Saya tetap tidak bisa mengerti kenapa orang tidak bisa mengerti Bandempo. Beberapa waktu lalu misalnya, penulis muda Muhamad Hilmi menulis tentang musik band Institut Kesenian Jakarta (IKJ) itu sebagai berikut: “Secara musik jelas mereka bukan tipe yang mudah bersahabat dengan kuping, sound rekaman mereka seperti direkam langsung dari amplifier studio latihan di pinggiran kota yang dihasilkan dari alat murahan dan efek gitar seadanya. Belum lagi mengenai cara menyanyi Anggun Priambodo yang jauh dari kata merdu, bahkan band sekolahan level SMP pun memiliki vokalis yang lebih enak dengar dibanding Anggun yang bernyanyi seolah enggan beranjak menuju akil baligh, meskipun ia telah sunat tiga kali. Dosis tinggi absurditas pada lirik mereka jelas tak membantu.”
Saya tidak tahu apakah membandingkan Bandempo dengan puisi Sutardji Calzoum Bachri di ulasan tersebut merupakan sebuah pujian atau malah sebaliknya. Keraguan juga saya dengar dari seorang rekan yang menulis di jaringan media sosial, “Butuh nyali buat ngerilis band ini secara apa masih ada yg tau band ini?” Juga, seorang rekan pelapak musik di luar Jakarta dengan segan mengatakan bahwa tidak perlu mengirim terlalu banyak vinyl rilis ulang Bandempo karena cukup khawatir dengan prospek suram pemasarannya. Ini membuat saya berfikir ulang tentang kesahihan dalil Efek Rumah Kaca tentang pasar yang bisa diciptakan. Mungkin pasar memang bisa diciptakan bagi lagu mendayu dan paras ayu biduan tertentu.
Ada begitu banyak catatan, caveat, kualifikasi serta parenthesis untuk Bandempo, namun di sisi ekstrem yang lain ada begitu banyak pujian dan ketakjuban. Yang paling ekstrem mungkin apa yang ditulis oleh Harlan Boer di Jakartabeat di tahun 2014, bahwa album semata wayang Bandempo merupakan rekaman Indonesia terbaik dari dekade pertama milenium ini, bahkan mengalahkan Centralismo Sore dan The Nekrophone Dayz Homicide, sebuah keputusan yang membuat banyak dahi berkerut. Pujian senada juga datang dari dedengkot ruangrupa, Indra Ameng. Ketika ditanya oleh Rudolf Dethu tentang apa album favorit sepanjang masa, Ameng menjawab dengan mudah bahwa Bandempo merupakan “one of my top five Indonesian bands and a conceptually perfect album.”
Saya memilih berdiri di tengah kedua posisi ekstrem itu. Album tanpa nama Bandempo ini adalah album yang cukup bisa dikatakan bagus. Dengan kualitas rekaman lo-fi (yang sepertinya memang disengaja) agak terlalu sulit mengatakan bahwa ini adalah album mahakarya (kata “mahakarya” sepertinya sudah mengalami defisit karena hampir rutin dipakai sebagai kata sifat superlatif untuk album yang sesungguhnya medioker. Saya lebih konservatif, kata mahakarya hanya bisa dipakai untuk Badai Pasti Berlalu, Alam Raya, atau Another Green World).
Tahun 2008, saya tinggal di Amerika Serikat dan teman sekampus saya Philips tiba-tiba menyampaikan kabar yang tidak biasa. Waktu itu kami memang lebih banyak bicara soal musik ketimbang materi kuliah maupun kondisi politik dalam dan luar negeri. Begitu seringnya bicara soal musik malah sempat muncul ide untuk mendirikan record label. Nama Bangkutaman sering disebut kala itu. Kali lain pembicaraan berpusat pada file .wav yang dia terima dari Indra Ameng. Rupanya Ameng ingin file .wav itu menjadi babon bagi vinyl yang akan segera dirilis untuk pasar Indonesia. Dari yang saya dengar, Ameng begitu cinta pada album tersebut dan ingin segera merilis ulang dalam format abadi tersebut. Ameng tidak punya kontak ke pressing plant di Amerika Serikat, dan Philips menawarkan untuk membantu mencari kontak. Namun sebelum kontak terbangun, Ameng membatalkan rencana rilis vinyl tersebut. “Ada satu lagu di master tape yang belum jelas siapa pengarangnya, dan kita bisa kena masalah dengan hak cipta kalau memutuskan untuk merilisnya,” Philips memberi penjelasan kepada saya. Rencana batal dan master file .wav itu saya simpan. Itulah untuk pertama kali saya mendengarkan Bandempo dan benar seperti yang dikatakan Hilmi, Bandempo adalah ‘an acquired taste.’ Dua, tiga kali mendengar album pendek delapan lagu ini, impresi pertama adalah Bandempo punya vokalis perempuan yang luar biasa yang mampu bernyanyi dengan nada gembira atau menanjaki nada tinggi sampai bisa berteriak kesetanan paling baik yang pernah saya dengar di musik Indonesia. Saya juga sempat berfikir bahwa album Bandempo ini barusan direkam paling lama satu tahun sebelum master file itu dikirimkan ke kami.
Selama delapan tahun berikutnya file .wav album Bandempo itu adalah musik dalam bentuk digital paling berharga yang pernah saya miliki. Dari masa delapan tahun itu, saya juga tidak pernah bisa dengan tegas merumuskan sebenarnya jenis musik apa yang dimainkan Bandempo: rock ‘n roll, indie rock, britpop, post-punk, ska, indo-pop atau rock nostalgia? Yang jelas ada aroma Indonesia dan sekaligus nihilisme yang sangat pekat di sekujur album sepanjang 24 menit ini.
Mungkin yang dimaksud dengan puisi Sutardji ada di lagu pembuka “Bukan Propaganda”. Dengan judul yang kita harapkan akan berisi sebuah perbincangan tentang politik, lagu ini tentu saja adalah sebuah upaya trolling paling kejam. Tidak jelas benar apa hubungan propaganda dengan cerita tentang mimpi semalam di rumah biru, biri-biri terbang dan teriakan-teriakan sugestif pemicu kenikmatan yang mungkin akan digerebek oleh Pak Polisi. Pada departemen penulisan lirik, Bandempo memberikan pelajaran master class tentang bagaimana menulis lirik omong-kosong dengan tema remeh-temeh tentang makan permen, pergi memancing, menonton Srimulat di televisi atau menunggu kereta api lewat, sehingga mampu memiliki kekuatan makna utuh sama seperti hal-hal yang lebih masuk akal seperti tema jatuh cinta dalam komposisi pop arus utama. Perhatikan bagaimana efektifnya lirik “Tukaran Permen” menyampaikan kepolosan jalinan hubungan manusia di era pra-media sosial atau bagaimana empat kata “awas ada kereta lewat” bisa dengan sangat berhasil menggambarkan riuh-rendah dan kompleksitas kehidupan urban. Mendengarkan lirik Bandempo adalah kembali ke masa di mana kebahagiaan masih bisa didapatkan dari hubungan antarmanusia secara langsung dan bahkan ketika kebahagiaan itu mesti diperantarai oleh media, dalam hal ini televisi, seperti di lagu “Aneka Ria Srimulat”, Bandempo lebih menekankan kebersamaan komunal yang bisa dibangun dari menonton acara kesayangan. Ini yang membuat riuh rendah teriakan penonton di lagu ini menjadi bagian tak terpisahkan dari komposisi musiknya.
Meski demikian, ada sebuah pengecualian yang justru semakin menunjukkan bahwa jika mereka mau, Bandempo bisa menjadi band dengan kemampuan menulis lirik ‘normal’ dengan kualitas paling baik di blantika indie Jakarta. Tidak aneh jika “PDKT 6 Bulan” menjadi single pertama, mengingat kenormalan lirik cinta monyet yang sarat makna. Sungguh romantis lirik berima sama empat bait semacam ini: “Pendekatan enam bulan/ rasa sayang tak kan hilang/ janji pergi telah datang/ hari ini kan ku kenang/ engkau kan datang/ dada bergetar duka melayang hatiku riang//” Bandempo mampu mencari makna paling luas dengan diksi terbatas. Bandempo bisa menjadi rekan mereka dari IKJ, Naif jika mereka mau, namun mereka memilih jalan lain.
Ini kita sama sekali belum berbicara tentang musik mereka. Untuk album yang hanya berdurasi 24 menit, Bandempo melakukan banyak akrobat berbahaya untuk mendekonstruksi musik pop. “PDKT 6 Bulan” adalah ramuan pop manis dengan kocokan riff gitar yang renyah di dua kanal, namun justru tumpuan melodis dibebankan kepada permainan bass yang meliuk bebas sepanjang lagu. Bahkan ketika seharusnya membutuhkan gitar solo yang seharusnya sangat melodis seperti di track lain di album ini, di tengah lagu, gitaris Jimmy Lin justru malah memainkan riff-riff funky dua kord yang hanya diulang-ulang. Sapuan melankolis juga hanya muncul dari dengung keyboard tipis yang melayang di antara kerapatan rhythm section.
Keajaiban lain adalah “Marah-Marah”, yang konon kabarnya adalah lagu anak-anak milik Adi Bing Slamet. Di lagu ini, Bandempo mendekonstruksi apa yang mungkin bisa dikatakan sebagai musik pop Indonesia modern. Sejak Benny Soebardja memaki musik dangdut dengan sebutan ‘tai anjing,’ jurang yang memisahkan antara rock dan dangdut semakin tidak mungkin dijembatani lagi.. sampai Bandempo membawakan “Marah-Marah”. Lagu ini hanya berdurasi dua menit delapan belas detik, namun dengan masa sejengkal itu Bandempo bisa dua kali memainkan fragmen musik dangdut dengan sangat sempurna tanpa transisi atau perpindahan kord, dan hanya sedikit membutuhkan bantuan dari ketukan perkusi tipis untuk menciptakan irama joget yang menggila. Untuk pencapaian ini Bandempo tidak hanya butuh keterampilan teknis memainkan instrumen rock untuk menggoyang nada-nada miring dangdut, namun juga naluri main-main yang sudah terasah dengan baik—sesuatu yang lebih mudah tumbuh di lingkungan semacam Institut Kesenian Jakarta.
Sabotase paling brutal tentu saja adalah “Kereta Lewat”, yang mungkin merupakan salah satu ringkasan terbaik 50 tahun sejarah musik rock dalam waktu dua menit. Ada banyak kejutan di sini. Dimulai dengan denting-denting gitar psikedelik dan derau efek gelombang dari synth murah, lagu ini segera naik ke kecepatan maksimal dengan kocokan gitar punk tiga kord sebelum masuk ke teritori rock ‘n roll dan funk di kedua kanal speaker. Vokal Anggun juga ada di dua kanal, satu dengan teriakan feminin dari megafon yang direkam terlalu jauh, sedangkan satu lagi dengan vokal nasal yang mencapai klimaks pada teriakan kesetanan di akhir lagu.
Ketika pada akhirnya memutuskan untuk menjadi normal, Bandempo tidak pernah terlalu mengecewakan. “Berlayar” adalah bukti tak terbantahkan tentang kepiawaian kolektif sebuah band dalam menyatukan beberapa ide komposisi brilian ke dalam tiga menit gula-gula pop kadar tinggi. Sekali lagi bass memainkan peranan kunci di sini. Sepuluh detik pertama “Berlayar” mungkin adalah permainan bass terbaik Iwent di album ini, di mana dia bebas mendaki nada rendah ke nada tinggi tanpa upaya terlalu keras yang menjadi tumpuan lagu sepanjang tiga menit ini. Ada saat di mana melodi bass dan gitar bertemu dan menghasilkan efek euforia yang mengingatkan saya kepada efek bahagia dari mendengarkan lagu power pop Big Star “September Gurls”. Anggun juga menyanyi dengan kegembiraan kanak-kanak yang mudah menular di mana di setiap akhir kalimat ‘berlayar” ada chorus jutaan dollar yang bahkan tidak pernah bisa dikarang oleh Bing Slamet.
(Ini adalah cuplikan dari naskah yang akan menjadi bagian buku Taufiq Rahman Pop Kosong Berbunyi Nyaring: 13 Hal Yang Tidak Perlu Diketahui Tentang Musik yang akan segera terbit melalui Elevation Books.)
>> Vinyl Bandempo bisa didapatkan di Kineruku.