Kalau tidak sengaja bertemu kenalan yang menanyakan kabar, dengan cukup jujur aku bisa bilang bahwa aku baik-baik saja sambil mengingat hal-hal yang kusyukuri belakangan ini. Kalau sedang sendirian di kamar mandi, aku juga bisa menghadap cermin lalu tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa. Namun, kalau kamu yang ada di hadapanku, aku bakalan bilang bahwa mungkin aku sedang kurang baik. Penyebabnya bisa jadi ada beberapa, tapi dua yang terlintas di benakku saat ini adalah Nenek meninggal minggu lalu, dan pada saat bersamaan, aku kesulitan menyelesaikan reportase acara peluncuran buku biografi Nick Drake di tempat kerjaku beberapa waktu yang lalu.
* * *
Setahun terakhir, kondisi kesehatan Nenek terus menurun. Usianya sudah 83 tahun. Meninggalnya Nenek sebetulnya bukan kejutan, karena beberapa bulan lalu aku bahkan sempat mengunjunginya untuk berpamitan. Semua orang akan meninggal. Akan tetapi, entah mengapa kesedihan karena ditinggalkan tidak bisa ditanggalkan saat peristiwa itu akhirnya terjadi.
Ketika datang kabar bahwa Nenek meninggal, aku baru saja pulang, merendam cucian, serta mandi air hangat. Mama sampai di rumah ketika aku bersiap-siap tidur, lalu menyampaikan kabar tersebut. Mama menanyakan apakah aku akan ikut melayat ke rumah Nenek, ke kota yang paling tidak ditempuh selama dua belas jam lewat perjalanan darat. Perlu waktu buat mencerna berita dan menjawab pertanyaan tersebut. Aku menjawab, “Iya,” tanpa memikirkan bagaimana dan berapa lama aku akan pergi ke sana. Hal pertama yang terlintas di benakku adalah cucian mesti diselesaikan pada malam itu.
Meski Nenek sudah tidak ada lagi bersama kami, Mama ingin segera ada di tempat Nenek berada. Mama berusaha mencari mobil dan sopir yang bersedia mengantar kami ke rumah Nenek pada saat itu juga, dan tentu saja itu sia-sia. Waktu itu hampir jam sebelas malam. Aku ingin tidur, dan berharap kami naik kereta pagi saja keesokan harinya. Ketika Mama masih mencari mobil rental, aku naik ke tempat tidur dengan pintu kamar terbuka, supaya Mama bisa langsung membangunkan kalau upayanya berhasil. Namun, pagi-pagi ketika langit masih gelap, aku terbangun sendiri. Begitu membuka mata, aku langsung ingat bahwa Nenek sudah meninggal. Baru saat itulah aku betul-betul merasakan kesedihan.
* * *
Kami semua berangkat dengan kereta pagi. Nenek dikuburkan pada malam ketika beliau meninggal. Waktu dan peristiwa rasanya bergulir cepat. Samar-samar, aku ingat saat duduk menghadiri pengajian Nenek di antara anak-anak, mengunjungi makam Nenek keesokan paginya, menemani pamanku yang dirawat di rumah sakit, tidur, makan, mondar-mandir ke tukang fotokopi membantu menyiapkan keperluan pengurusan surat kematian; dan bertemu dengan anak-anak Nenek secara lengkap, yang rasanya tidak bakalan terjadi lagi kalau Nenek tidak meninggal. Aku kembali ke Bandung setelah dua malam menginap di rumah Nenek. (Masih bisakah aku menyebutnya demikian ketika sekarang Nenek sudah meninggal?)
Aku kembali bekerja segera setelah kembali ke Bandung. Aku lega karena berhadapan kembali dengan hal-hal yang akrab: buku, teman, serta pekerjaan yang kutahu bagaimana cara melakukannya. Aku mendapati, ada pekerjaan praktis, yang bisa kuselesaikan cukup dengan pikiranku, dan ada juga pekerjaan yang juga perlu menggunakan perasaan. Pekerjaan itu adalah menulis. Meskipun sudah kembali menghadapi pemandangan yang akrab, untuk bisa menulis, aku tidak bisa tidak merasakan kesedihanku.
* * *
Sejak awal, menulis tentang Nick Drake sudah merupakan hal sulit bagiku. Aku tidak biasa menggunakan kata untuk memahami perasaanku saat mendengarkan musik. Selain itu, aku belum pernah mendengarkan lagu Nick Drake, pertama kali mendengar namanya aku bahkan tertukar antara Nick Drake dan Nick Cave. Bahkan, saat akhirnya mendengarkan lagunya pun, lagu-lagu itu tidak menempel di telinga maupun hatiku.
Aku mencatat beberapa hal dari obrolan ketika peluncuran buku biografi Nick Drake di Kineruku. Nick Drake meninggal di usia relatif muda, baru 26 tahun. Menurut Dimas Ario, selama hidupnya Nick Drake menghasilkan tiga album: Five Leaves Left (1969), Bryter Layter (1971), dan Pink Moon (1972), yang secara kualitas bagus, tetapi secara penjualan kurang bagus. Setelah Nick Drake meninggal, album-album tersebut tersebut mempengaruhi banyak musisi lain, mulai dari Elton John hingga Belle and Sebastian. Bahkan Robert Smith konon menamakan grupnya The Cure lantaran terinspirasi lirik lagu yang ditulis oleh Nick Drake.
Menurut A.M., penerjemah biografi Nick Drake yang ditulis oleh Patrick Humphries, musik Nick Drake terbilang kurang catchy. Saat ini ada banyak orang yang menggemari musik folk. “Di ruang sekretariat unit kegiatan mahasiswa, saya sering sekali mendengar musik folk sedang diputar,” katanya. Ironisnya meskipun Nick Drake mengusung musik folk pada saat di mana ada sederet musisi yang juga mengusung genre tersebut, seperti Fairport Convention, Bert Jansch, maupun The Incredible String Band, pada akhir dekade ‘60an, semasa Nick Drake hidup musiknya kurang disimak. Namun penerbit Jungkir Balik, yang menerbitkan buku biografi Nick Drake edisi bahasa Indonesia, bertujuan memunculkan sosok-sosok yang di luar arus utama. Menurut mereka, Nick Drake adalah salah satu sosok yang patut dikenal oleh para penikmat musik folk.
Pertanyaan yang muncul selama berlangsungnya obrolan antara moderator, A.M., Dimas Ario, dan Oscar Lolang, seorang musisi yang kerap membawakan lagu Nick Drake, mirip dengan pertanyaan yang muncul dalam buku biografinya: siapa sesungguhnya Nick Drake? Mengapa dia meninggal pada usia yang begitu muda? Seandainya dia bertahan hidup, apakah karyanya masih akan tetap disukai? Apa makna kesuksesan bagi seorang musisi, ketika dia mampu membuat karya yang memuaskan hatinya, atau ketika karyanya mendapat apresiasi dari banyak orang?
Nick Drake meninggal pada 25 November 1974. Saat ini, hampir empat puluh tiga tahun setelah kejadian tersebut, beredar banyak mitos tentang Nick Drake. “Misalnya, ada mitos bahwa sekeras apapun lagu Nick Drake diputar, lagu itu akan tetap terdengar sunyi,” kata Oscar. “Di YouTube, kemunculan sosok Nick Drake, bahkan yang mirip Nick Drake, disambut seperti video kemunculan Nessie, si monster danau Loch Ness.” Meski demikian, yang lebih penting ketimbang mitos adalah karya. Oscar mengaku, saat pertama kali mendengarkan album Pink Moon matanya berkaca-kaca. Ada perasaan aneh yang dirasakannya. Oscar mulai mencari patokan open tuning lagu-lagunya Nick Drake karena ternyata sangat sedikit lagu Nick Drake yang memakai chord standar. Oscar mulai memainkan lagu Nick Drake di depan umum, terutama apabila cocok dengan setlist-nya. Dengan pengalamannya memainkan lagu Nick Drake, Oscar punya dugaan sendiri mengapa penampilan panggung dari musisi yang dia harapkan adalah kakeknya itu banyak dianggap membosankan. “Mungkin karena ketika manggung Nick Drake cuma menggunakan satu gitar,” ujar Oscar. “Padahal lagu-lagunya punya tuning yang berbeda. Kalau sambil nyetem, Nick Drake nggak ngobrol, bisa jadi perhatian penonton bakalan ke mana-mana.” Seseorang yang mengaku pernah menyaksikan pertunjukan Nick Drake mengatakan, “Menonton Nick Drake seperti menyaksikan orang sekarat yang ingin menyampaikan rahasia, tapi terus berubah pikiran sampai akhir hayatnya.”
Sementara itu, meski tak banyak mengungkap fakta yang belum diketahui tentang Nick Drake (ibu Nick sendiri mengatakan bahwa anaknya nyaris tidak meninggalkan jejak tentang perasaannya—tidak menulis diary—kecuali dalam lagu-lagunya), buku biografi Nick Drake ini ditulis oleh Patrick Humphries dengan memikat. Patrick tak hanya bercerita tentang kehidupan Nick Drake, tetapi juga tentang semangat zaman pada periode waktu itu. Patrick banyak menceritakan peristiwa yang terjadi di dunia, mulai dari tenggelamnya kapal Titanic sampai kemunculan musisi dari kelas pekerja di Inggris. Ketika menggambarkan suasana tempat kelahiran Nick Drake, dengan jenaka Patrick menggunakan desa tempat tinggal Miss Marple—seorang perempuan tua lajang yang memecahkan berbagai kasus pembunuhan berkat keingintahuan dan kesenangannya ikut campur urusan orang lain—dari buku Agatha Christie.
Menyimak obrolan pada peluncuran buku tersebut, aku ingin mendengar lagu-lagu Nick Drake. Setelah obrolan usai, Oscar Lolang memainkan lagu Nick Drake dan lagunya sendiri. Oscar kedengaran lebih ekspresif ketika memainkan lagunya sendiri. Ketika kemudian mendengar lagunya lagi, aku ingin suka Nick Drake, tapi sejujurnya aku belum merasa begitu. Itulah yang membuat tugasku menulis reportase peluncuran biografi Nick Drake ini terasa sulit. Mungkin aku seperti orang yang belum bisa mengapresiasi Nick Drake ketika dia masih hidup.
Ketika aku tengah kesulitan menulis, kebetulan ada lagu Utha Likumahuwa sedang diputar di ruangan tempatku duduk. Seorang teman bercerita bahwa lagu itu sangat berkesan baginya, tidak cuma karena musiknya, tapi juga karena dia pernah menyanyikan lagu itu di depan kelas, ketika masih menjadi siswa kelas 5 SD. Untuk mengisi waktu, gurunya menawarkan kepada seluruh siswa di kelas, “Siapa yang ingin menyanyi?” Dengan percaya diri, temanku mengajukan dirinya. Padahal, dia sendiri mengakui bahwa suaranya kurang bagus.
Kupikir, respons seseorang terhadap musik merupakan hal yang personal. Kesan yang muncul tidak hanya ditentukan oleh apa yang terdengar oleh telinga, tapi juga oleh apa yang ada di hati pendengarnya. Seiring bergulirnya waktu, dan perkembangan yang terjadi di dalam diri seseorang, sebuah lagu bisa memunculkan kesan yang semakin kaya. Misalnya, sebuah lagu dapat mengingatkanku kepada pengalaman jatuh cinta dan patah hati pertama, kepada sahabat yang sudah tidak lagi bersahabat, dan kepada restoran yang menyajikan hidangan ayam istimewa. Aku percaya, pengalaman hidup pendengar akan membuatnya menyadari hal-hal yang sebetulnya sudah ada, tapi belum disadarinya ketika dulu mendengar musik tersebut. Mungkin saat ini, aku terlalu sibuk dengan berbagai perasaan yang membuatku belum bisa menyimak lagu Nick Drake dengan sungguh-sungguh. Jangankan mendengarkan lagu, mendengarkan cerita orang lain juga bisa menimbulkan kesalahpahaman apabila dilakukan dengan sepintas lalu. Bisa saja pada masa yang akan datang, ketika waktunya tepat, lagu-lagu Nick Drake akan menjadi lagu yang memberikan kesan istimewa di hatiku.
* * *
Sekarang, itu dulu yang bisa kuceritakan kepadamu. Aku berharap pada saatnya aku bisa bercerita tentang yang lainnya.
—Andika Budiman,
dengan tulisan reportase peluncuran buku yang harusnya sudah ia selesaikan akhir bulan lalu.
Buku Nick Drake: Sebuah Biografi (Patrick Humphries, Penerbit Jungkir Balik, 2017, tebal 426 halaman) bisa didapatkan seharga Rp 100.000,- di Kineruku.