Berapa banyak film Indonesia yang berani berbicara tentang tema-tema besar yang selalu menghantui bangsa ini?
Beberapa film kita di masa lalu dengan cerdasnya bisa mengomentari kondisi bangsa kita lewat sentilan-sentilan halus. Beberapa yang lain mencoba pretensius dengan tendensi menceramahi, dan hasilnya gagal total. Malah ada yang berusaha tampak pintar dengan tema besar itu ketika kenyataannya ia terbata-bata untuk bicara. Jangan-jangan tema sosial (apalagi yang menyangkut ‘narasi besar’) akan menjadi momok filmmaker kita. Di tangan koki yang salah, bahan-bahan berbahaya dan sulit semacam itu bisa menjadi bencana.
Lalu bagaimana ketika Joko Anwar yang menawarkan diri sebagai koki?
Lewat film keduanya, Kala, Joko Anwar sekali lagi menawarkan sebuah komentar atas bangsa ini dengan gaya yang betul-betul baru, untuk ukuran Indonesia. Tidak lewat humor-sindiran, tidak juga lewat sinisme yang nyinyir. Tapi lewat sebuah alegori yang begitu kelam, sehingga unsur humor susah payah mendapatkan tempatnya di sini.
Alegori itu hadir dalam bentuk sebuah negara yang tak pernah disebut namanya. Tampaknya setting itulah justru tokoh utama kisah ini. Kondisinya dituturkan lewat sosok Eros (Ario Bayu), polisi yang sudah begitu apatis dengan masyarakatnya yang semakin sakit. Di sisi lain ada Janus (Fachri Albar), seorang wartawan pengidap penyakit narkolepsi. Penyakit yang selalu membuatnya tertidur di saat yang tidak tepat itu menggerogoti karir dan perkawinannya. Sebuah rekaman diam-diam dari seorang narasumber membawanya ke pusaran gejolak yang melibatkan rahasia besar masa lalu negara itu. Kemudian darah mulai tumpah.
Bahkan dalam press release-nya, KALA digembar-gemborkan sebagai “Indonesian Noir“. Apa sebetulnya gaya noir? Dulu di Amerika gaya noir sering dipakai ketika masyarakatnya sedang menghadapi pesimisme kronis tentang hidup. Maka tampaknya gaya noir seharusnya cocok untuk mengomentari kondisi kita saat ini. Problemnya, gaya noir belum akrab di benak penonton kita. Di Amerika saja, noir berkembang bertahap bermula dari Ekspresionisme Jerman yang kemudian perlahan-lahan dirasa cocok untuk menggambarkan mood tertentu. Joko mengambil risiko besar di sini.
Tapi pernah menonton film noir atau tidak sebelumnya, sinematografi KALA luar biasa. Kesan muram, langit yang tidak pernah cerah, gedung-gedung yang keropos berlumut menunggu ambruk, semua terekam dalam tone warna yang suram dan tata cahaya low-key.
Sayangnya, sebagai film dengan sinematografi noir, ceritanya sendiri kurang menjadi noir. Bahan-bahannya sudah memenuhi syarat, tapi plot, keputusan para tokoh dan (terutama!) ending-nya, membuat KALA tergolong thriller biasa. Untungnya, sebagai thriller, KALA di atas standar. Selain berhasil meneror penontonnya, film ini juga berhasil menampilkan twist cerita yang cukup cerdas dan storytelling yang rapi, meskipun bukan tanpa kelemahan. Jika saja film ini harus berbicara sendiri tanpa pernyataan-pernyataan verbal para filmmaker-nya, kemungkinan penonton dan filmnya sendiri akan sama-sama tergagap di beberapa tempat. Misalnya tema masyarakat yang busuk di “negeri tak bernama” itu. Keramahan orang-orang asing di negeri itu, yang begitu saja membagi informasi demi memacu plot lebih cepat maju, bagi saya mengurangi kesan “busuk” itu. Belum lagi kenyataan bahwa selain ibu muda dan bayinya yang ditinggalkan jatuh begitu saja, kebusukan masyarakat lebih banyak muncul lewat ucapan para tokohnya. Penonton lebih banyak diberitahu, bukan diperlihatkan.
Di luar segi cerita, Joko bahkan bermain dengan persepsi penonton Indonesia lewat pemilihan peran aktor-aktornya. Garis wajah August Melasz yang keras tidak lagi ditafsirkan sebagai karakter jahat, tapi lebih sebagai seorang tokoh tua yang sudah makan asam garamnya hidup. Sebaliknya, wajah kebapakan Frans Tumbuan bisa jadi topeng belaka.
Dunia Joko Anwar
Joko menciptakan dunia yang betul-betul berbeda, yang selalu ditekankan bahwa ini bukan Indonesia yang kita kenal. Sebuah negeri antah berantah. Tapi saya selaku penonton masih sangat merasakan ke-Indonesia-an dari negeri yang meranggas itu. Ini sebuah keberhasilan storytelling yang hebat, mengingat setting antah berantah sering beresiko mengasingkan penonton dari dunianya yang ia kenal. Justru, di sini semuanya tampak begitu akrab.
Di sinilah paradoksnya. Dengan menjauhkan diri dari realisme, KALA malah berhasil mendekatkan diri dengan realitas sosial-politik Indonesia kontemporer. Sebuah terobosan kreatif, mengingat bangsa yang neurotik ini masih selalu ketakutan menghadapi boroknya sendiri.
Dengan dunia antah-berantahnya, Joko bebas berekspresi. Secara legal tidak seorangpun bisa menuduh ia sedang berbicara tentang Indonesia. Ketidakbebasan sineas kita untuk menyentil pamong negeri ini diakali dengan cerdik. Sambil berkelit, Joko bisa mengacungkan jari tengahnya di hadapan mereka.
Mungkin terdengar ekstrem, tapi begitu adanya. Di dunia Joko, petinggi atas awan yang biasanya hanya menikmati hasil kerja kotor, kini diceburkan tanpa ampun, terlibat penuh dalam kerja kotor itu. Menyiksa, membunuh, mengkhianati. Menteri, kepala polisi, pejabat kepresidenan. Darah mengalir, baik yang terjustifikasi maupun yang tidak.
Darah siapa?
Bicara soal darah, mau tak mau menggiring saya ke soal nilai. Karena bagi saya cipratan darah tidak pernah menjadi soal yang remeh. Termasuk yang dirayakan di pita seluloid. Bertolak dari situ, tiba-tiba saya menemukan satu poin yang kiranya agak merisaukan.
Sebelumnya, mari kita sepakati nilai ini: tidak peduli sebesar atau seagung apapun sebuah tujuan, pembunuhan dan perusakan tidak dapat dibenarkan.
Di tengah dunia yang kacau ini, Joko tetap memiliki sebuah sikap. Ia mengutuk perusakan berlandaskan rasa suci oleh kaum perusuh (sesuatu yang sangat familiar di Indonesia yang kita kenal). Tendensi arogansi moralistik digambarkan lewat poster-poster propaganda dan peraturan yang mengekang wanita. Jelas itu sebuah penggambaran yang luar biasa sinis.
Tetapi kemudian, mungkin demi mengejar ketegangan cerita, pembunuhan yang terjustifikasi bahkan disertai teror. Dan itu tidak melulu menimpa orang-orang yang berdosa. Entah disadari atau tidak, nilai-nilai yang dianut para perusuh (yang dikutuk Joko) malah seperti diamini oleh “the force of good” dalam dunia ini, bahkan dengan implementasi yang lebih mengerikan.
Bisa jadi muncul argumen balasan, bahwa kalau kita kembali ke tradisi noir, semua nilai menjadi abu-abu. Bahkan nihilistik. Maka ketika para protagonis berlaku keji pun, mungkin penonton diharap maklum saja. Masalahnya, pada kasus KALA, ambiguitas nilai itu kurang terasa bagi saya. Malah keberpihakan Joko pada nilai tertentu terlihat jelas. Dan itu membuat pembenaran tidak langsung yang hadir menjadi agak mengganggu.
Meskipun kita memasuki dunia Joko Anwar, tetap saja alam pikirnya takkan pernah bisa kita tebak. Jangan-jangan ia jauh lebih gelisah daripada yang ditunjukkannya dalam film ini. Jangan-jangan ia jauh lebih noir daripada filmnya sendiri.
Resep baru, nasib lama
Bagi saya film ini tetap wajib tonton. Di sini standar sinematografi dan penceritaan sinematik Indonesia baru saja dinaikkan. Setelah membuktikan diri sebagai koki yang bisa memasak resep orang, Joko Anwar kini menghadirkan resep baru ciptaannya sendiri. Resep yang inovatif di tengah orang-orang yang lesu darah.
Dan selayaknya hal baru di mana pun, kebanyakan orang akan terkaget-kaget terlebih dahulu, bingung, mencela, memuji, dan baru bisa menilainya secara kritis nanti, setelah beberapa masa. Apalagi untuk sebuah film yang berani-beraninya menyentuh hal-hal sensitif, yang selalu disangkal oleh bangsa yang tidak mau dewasa.
[Ifan Ismail]
KALA (2007)
Sutradara/Skenario: Joko Anwar
Pemain: Fachri Albar, Ario Bayu, Shanty, Fahrani, Tipi Jabrik, Arswendi Nasution, Frans Tumbuan, Jose Rizal Manua, Rima Melati, Sujiwo Tejo.
Director of Cinematography: Ipung Rachmat Syaiful
Music: Aghi Narottama, Zeke Khaselli
Durasi: 102 menit