamond”, “Echoes”, “Interstellar Overdrive” merupakan contoh sempurna dari musik Pink Floyd yang kompleks, namun terasa dalam, seakan membawa pendengarnya ke lorong jauh atau melesak ke dalam bawah laut nan mencekam. Tapi sejumlah lagu normal Pink Floyd juga sangat mudah diingat, enak didengar dan didendangkan, misalnya “Goodbye Blue Sky”, “Wish You Were Here”, dan “If” (balada), “Comfortably Numb” (bernuansa slow rock yang anthemic), dan yang paling legendaris: “Another Brick In The Wall (part 2)”.

Wajar ketika EMI pertama kali mengontrak mereka, Pink Floyd digadang-gadang akan mengubah perjalanan musik. Tapi yang pertama-tama terjadi bukanlah sukses gila-gilaan, melainkan kegilaan dalam arti harfiah. Sakit itu menyerang motor mereka, Syd Barrett, mahasiswa seni yang kreatif dan eksentrik. Perilakunya yang aneh dan labil, konon terutama disebabkan oleh kecanduan narkotika jenis LSD yang membuat orang berhalusinasi, membuat riwayat seninya benar-benar tamat. Dalam keadaan labil, misalnya ketika di panggung, Barrett hanya bisa berdiri mematung dengan tatapan kosong, membuat bingung teman-temannya yang main musik dengan serius. Sementara massa penonton, yang kerap terpesona oleh mitos dan salah anggap, malah mengira itu bagian dari pertunjukan, senang melihatnya. Antik dan unik. Di studio, kadang-kadang Barrett mencoba menawarkan lagu baru kepada teman-temannya, tapi setiap kali latihan, iramanya selalu ganti-ganti, dan lama-lama membuat mereka frustrasi. Klimaksnya, Barrett dipecat dan ditinggalkan oleh teman-temannya, terutama atas inisiatif Roger Waters. Untuk menopang gitar dan vokal atas absennya Barrett, mereka meminta teman main gitar Barrett untuk bergabung, bernama David Gilmour.

Begitu Barrett inaktif, Waters mengambil peran sebagai pengendali utama musik Pink Floyd. Bahkan segera menjadi motor penggerak paling utama. Tapi dia pun rupanya punya trauma dan sifat arogan dan egois berlebihan, yang di puncak pertentangan justru membuatnya jadi seorang desertir. Pink Floyd masa Roger Waters merupakan periode emas. Mereka menghasilkan sejumlah album legendaris yang luar biasa, terutama Meddle, Dark Side of the Moon, Wish You Were Here, Animals, dan The Wall. Namun dominasi Waters akhirnya keterlaluan sampai membuat semua orang di sekelilingnya bermasalah, dan akibatnya memusuhi dia. Waters bahkan pernah memecat Richard Wright usai pembuatan The Wall. “Ada pertentangan pribadi yang amat besar antara saya dan Roger, sampai pada titik saya mustahil bisa bekerja sama lagi dengan orang itu. Jadi saya pergi,” kata Wright.

Konon, salah satu sebab Waters menjadi egois ialah karena dia kehilangan ayah sejak kecil. Di puncak ketegangan itu, Waters membubarkan Pink Floyd setelah merilis The Final Cut. Tapi rupanya Mason dan Wright—sebagai sesama founding member—menolak prakarsa itu, apalagi David Gilmour dan produser juga ada di belakang mereka. Gilmour sudah bukan anak bawang lagi. Dia telah menjelma sebagai salah satu gitaris rock terhormat sedunia dan lagu ciptaannya maut. Maka peranglah mantan empat sekawan itu di pengadilan, memperebutkan nama Pink Floyd dan harta gono-gininya. Keputusan pengadilan mungkin lebih menyakitkan lagi buat Waters, sebab Mason dan Gilmour memenangi perkara, berhak atas mayoritas lagu band itu, dan lebih penting lagi: mereka yang berhak menggunakan nama Pink Floyd. Waters memboyong semua isi hak cipta album The Wall—hanya berbagi sedikit dengan Gilmour yang ikut menciptakan 1-2 lagu di sana, dan seluruh isi The Final Cut, dan maskot balon babi Pink Floyd.

Bisa jadi keputusan itu fatal bagi Waters. Sebagai brand, Pink Floyd merupakan nama besar. Trio ini tetap naik panggung dan berkarya. Pertunjukan Pink Floyd konon sulit sekali ditandingi karena begitu spektakuler, terutama dari segi visualisasi, efek, teknologi, dan cahaya. Mereka menghasilkan dua album studio A Momentary Lapse of Reason (1987) dan Division Bell (1994)—album terakhir mereka sejauh ini. Di sela-sela itu mereka merilis dobel album live, A Delicate Sound of Thunder dan P*U*L*S*E, ditambah kompilasi Echoes: The Best of Pink Floyd (2001). Konser Pink Floyd senantiasa penuh sesak, dan pada 1997 mereka mencatat rekor sebagai salah satu band dengan pendapatan konser terbesar di dunia; puncaknya pada 1994 ketika mereka mencatat rekor mendapat 193,6 juta dolar AS dari 59 kali show.

Sementara itu, pertunjukan paling kolosal Roger Waters bisa jadi waktu dia menggelar konser The Wall – Live in Berlin (1990) di Jerman, untuk memperingati runtuhnya Tembok Berlin delapan bulan sebelumnya. Tapi meski ditonton sekitar 250.000 orang, secara finansial harapan dia gagal—boleh jadi karena awalnya ini merupakan konser amal, sementara penjualan albumnya gagal balik modal. Waters sendiri tetap konsisten mengusung konsep album dalam album solonya, tapi suksesnya hanya biasa saja, jelas sulit bila dibandingkan dengan Pink Floyd.

Perseteruan satu lawan tiga itu ternyata ada akhirnya. Pada 2 Juli 2005 Pink Floyd ikut dalam konser amal Live 8 yang diinisiasi oleh Bob Geldof. Reuni itu sangat bersejarah, dinanti-nantikan semua penggemar Pink Floyd nyaris seperempat abad lamanya, sebab kuatir batal, terutama takut bahwa kebencian Waters pada Gilmour mengemuka dan merusakkan momen itu. Tapi syukurlah, walau di bawah tekanan, mereka sukses reuni untuk membawakan “Breathe”, “Money”, “Wish You Were Here” dan “Comfortably Numb.” Setelah konser para penggemar berharap lebih jauh dari itu; tapi itu agak mustahil. Positifnya, reuni itu memperbaiki hubungan mereka. Nick Mason kembali akur dengan Rogers dan diajak untuk main drum di konser Roger Waters, termasuk ketika dia membawakan seluruh isi album The Dark Side of the Moon di Hyde Park, London.

Jelas karena renta dimakan usia, setelah konser Live 8 itu Richard Wright sakit-sakitan, bahkan batal menghadiri pelantikan Pink Floyd terpilih masuk dalam UK Music Hall of Fame, pada 16 November 2005. Dan kira-kira dua tahun setelah ikut dalam konser David Gilmour Live in Gdansk (Polandia), Wright meninggal dunia pada 26 Agustus 2008. Itulah penampilan terakhirnya di panggung. Dua tahun sebelumnya, pada 7 Juli 2006, Syd Barrett diberitakan meninggal dunia pada umur 60 tahun.

Sekarang Pink Floyd telah menjadi jimat dan reruntuhan. Mereka menyisakan warisan yang besar. Tiga anggotanya yang masih hidup kini sudah tua, gemuk, lamban; tapi mungkin juga lebih bijak, dan mau mengakhiri karir dengan cara lebih baik. Selain pernah menampilkan sisi gelap kehidupan dalam diri masing-masing, toh berlian-berlian ini tetap bersinar.

[Anwar Holid, penggemar Pink Floyd
yang belum pernah merasakan LSD
]

Tulisan terkait: Binatang-binatang di Kepala Syd

Kineruku mengoleksi beberapa album Pink Floyd, di antaranya: The Dark Side of the Moon (1973), Wish You Were Here (1975), The Wall (1979), The Final Cut (1983), A Momentary Lapse of Reason (1987), dan P*U*L*S*E (live album, 1995). Juga tersedia album solo Roger Waters yaitu Amused to Death (1992), serta album solo David Gilmour yaitu On An Island (2006) dan DVD konser Live in Gdansk (2008).

[MP3]
Pink Floyd – Jugband Blues
Pink Floyd – The Great Gig In The Sky
Pink Floyd – Is There Anybody Out There?

 

Comment (1)

  1. Danan 15 years ago

    Wah, trims sekali untuk bacaan mengenai Pink Floyd. Saya jadi tau lebih banyak mengenai grup ini. Pertama kali saya mendengar musik Pink Floyd sekitar tahun 1975. Ternyata lagu yang sering saya dengar melalui sebuah stasiun radio underground waktu itu judulnya The Great Gig in the Sky. Karena di jaman itu harg kaset murah, saya leluasa berburu album2 Pink Floyd. Waktu itu ada satu rumah produksi(?) yang mengeluarkan kaset2 dari grup2 yang bagi saya sesuai selera. Nama rumah produksi itu YES, kalau tidak salah juga di Bandung. Sekarang ini saya sudah berhasil punya The Dark Side of The Moon, Wish You Were Here, Animals, The Wall, The Final Cut, Meeddle, Atom Heart Mother.
    Saya pernah mendengar musik Pink Floyd ketika Syd masih aktif, tapi musik itu tidak pas dengan selera saya. Pernah juga saya dengar musik Pink Floyd setelah Roger Waters cabut, tapi tidak pas juga dengan selera saya. Musik Pink Floyd tanpa Roger Waters bagi saya jadi terdengar terlalu encer. Gitar Gilmour terasa dominan sekali. Jadi terasa lebih ngepop. Film konser Delicate Sound of Thunder pernah saya lihat. Division Bell dan Momentary Lapse of Reason pernah saya dengar… Saya pernah punya kaset album solo Gilmour, About Face…
    Album2 solo Roger Waters lebih sesuai selera saya, misalnya: Pros and Cons of Hitchhiking (Eric Clapton ikut main di situ), Amused to Death, Radio K.A.O.S… Ada satu lagi album Roger Waters dalam bahasa Prancis Ca ira(?)… sepertinya menarik, tapi ketika saya sudah ngumpulin duit dan mau beli album itu… sudah tidak ada. Konser yang dibuat Roger Waters pun lebih punya makna bagi saya dibandingkan konser Pink Floyd tanpa Roger (Delicate Sound of Thunder misalnya). Segala tata panggung, tata cahaya dalam setiap konser Roger W. terasa mewakili makna dari lagu2 yang dibawakan (The Wall, In The Flesh).
    Semuanya memang selera.
    Seperti halnya Pink Floyd, grup lain yang warna musiknya jadi encer adalah Genesis setelah ditinggalkan Peter Gabriel.

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Subscribe