Luc and Jean-Pierre Dardenne, Belgium, 1999. Color, 95 min, French with English subtitle.
Dibuka dengan adegan menghentak, seorang gadis muda mengamuk di sebuah pabrik ketika mendapati dirinya diberhentikan dari pekerjaanya, Rosetta adalah sinema minimalis tentang perjuangan berat menghadapi hidup yang tak mudah dan dunia yang tak ramah. Terusir dari tempat kerjanya, keadaan tidak menjadi lebih baik ketika Rosetta pulang dan mendapati ibunya, seorang pemabuk kambuhan sedang bermain gila dengan pria yang menyewakan rumah trailer untuk mereka. Hidup sudah sangat memuakkan bagi Rosetta, dan satu-satunya jalan keluar adalah dengan mendapatkan pekerjaan yang layak. Namun pekerjaan itu pun tak kunjung datang. Gerakan kamera hand-held yang mengikuti Rosetta sepanjang film dengan efisien menangkap kegelisahan dan kekalutannya menghadapi penolakan demi penolakan.
Yang menakjubkan dari film ini adalah minimnya dialog, yang justru mampu bercerita secara subtil hanya dengan menggunakan kekuatan gambar—sebuah seni yang nyaris punah di dunia sinema saat ini. Keputusan berani sutradara untuk selalu memakai close-up shot kian menegaskan kekuatan film ini: wajah Rosetta menjadi begitu “telanjang” dan transparan, hingga kita dapat merasakan kecamuk di dalam benak dan batinnya—sebuah paradoks untuk film yang sangat pelit akan informasi tentang tokoh utamanya. Transfer emosi yang kurang lebih sama ketika kita menatap wajah Renée Marie Falconetti di film La Passion de Jeanne d’Arc (1928), sebuah film bisu klasik karya Carl Theodor Dreyer. Mencengangkan sekaligus mengharukan.
Latar belakang film dokumenter dari Dardenne bersaudara memberikan sentuhan unik pada karya film fiksi kedua mereka ini (debut film fiksi mereka, La Promesse di tahun 1996, juga merupakan sebuah potret menyentuh tentang masa muda). Penonton kerap disuguhkan momen-momen “kecil” yang sebenarnya tidak menyokong perkembangan plot sama sekali (jika plot itu memang ada). Seperti ketika Rosetta berusaha meredakan rasa sakit kram perut akibat menstruasi dengan memakai alat pengering rambut, atau “ritual” misteriusnya tiap pulang kerja: memancing di sebuah telaga di tengah hutan. Metode yang mengingatkan kita pada spirit gerakan neorealisme di akhir era 1940-an, sebuah gerakan yang berikrar untuk memotret kehidupan sejujur-jujurnya sebagai lawan dari kecenderungan sinema saat itu, atau bahkan hingga saat ini: eskapisme. Kejujuran ini diganjar dengan anugerah tertinggi Palem Emas di Cannes Film Festival tahun 1999, sekaligus aktris terbaik bagi Emilie Dequenne, yang masih berumur 18 tahun ketika memerankan karakter Rosetta. [Tumpal Tampubolon]