Please select a page for the Contact Slideout in Theme Options > Header Options

Keep Your Hand Moving: Tanyakan. Sekarang.

Keep Your Hand Moving: Tanyakan. Sekarang.
12/01/2011

Seorang kawan saya yang berprofesi sebagai musisi, pernah bilang begini, “Di dalam ‘garis’ kerjaan kreatif, kayaknya yang paling nggak perlu modal adalah bagian elo ya Prim? Kan cuma perlu kertas?”

Saya tertawa. Konteks obrolan itu memang bercanda tapi serius, serius tapi bercanda. Tergantung dari apa yang dimaksud sebagai ‘modal’, ucapan kawan saya itu sebagian ada benarnya. Modal penulis, bisa jadi memang ‘minimalis’. Katakanlah kita perlu alat tulis-menulis, secanggih-canggihnya mungkin komputer atau notebook terkini, plus perangkat lunak penulisan dan mungkin sebuah printer. Juga akses internet, jangan lupa! Ini untuk kepentingan riset, atau dalam kondisi jenuh difungsikan untuk berjejaring sosial atau main games. Dan bagi saya, salah satu modal terpenting dan tersulit untuk diperoleh seorang penulis profesional adalah sosok penyunting/editor yang bisa membuat tulisan si penulis memenuhi standar kelayakan. Silakan tidak setuju asalkan Anda membaca dulu ulasan ini.

Keluhan soal kurangnya penulis jamak dilantunkan oleh penerbit, pengelola media, dan pelaku industri kreatif beragam lini (periklanan, perfilman). Beberapa ‘oknum kreatif’ yakin, biang keladi kurangnya jumlah penulis adalah akibat dari sistem. Maksudnya? Teman saya yang sudah bertahun-tahun bekerja di sebuah perusahaan iklan (advertising agency) mengaku jauh lebih mudah menemukan art director ketimbang penulis naskah. “Untuk cari art director, gue bisa kontak sejumlah jurusan desain grafis. Kalau cari copywriter, gue asli nggak tahu harus ke mana,” demikian pengakuan kawan saya itu. Sementara, William Saroyan bahkan pernah mengatakan tak ada pekerjaan lain yang lebih sulit di dunia ini dibanding menjadi pemburu/penakluk buaya, atau menjadi penulis.

Sedemikian sulitnya kah jalan untuk mencari atau menjadi penulis? Pertanyaan inilah yang akan mengantar kita menuju ulasan buku karya editor dan penulis Anwar Holid, Keep Your Hand Moving: Panduan Menulis, Mengedit, dan Memolesnya (Gramedia Pustaka Utama, 2010).

Ketika Anwar Meyakini Natalie dan Menafikan Ilham
Menarik ketika kita dengan segera bisa melihat pilihan sudut pandang penulisan Anwar Holid untuk menyampaikan pesan dan isian Keep Your Hand Moving. Tampaknya, ia lebih melihat profesi penulis dari sudut pandang seorang penyunting/editor. Dan mungkin justru inilah salah satu kekuatan buku ini. Anwar tak merasa perlu untuk membagi pengalamannya selaku penulis dengan gaya a la ‘seniman’ jaman baheula yang kerap super dramatis dan ‘berdarah-darah’. Karena ia berbicara di dalam konteks dan zaman yang berbeda, di mana penulis bisa dilihat sebagai (pilihan) profesi. Dan setiap profesi tentunya punya kriteria. Di bagian pengantar (h. XIX) Anwar berkata, “Saya cukup percaya bahwa menulis berawal dari kebiasaan yang diteguhkan lewat disiplin.” Perhatikan bagaimana Anwar menyandingkan kata ‘kebiasaan’ dengan kata ‘disiplin’. Bagi dia, menulis sesekali atau mengharapkan bantuan ‘ilham’ bukanlah cara yang bisa dianjurkan bagi siapapun yang ingin menjadi penulis (profesional). Soal ini ditekannya lagi di bagian lain dengan mengutip Mike Price, “Lebih banyak orang yang memiliki bakat daripada disiplin. Itu sebabnya disiplin dibayar lebih tinggi.” (h. 55).

Masih di bagian awal, Anwar juga menjelaskan alasan pemilihan judul untuk bukunya itu,”Saya berpegang bahwa awal menulis bisa dipicu oleh adagium ‘keep your hand moving‘ dari Natalie Goldberg.” Di luar fakta bahwa sayapun sepakat dengan Natalie Goldberg, sebetulnya saya menyayangkan penggunaan adagium ini sebagai judul buku yang ditulis oleh Anwar Holid. Kenapa? Karena nama Anwar Holid sudah dikenal sebagai editor dan juga penulis yang serius. Dia lebih dari sekadar mampu untuk menorehkan judul yang tak kalah ‘greget’ dalam versinya sendiri. Selain itu, saya sedikit kecewa dengan penggunaan bahasa Inggris untuk sebuah buku yang membicarakan penulisan di Indonesia. Intinya, saya yakin siapapun yang berniat membeli dan mempelajari buku ini sebetulnya ingin mengorek ‘isi kepala’ Kang Anwar, bukan Ceu Natalie. Namun setidaknya kekecewaan saya terbayar dengan kejelasan sikap Anwar ketika ia menunjukkan muara permasalahan penulisan di Indonesia saat ini, dengan berpendapat “bahwa persoalan terbesar menulis adalah proses editing (penyuntingan).” (h. xxii)

Anwar benar. Bila mencari penulis sudah cukup sulit, maka mencari editor jauh lebih sulit lagi. Seperti yang disebut Anwar di bagian awal bukunya, masih banyak sekali penulis yang tak memahami kaidah EYD, misalnya. Atau yang lebih memprihatinkan lagi, masih terlalu banyak penulis yang belum tahu pentingnya peran editor dalam meningkatkan kualitas tulisannya. Ringkasnya, melalui Keep Your Hand Moving, Anwar Holid juga memperkenalkan fungsi penyuntingan serta mengajak para penulis untuk bisa menjalankan (sebagian) fungsi tersebut bagi tulisan mereka.

Menulis dan Membaca di ‘Luar’ Teks, Panggilan Konteks
Kemewahan Anwar selaku editor tampak pada pemahamannya akan persoalan yang ada. Anwar mengerti benar perlunya seorang penulis untuk bisa memahami serta mengatasi masalah umum yang kerap dihadapinya selama ini. Ia juga yakin soal perlunya si penulis untuk ‘diingatkan’ mengenai penempatan karya tulisnya di media yang bisa diakses massa. Dan ketika seorang penulis mengirimkan karyanya ke media, tulisannya akan dinilai kelayakan terbitnya oleh seorang editor.

Kekuatan Keep Your Hand Moving antara lain terlihat dari pembabakan isi buku ke dalam delapan bab secara efektif dan komprehensif. Bab-bab itu mengombinasikan aspek-aspek teknis, non teknis serta menggabungkan pengalaman pribadi penulis, juga sesekali memasukkan kutipan dari sumber-sumber bacaan yang relevan.

Ketika membahas soal beberapa pendekatan dalam menulis, Anwar dengan lugas menekankan soal pentingnya membaca yang menurut Anwar bukan lagi terbatas pada teks tapi juga mencakup, “proses memahami dan menafsir sesuatu yang ranahnya lebih luas,” (h. 3). Membaca bagian ini, seharusnya pembaca bisa mengerti ‘pesan tersirat’ dari kalimat Anwar Holid yang mengimplikasikan bahwa untuk memahami apa yang dibaca, seseorang perlu punya bekal memadai. Bagi saya, pemikiran ini perlu digaris-bawahi. Karena memang signifikan di dalam konteks sekarang. Beberapa waktu lalu kita dikagetkan oleh pernyataan ketua DPR, Marzuki Ali yang mengutip ucapan Bung Hatta, “Bila tak ingin diterjang ombak, janganlah berumah di tepi pantai.” Sang proklamator saat itu menyindir pihak oposisi yang menyatakan tak suka dikritik. Sementara ‘adaptasi’ versi Marzuki Ali, “Bila tak ingin diterjang tsunami, janganlah berumah di tepi pantai.” Marzuki mengomentari para korban peristiwa tsunami di Mentawai. Bila versi Bung Hatta jelas menyiratkan sindiran yang halus tapi ‘kena’, versi Marzuki Ali justru memeragakan kepandiran yang komplit akibat kenekatannya untuk keluar jauh dari konteks. Selain itu, Marzuki juga mengonfirmasi (salah satu) kegagalannya, kali ini dalam memahami metafora. Padahal untuk tahu apa yang pernah diucapkan Bung Hatta, pastilah ketua DPR kita itu membaca. Jadi, apa boleh buat, membaca pun perlu ‘latihan’ asah logika.

Bagian Keep Your Hand Moving yang bisa diteruskan untuk menjadi bahan diskusi adalah ketika Anwar memaparkan beberapa pilihan sikap seorang penulis (h. 6-7). “Ada penulis yang memilih berjarak dengan yang ditulisnya. Dia tidak memihak.” Sementara Anwar juga berpendapat di bagian berikutnya, “Ada penulis yang berpihak pada kebenaran.” Terus terang saya pribadi sulit memercayai adanya ‘kenetralan’ dalam setiap karya kreatif/seni. Apapun bentuk karya itu. Setiap foto biasanya akan memerlihatkan keberpihakan sang fotografernya, demikian pula setiap tulisan, dll. Bukankah penyikapan justru berfungsi sebagai salah satu dorongan bagi pekerja kreatif/seni? Karena itu, sekali lagi, bagian ini menurut saya sangat menarik untuk didiskusikan secara terbuka.

Menulis. Kenapa? Untuk Siapa?
Saya memberikan acungan jempol pada pernyataan Anwar soal perlunya bersikap lentur pada norma bahasa (h. 105). Pernyataan ini seharusnya bisa semakin meyakinkan kita soal penggunaan bahasa sebagai alat penyampaian gagasan yang bisa terus disesuaikan dari waktu ke waktu.

Bagian lain yang tak kalah penting adalah soal memilah tulisan, antara tulisan bagi kepentingan pribadi dengan tulisan untuk orang lain (h. 113-119). Bagian yang terangkum di dalam Bab 07 ini kembali bisa membuka ruang diskusi yang menyoal antara adanya dorongan/kebutuhan untuk menulis (kenapa seseorang harus menulis), dan percakapan yang mempertanyakan untuk siapa seseorang menulis. Sebagian ada yang memercayai seorang penulis seharusnya menulis untuk dirinya sendiri, sebagian lainnya berbeda pendapat. Bagian yang dari pembahasan soal ini yang menarik untuk disimak adalah soal pentingnya memiliki motivasi yang jujur dan juga sikap/mental penulis saat tulisannya ditolak oleh penerbit. Bila dilihat secara menyeluruh, maka ada titik diskusi lain lagi yang bisa kita temukan di sini, yakni percakapan soal apa yang sebetulnya bisa disebut sebagai faktor penentu (determining factor) yang membuat seseorang tak bisa tidak, harus menulis. Jawabannya mungkin sekali bisa berbeda bagi setiap penulis, namun barangkali tetap perlu ditanyakan jauh sebelum seseorang sampai pada keputusannya untuk menjadi penulis. Hal ini pernah diajukan oleh Rainer Maria Rilke di dalam bukunya, Letters to A Young Poet. Di salah satu suratnya di dalam buku itu Rilke menganjurkan si penulis muda untuk bertanya-bila si penulis terjaga dari tidurnya di kegelapan malam hari, “Must I write?” Karena bila jawabannya adalah “Ya!”, itulah pertanda si penulis muda memang ditakdirkan untuk menulis.

Keep Your Hand Moving patut dijadikan salah satu dari sedikit acuan yang ada bagi penulis maupun calon penulis Indonesia. Karena bahasa tulis, seperti yang diamini Anwar Holid, adalah keterampilan yang bisa dipelajari. Cara penyampaian buku ini lugas, pragmatis, dan komprehensif. Penekanannya pada pentingnya proses membuatnya layak menjadi bacaan wajib bagi siapapun yang peduli seluk beluk dunia penulisan. Lebih wajib lagi bagi mereka yang sudah bertanya pada diri sendiri, apakah sungguh-sungguh berniat menjadi penulis. Dan jika jawabannya adalah “Ya!”, maka tanyakan ada tidaknya buku ini di tempat terdekat. Tanyakan. Sekarang.

[Prima Rusdi]

Keep Your Hand Moving:
Panduan Menulis, Mengedit, dan Memolesnya
Anwar Holid, 2010
Gramedia Pustaka Utama, 131 hal. + xii

Buku Keep Your Hand Moving bisa didapatkan di Kineruku.

Comments (0)

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Subscribe