Ingatan, dan Rasa Kehilangan Yang Abadi
“Do you mind telling me where you’re headed, Trav?
What’s out there? There’s nothing out there.”
—Walt (Dean Stockwell) kepada Travis (Harry Dean Stanton)
di film Paris, Texas (Wim Wenders, 1984)
Padang gersang, di sepenggal waktu yang tidak terlampau jelas. Seorang pria dengan setelan lusuh, sepatu kisut, topi bisbol warna merah, berjalan melintasi sengatan matahari. Cambangnya kusut masai, langkahnya ringkih, terayun dalam irama tak pasti. Dari atas bebatuan kusam, berlatar belakang langit biru terang nan luas, seekor burung pemangsa menatapnya tajam, mungkin menanti kematiannya. Letih dan dahaga menyergap tak terperi, namun di atas segalanya, rasa kehilanganlah yang paling kentara: mata pria itu cekung dan menerawang. Di film Paris, Texas (1984), si pejalan kaki yang linglung itu bernama Travis, dan memang ada yang hilang dari hidupnya. Tapi dia tidak ingat apa itu. Dia terus melangkah dan melangkah, tanpa tahu ke mana dan mengapa.
Di menit-menit berikutnya, kita kemudian tahu, Travis ternyata memiliki anak dan istri, dan saudara laki-laki bernama Walt. Sesuatu yang buruk telah terjadi di masa silam, hingga Travis harus kehilangan mereka semua. Dan sebaliknya, mereka juga kehilangan dia. Travis raib tanpa kabar, dan orang-orang menyangkanya sudah mati. Tapi beberapa tahun kemudian dia muncul kembali: dari padang antah berantah, berbaju kumal, dengan ingatan payah dan mulut terkunci. Di salah satu gurun itulah Travis jatuh pingsan karena kelelahan, dirawat oleh dokter, dan Walt datang menjemputnya.
Cerita kemudian bergulir bukan pada kisah orang hilang, namun lebih pada perasaan kehilangan itu sendiri. Di sepanjang film penonton disuguhi upaya keras seorang ayah sekaligus suami melawan amnesia, mencari-cari kepingan masa lalu yang tercecer, menyusun ulang sembari berharap bisa kembali utuh seperti semula. Hunter, putranya yang masih bocah, ternyata dibesarkan oleh Walt dan pasangannya di kota Los Angeles selama dia menghilang. Sementara Jane, sang istri tercinta, tak jelas kabarnya. Layaknya perasaan kehilangan pada umumnya, selalu ada yang sulit kembali. Perlahan Travis mulai bersedia membuka mulut, dan memorinya berangsur-angsur pulih. Dengan segala keterbatasannya, susah payah dia terus mencoba. Maka film Paris, Texas, yang mengalir khidmat seperti air sungai yang tenang, lebih terfokus pada jalinan plot yang simpel, skenario lurus, dan karena itu justru mengharukan di sana-sini.
Tampak pada satu adegan, Travis bercukur rapi, membeli baju dan memakai sepatu yang pantas, lalu menjemput anaknya di gerbang sekolah. Dia peragakan aksi-aksi konyol demi merebut kembali hati Hunter yang awalnya tak bisa menerima kedatangannya. Setelah hubungan ayah dan anak mulai menghangat, mereka berdua sepakat melintasi perbatasan kota, mencari sang ibu. Rupanya Jane selalu mengirim uang untuk Hunter pada tanggal tertentu tiap bulannya dari sebuah rekening bank di Houston. Untuk melacaknya, Travis pun membeli sebuah truk tua. Maka dimulailah misi mulia itu, perjalanan mencari sesuatu yang di hilang di masa lalu.
Wim Wenders, sutradara kenamaan Jerman, terkenal piawai mengolah hal-hal melankolis menjadi sesuatu yang menggetarkan. Hampir semua karyanya kental dengan tema-tema seputar kesepian, perasaan tersisihkan, dan serangkaian perjalanan mencari sesuatu. Dengan kata lain: alienasi. Tiga karya Wenders sebelumnya, acapkali disebut “road movies trilogy“, jelas-jelas berkisah tentang hal itu. Alice in the Cities (1974) bercerita tentang seorang wartawan Jerman yang merasa kehilangan spiritualitas saat berkeliling Amerika mengendarai mobil sendirian, dan berusaha keras mencari inspirasi untuk menyelesaikan tulisannya. Wrong Move (1975) mengisahkan seorang pria payah berangan-angan menjadi seorang penulis, yang bertemu atlet veteran Olimpiade dalam sebuah perjalanan kereta api menuju Bonn. Kings of the Road (1976) mengangkat perihal tukang reparasi proyektor keliling yang mendatangi bioskop-bioskop tua, dan akhirnya bertemu pria muda yang depresi akibat perkawinannya yang baru saja hancur. Apapun itu, semuanya selalu tentang orang-orang terpinggirkan, tersisihkan karena satu keadaan, dan karenanya selalu merasa ada yang kurang atau hilang dalam hidup mereka.
Sementara film Paris, Texas—bisa dibilang salah satu karya terbaik Wenders—jelas sebuah road movie tentang kesepian (adakah yang lebih sepi ketimbang kehilangan ingatan?) dengan latar tempat yang sangat khas Amerika (lanskap padang gersang Texas lengkap dengan segala mitologi Western-nya), yang justru digarap dengan gaya estetika Eropa. Wenders lahir dan tumbuh besar pada masa di mana Jerman (dan dunia pada umumnya) mulai dilanda Amerikanisasi, dan itu diakuinya sangat mempengaruhi karya-karyanya. Pergulatannya atas pengaruh tersebut, bercampur latar belakang Jerman pada diri Wenders, juga pengalamannya belajar melukis di Prancis, memberikan sentuhan visual unik pada interpretasi cerita berlatar Amerika. Inilah kenapa lanskap-lanskap Amerika yang harusnya familiar di mata penonton, menjelma sebagai ranah yang sedikit asing. Penonton pun menjadi kurang lebih “senasib” dengan Travis.
Seluruh elemen pendukung film bergerak serentak mendukung tema. Wenders memilih menggunakan banyak established shot, sebuah langkah jitu untuk menggambarkan plot yang memang mengalir perlahan, dan karakter-karakter murung yang teralienasi di dalamnya. Tak salah Wenders mempercayakan urusan sinematografi pada Robby Müller, partner abadinya. Dengan cerdik, Müller memilih warna-warna merah dan hijau mendominasi layar, menghadirkan nuansa tersendiri pada lanskap kota yang muram dalam kadar yang aneh. Suasana ngelangut, tenang dan sepi, juga merayapi penonton ketika warna coklat kusam padang bebatuan dikontraskan dengan warna langit yang biru cerah. Dan sosok Travis tampak kecil nun jauh di tengah sana: begitu rentan, bersedih dalam porsi yang susah dijelaskan. Perhatikan juga adegan ketika Travis berpindah tempat, dari padang gersang Texas menuju kota Los Angeles, lalu ke Houston. Meski dipenuhi billboard dan cahaya neon warna-warni, pemandangan kedua kota modern itu tetap tampak kosong dan sunyi, tak jauh berbeda dengan gurun-gurun gersang berwarna kusam tadi. Musik latar yang digarap Ry Cooder pun mengalun syahdu, terasa sangat lebur menyatu. Teknik slide-guitar Cooder yang menyayat-nyayat, meneriakkan nada-nada kesepian—tema paling tua musik blues—makin menegaskan kehampaan dan kegundahan Travis.
Kisah seputar kehilangan dan pencarian, jika tidak ditangani secara tepat, berpotensi jatuh menjadi cerita yang luar biasa klise. Wenders tahu betul cara menghindarkannya: ketimbang cerewet dengan kata-kata, dia lebih banyak “berbicara” melalui bahasa gambar yang kuat dan menghipnotis. Sam Shepard, penulis skenario berkebangsaan Amerika, berhasil menciptakan dialog-dialog natural dan simpel, yang justru mengiris dalam kadar yang tepat. Kata-kata yang dia tulis untuk setiap karakter sangat jauh dari bumbu-bumbu kesedihan yang berlebihan. Namun kesederhanaan itulah yang kemudian membuat narasi film ini terasa menggetarkan. Semuanya dituturkan dalam nada rendah, tanpa tanda seru. Ketika Hunter “memamerkan” pengetahuannya pada sang ayah tentang proses terjadinya alam semesta dan terbentuknya bintang-bintang, tiba-tiba terlontar satu pertanyaan polos dan sederhana, “Ayah, kenapa ibu meninggalkan kita?” Travis pun termangu: baginya, pertanyaan itu jelas butuh jawaban yang tidak sederhana. Sama tidak sederhananya dengan rasa kehilangan itu sendiri.
Selalu ada sesuatu yang sentimentil dalam meratapi dan mencari kembali masa lampau yang hilang. Keraguan kerap singgah di tengah upaya pencarian itu. Tergambar jelas pada satu adegan paling krusial di film ini: saat mendapati Jane, berbaju merah menyala, kini berprofesi sebagai wanita penghibur di balik kaca cermin satu arah dan bilik telepon yang sempit, Travis berusaha tegar. Toh dia tak kuasa menatap istrinya sendiri, bahkan dari balik kaca sekalipun, dan dia pun memilih posisi membelakangi ketika harus berbagi cerita tentang masa lalu, termasuk membuat pengakuan siapa dirinya. Air mata tumpah. Ada kerapuhan yang tersamar, ada kebimbangan menyelinap diam-diam. Kaca tersebut seolah menegaskan adanya batas tak terelakkan: antara dua orang yang dulu pernah sangat dekat; antara masa lalu dan masa sekarang. Melalui salah satu adegan monolog paling penting sepanjang sejarah sinema dunia ini, penonton seperti ditunjukkan betapa manusia memang sering terombang-ambing antara keinginan meninggalkan suatu tempat dan rasa rindu untuk kembali.
Di penghujung cerita, Travis menyaksikan dari kejauhan, anaknya bertemu dan berpelukan dengan sang ibu. Dengan perasaan yang sulit diterjemahkan, Travis pun beranjak pergi. Adakah dia kembali melanjutkan perjalanan, mencari sesuatu yang belum pasti dia dapati? Kita tidak tahu. Pada akhirnya, di setiap kehilangan yang terjadi, selalu ada yang tidak seutuhnya kembali. Seperti halnya rasa kehilangan itu sendiri, film Paris, Texas ini pun abadi. [Budi Warsito]