Please select a page for the Contact Slideout in Theme Options > Header Options

Rumah Kecil nan Memikat

Rumah Kecil nan Memikat
01/09/2009

Rumah Kecil nan Memikat

Small Houses/Petites Maisons/Keline Hauser
Editor: Simone Schleifer
Penerbit: Evergreen/Taschen, 2005
Halaman: 192 hal.
ISBN: 3-8228-4176-5

Rumah kecil memenuhi kebutuhan manusia akan ruang (tempat) yang dapat dimanfaatkan secara lebih berdaya guna karena sederhana, mudah dipelihara, lebih mudah dibangun, dan berbiaya relatif lebih terjangkau dibandingkan bangunan besar. Di kota yang padat dan lahannya terbatas, rumah kecil bisa menjadi pilihan yang menarik karena memberi solusi bagi persoalan tempat tinggal secara signifikan.

Rumah berukuran kecil bisa kita saksikan di mana-mana. Boleh jadi ia merupakan paviliun yang terpisah dari gedung utama. Gubuk di sawah atau kebun, saung, dangau, juga merupakan contoh rumah berukuran kecil. Di kota-kota, karena berbagai faktor persoalan, muncul “rumah petak,” dan berbagai rumah berukuran kecil. Bahkan kini mulai banyak pengembang yang menawarkan apartemen dengan ukuran ruang boleh dibilang lebih kecil dari biasanya.

Di Indonesia, pilihan rumah kecil berada di tanah nan lapang mengingatkan pada saung yang kerap ada di tengah sawah dan kebun atau rumah penjaga perkebunan, sementara di luar negeri kerap rumah di tempat jauh merupakan tempat istirahat dan berjarak dari kehidupan sehari-hari di kota. Ciri paling khas dari rumah kecil jelas pada kemungilan bentuk, keakraban yang ditawarkan, dan efektivitas ruang yang digunakannya. Persoalan sangat bisa muncul bila kecil malah melahirkan kesan sempit—persoalan yang memang harus pintar-pintar disiasati.

Gagasan mengenai rumah kecil kemungkinan muncul dari kebutuhan manusia akan ruang seperlunya saja. Bila tidak membutuhkan ruang besar, kenapa harus punya rumah berukuran besar? Bila seseorang hanya membutuhkan ruang untuk dirinya sendiri, kenapa harus membangun rumah untuk lima orang? Bila seseorang hanya butuh satu ruang kerja, mestinya dia bisa memanfaatkan semaksimal mungkin keperluan untuk aktivitasnya di sana. Ruang besar besar memang menawarkan rasa lapang, megah, mewah; namun ia pun memberi kesan menakutkan, menguasai, dan butuh energi besar baik untuk memelihara dan mengisinya. Ruang yang kecil sebaliknya; ia jelas lebih mudah dijelajahi, hanya butuh energi secukupnya untuk mengisi dan mengurusnya.
Jadi, persoalannya ialah pilihan.

“Desain rumah minimal dipilih untuk menanggapi berbagai macam persoalan, menyesuaikan antara bentuk dan fungsi terhadap sistem struktural dan keterbatasan teknis,” demikian pengantar buku ini menjelaskan. Buku ini mengambil semangat penemuan microchip dalam teknologi informasi. Chip yang kecil itu mampu menyimpan data begitu banyak, rumah yang kecil pun harusnya tetap bisa nyaman dan efisien, karena berbagai keperluan penghuni sudah tersedia di sana.

Untuk berhasil membangun rumah kecil yang cukup memenuhi standar tempat tinggal memang butuh pemikiran dan upaya ekstra, karena sang arsitek harus pintar mengolah sistem bangunan dasar yang ringan, termasuk kerangka bangunan dan mendapatkan bahan tipis yang kuat agar bangunan mudah didirikan meski di lahan yang sulit dijangkau. Begitu pula unsur lain, misalnya tempat penyimpanan tersembunyi yang efisien, perabot lipat, ventilasi dan sistem pencahayaan.

* * *

Buku Small Houses memuat dua puluh lima proyek rumah hasil rancangan arsitek dari berbagai negara, terutama Eropa dan Amerika Serikat; sisanya dari Australia, Asia (Jepang) dan Amerika Latin (Brasil). Ukuran terkecil rumah itu ialah 355 kaki persegi, sementara yang terbesar 2044 kaki persegi. Rentang luas bangunan ini menimbulkan pertanyaan, sebenarnya berapa meter sebuah bangunan bisa masuk kategori kecil? Yang jelas, persamaannya ialah bangunan tersebut cukup sederhana, memaksimalkan segala kemungkinan ruang dan bangunan, sementara untuk penyimpanan—misalnya gudang—ditiadakan. Yang menonjol ialah simplisitas dan minimalitas. Hal-hal yang dinilai sia-sia (tak diperlukan) ditinggalkan. Baik arsitek dan penghuni mesti sejak awal menimbang dengan persis, untuk apa bangunan itu ada, dengan begitu mereka bisa dengan akurat pula memperhitungkan segala keperluan.

Lokasi bangunan bisa di mana saja: ada yang di tengah kota, pinggir kota, kaki bukit, pinggir hutan, tengah perkebunan, puncak gunung, persis di tepi sungai (kanal saluran air), maupun di bibir tebing pantai. Arsitek menghadapi berbagai macam tantangan, sesuai masing-masing peruntukan bangunan tersebut. Tantangan bisa berupa lahan yang cukup sempit, tanah berundak-undak, teknik memaksimalkan manfaat ruang yang terbatas, dan yang paling standar ialah mengantisipasi agar ruang tersebut tak terkesan menjadi sempit maupun membuat penghuninya merasa tersekap. Hasilnya mayoritas merupakan bangunan independen (berdiri sendiri), tapi ada juga yang merupakan sambungan dari bangunan utama.

Peruntukan bangunan tersebut juga lain-lain, sesuai kebutuhan pemilik. Sebagian besar bangunan itu merupakan tempat rumah tinggal—mayoritas untuk lajang atau pasangan tanpa anak. Namun ada juga rumah yang dihuni keluarga berempat orang (Rumah Stein-Fleischmann), berfungsi sebagai studio maupun kantor (Studio 3773), rumah-kantor (Rumah Kecil), maupun istirahat (Rumah Liburan di Furx) yang hanya didatangi kala berlibur.

Demi mengutamakan kesederhanaan, bentuk bangunan hampir semua persegi panjang atau kubus (kotak), dengan atap dirancang seefektif mungkin. Sedangkan untuk mempertahankan kesan lapang, penyekatan ruang oleh dinding dihindari. Dengan memaksimalkan bahan bangunan, efektivitas, dan penggunaan ruang, hasil rancangan bangunan benar-benar memperlihatkan upaya bahwa tempat kecil pun bisa tetap asyik dan nyaman untuk dihuni/digunakan. Di beberapa rumah, tempat penyimpanan seperti rak dan laci dirancang tersembunyi sehingga tak menyita ruang sama sekali.

Beberapa rancangan menghasilkan bangunan kecil di luar dugaan. Misalnya Black Box karya Andreas Henrikson, Swedia. Dia mendapat inspirasi dari kotak pesulap yang bisa berisi banyak hal mengejutkan. Black Box merupakan bangunan dua lantai yang fleksibel dipindah-pindah karena gampang dibongkar-pasang. Atapnya menggunakan tutup dari lapisan karet berkualitas tinggi yang melindungi rumah dari air (hujan dan embun) dan perubahan cuaca; sementara bagian depan (pintu) dilengkapi dengan kanopi yang bisa ditutup-buka, sehingga berfungsi baik sebagai teras bila dibuka dan aksen bangunan bila tertutup. Tree House karya Dawson Brown (Australia) juga mampu mencuri perhatian karena persis mengingatkan orang pada rumah pohon yang kerap dibangun sebagai tempat bermain maupun istirahat; hanya saja Tree House berdiri persis di tebing pantai, sehingga harus disangga oleh silang kayu yang kukuh. Hasilnya rumah itu jadi mirip sarang burung yang nyaman dihuni, tempat penghuninya bisa menikmati laut dan hutan yang mengelilinginya. Dry Design (Amerika Serikat), perancang Studio 3773 menghasilkan semacam kotak berisi tempat tidur yang menggantung dari atap, menggantikan peran langit-langit, berada persis di atas ruang kerja.

Yang agak kontradiktif dengan gagasan “rumah kecil” itu sendiri ialah ternyata hampir semua bangunan tersebut terdiri dari dua lantai, bahkan tiga lantai (termasuk ground floor); hanya beberapa yang satu lantai. Ini menunjukkan bahwa seorang penghuni pun pada dasarnya membutuhkan ruang yang cukup lapang untuk berbagai keperluan hidupnya, terlebih-lebih bila bangunan tersebut merupakan satu-satunya tempat tinggal, bukan tempat pelarian bila bosan dari tempat utama. Ia butuh lebih dari satu lantai untuk seluruh kegiatan dirinya. Selain itu, banyak sekali bangunan tersebut ternyata berdiri di lahan yang sangat lapang, baik dengan halaman/pekarangan luas, atau berada di lahan yang nyaris kosong. Beberapa memang berada di lahan terbatas, bahkan salah satunya di gang (Rumah di Senzoku, Tokyo.) Luas lahan tersebut seakan-akan memberi kesan boleh saja bangunan utama kecil, asal secara keseluruhan tempatnya lapang dan memberi kebebasan ruang.

Sampai di situ, sebenarnya “rumah kecil” tetap sulit memenuhi idealitas terhadap efektivitas ruang; manusia masih membutuhkan banyak ruang untuk berbagai hal. Namun kelebihannya, dalam mewujudkan proyek tersebut para arsitek sungguh-sungguh berusaha dalam menghasilkan rumah kecil yang bukan saja efektif-efisien, melainkan juga “cerdas”, misalnya dalan hal pemilihan bahan, bahan siap pakai, mudah dibongkar pasang, agar bangunan mudah didirikan di tempat yang sukar dijangkau maupun terpencil.

* * *

Berbeda dengan fenomena di negara berkembang seperti Indonesia ketika rumah kecil jadi pilihan karena alasan kekurangan biaya maupun keterbatasan lahan, sehingga hasilnya pun kerap berupa Rumah Sangat Sederhana yang kurang nyaman dihuni; di negara-negara maju rumah kecil menjadi pilihan karena alasan personal (privat), mobilitas, dan memaksimalkan ruang, sehingga biaya bukan merupakan faktor yang terlalu berpengaruh untuk mendapatkan rumah kecil yang benar-benar cantik sekaligus kukuh dan memenuhi standar hunian tingkat tinggi.

Di sinilah poin perbedaan “rumah kecil” di Indonesia, terutama yang ada di perkotaan padat. Betapa rumah kecil menjadi pilihan lebih karena persoalan ekonomi yang sulit dipecahkan. Meski kebutuhan dasar akan tempat tinggal terpenuhi, pengorbanannya cukup besar, misalnya mengabaikan faktor kenyamanan, kelayakan, bahkan pilihan bahan-bahannya pun kerap berkualitas rendah. Di sini, sering kita saksikan rumah petak ataupun penambahan pada bangunan kecil lain yang didirikan secara menyedihkan dan asal-asalan, bahkan tanpa pertimbangan estetika. Munculnya konsep rumah kecil yang dirancang secara maksimal dan memikat seperti dalam buku ini sangat mungkin mampu memberi inspirasi untuk mengembangkan dan memicu pemikiran serupa, terlebih mendapatkan solusi bagi rumah kecil yang pantas dihuni, dibangun dengan standar bangunan yang memenuhi syarat.

[Anwar Holid, penyunting freelance, mantan home partner Habitat untuk Kemanusiaan Bandung]

 

Comments (0)

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Subscribe