High Fidelity
Nick Hornby, 1995
Victor Gollancz Ltd, 253 pp
Budaya pop—suka atau tidak—melekat erat sebagai bagian tak terpisahkan dari hidup kita. Ia mempengaruhi pakaian yang kita kenakan, bahasa yang kita gunakan, sampai ke pola pikir kita memandang hal-hal. Persahabatan bisa terjalin dari kesamaan selera dua orang dalam musik/buku/film, isu yang diangkat di artikel majalah atau acara televisi seringkali membuka sebuah obrolan akrab atau perdebatan hangat. Apa boleh buat, dunia kita telah dirangkai dan dibangun dari hal-hal yang sepintas lalu terkesan remeh ini.
Musik, terutama. Pondasi filosofis bagi orang-orang yang kini berumur 17-30 tahun tampaknya tersusun dari lagu-lagu Bob Marley atau Minor Threat atau Morrissey. Efek musik pop bagi generasi saya adalah raksasa. Jika kita amati anak-anak SMA atau kampus di sekitar kita, terlihat betap mereka kerap mengidentifikasikan diri mereka berdasarkan musik-musik yang dikonsumsi. Maka menyenangkan ketika mendapati seorang seniman merayakan hal ini: meneliti fenomena tersebut, memasukkannya ke dalam karya pop. Seorang budayawan pop yang sendirinya juga adalah seorang penggemar budaya pop, yang mengerti pentingnya film The Godfather atau musik The Clash. Jika membaca Chekhov, misalnya, adalah setara dengan mendengarkan musik klasik, maka membaca Nick Hornby adalah seperti mendengarkan sebuah lagu pop kesukaan kamu, di mana kamu tumbuh bersamanya. Terobsesi pada artisnya, fanatik terhadap musiknya. Novel High Fidelity kurang lebih mengenai hal tersebut: fanatisme terhadap budaya pop, berikut hal-hal manis dan juga pahitnya.
Perkenalkan, tokoh utama kita, Rob Fleming: seorang pemilik toko musik di London, menemukan dirinya di usia menginjak 30, namun belum sanggup meninggalkan impian-impian usia 20-nya. Di saat teman-teman dan mantan kekasihnya sudah jauh berkembang menjadi dewasa, dirinya masih saja keras kepala berada di tempat yang sama. Nilai-nilai yang ia pegang teguh selama ini tak mendapat tempat di mana pun di dunia nyata ini. Sementara buku, musik, dan film telah menyesaki kepalanya dengan ide-ide romantis tentang kehidupan yang bebas dan non-konformis. “…I agreed that what really matters is what you like, not what you are like… Books, records, films—these things matter. Call me shallow but it’s the fuckin’ truth.”
Rob sendiri adalah karakter yang kocak. Atau, mungkin, lebih tepatnya: tolol. Pemikiran dan tingkahnya kerapkali ajaib dan bodoh. Di luar musik, bisa jadi ia tidak memiliki kepintaran apa-apa. Sikap keras kepala pada satu-satunya bidang yang dia kuasai tersebut menjadikannya seorang musical snob. Hal ini memasok novel High Fidelity dengan momen-momen lucunya. Seperti saat Rob dan temannya mengusir pelanggan dari toko hanya karena orang tersebut mencari album Stevie Wonder (“Do we look like a store that sells ‘I Just Called to Say I Love You’? Go to the mall!“), atau saat dia membuat daftar musisi yang menurutnya pantas ditembak mati (Simple Minds, Michael Bolton, U2, Bryan Adams, Genesis), atau juga saat dia membantu temannya membentuk sebuah grup musik band punk/heavy-metal/noise/experimental bernama Sonic-Death-Monkey.
Ratusan atau bahkan ribuan lagu yang ia dengar telah menumpulkan otaknya, menghambat jalan hidupnya. Maka konflik yang lantas muncul dalam novel ini adalah: haruskah ia berubah? Haruskah ia meninggalkan obsesinya pada segala musik yang liar dan fantastis itu? Yang telah membuatnya ‘istimewa’ selama ini? Yang membuat hidupnya selama ini ‘bisa’ dijalani? Seperti kata Rob, “Did I listen to pop music because I was miserable? Or was I miserable because I listened to pop music?”
Pada akhir buku, Rob—dan mungkin juga sekaligus pembaca—akhirnya menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, yang selama ini ternyata berada tepat di depan matanya sendiri. Dan bahkan ketololan Rob pun tak kuasa menjauhkannya dari kenyataan penting tentang arti kehidupan, kematian, juga semua melodi indah yang mengalun di antaranya. Selamat membaca.
[Indra Permadi]
Kineruku juga mengoleksi film High Fidelity (Stephen Frears, 2000) yang diadaptasi novel ini, klik di sini. Juga tersedia buku-buku karya Nick Hornby yang lain seperti A Long Way Down, How to be Good, The Complete The Polysyllabic Spree—selengkapnya tengok di sini.