Dibuat pada tahun 1986, film dengan durasi 103 menit ini melaju dengan penggunaan kamera yang demikian efektif. Bahasa gambarnya mampu berbicara kuat tentang perasaan dan pergolakan seorang ibu dari sebuah keluarga besar. Kemampuan akting yang luar biasa dari pemainnya mendukung usaha Teguh Karya memvisualkan segala bahasa lisan dari skenario yang ditulisnya.
Ibunda, bercerita tentang Ibu Rakhim (selanjutnya kita sebut Ibu saja), diperankan dengan sangat bagus oleh Tuti Indra Malaon, yang berusaha keras merengkuh dan menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi anak-anaknya. Dari anaknya yang menjadi artis tapi lupa dengan anak istri, anaknya yang berpacaran dengan lelaki Irian, bahkan hingga cucunya yang mabuk-mabukan karena lari dari masalah. Dari plot besar inilah kemudian mengalir plot-plot kecil yang lain.
Ibu dalam Satu Frame
Dalam film ini figur ibu (dalam hal ini merujuk pada Ibu Rakhim) banyak ditempatkan dalam satu frame sendiri dan tunggal. Dalam visual yang demikian penonton dengan cermat diajak untuk melihat berbagai ekspresi Ibu dalam segala hal. Dimulai ketika adegan film ini dibuka: Ibu justru tidak ditunjukkan berada dalam frame pertengkaran Farida (Niniek L. Karim) dan Fitri (Ria Irawan) yang terjadi karena ketidaksetujuan Farida terhadap Fitri yang berpacaran dengan seorang lelaki Irian. Gambar bergerak berganti-ganti (cut to cut) dari adegan Farida-Fitri-Fahri ke Ibu yang hanya mendengar. Ekspresi wajah dan bahasa tubuh dalam hal ini begitu penting. Turun naik napas Ibu, gerak mata, atau juga bibir Ibu, menjadi sedemikian penting. Atas hal ini pulalah kamera dengan tepat mengambil wajah Ibu secara dekat (close up).
Adegan lain dalam film, menempatkan Ibu dalam satu frame khusus yang berhadap-hadapan (seolah) langsung dengan penonton. Gambar semacam ini dengan jelas dapat dilihat ketika Ibu memberi nasihat kepada anak-anaknya. Mulai kepada Farida bahwa Ibu tidak bermasalah dengan persoalan pacar Fitri yang dari Irian, atau menasihati Gatot (suami Farida) karena sering memaksakan kehendaknya kepada orang lain termasuk pada anaknya. Dengan pengambilan gambar yang berada dalam satu frame sendiri dan close up, Ibu tidak saja berbicara dengan lawan mainnya tetapi juga dengan penonton.
Sebuah adegan penting yang mampu menunjukkan bahwa tidak saja visual mampu berbicara banyak dalam film ini adalah saat Fikar (Alex Komang) akhirnya pulang ke rumah Ibu dengan istrinya (Ayu Azhari). Adegan Ibu mengambil anak Fikar dari gendongan istri Fikar, lalu mendekapnya diam, dan lantas duduk tidak diikuti dengan dialog apapun. Mereka yang berada di ruang itu Ibu, Fikar dan istrinya diam. Adegan ini dengan sangat efektif menggambarkan perasaan Ibu yang bingung, gundah dan galau, meskipun kebahagiaan terselip di dinding-dinding matanya.
Selain sangat efektif, adegan ini mampu mengambil alih semua plot-plot kecil dalam sekali rengkuh. Paduan yang menakjubkan dari kepiawaian kamera mengambil titik penting gambar dan akting para pemainnya. Perasaan Ibu tidak perlu diceritakan dengan dialog, bahkan satu kata pun akan sangat mahal dalam adegan ini. Layar seperti ini bertahan hingga lebih dari sepuluh detik, usaha khusus untuk menancapkannya pada ingatan penonton. Sekali lagi Teguh Karya dengan sangat brillian memilih untuk membuat adegan saja yang berbicara.
Kemampuan membuat tekanan juga diperlihatkannya dalam mengolah pengambilan gambar. Kamera sebagian besar selalu diarahkan untuk mengambil gambar dalam jangkauan medium shot, selain itu hanya close up dalam dialog. Hanya pada adegan terakhir, gambar diambil dengan long shot, yakni sebuah adegan yang mengambil klimaks dari film ini. Sebuah klimaks yang tidak diselesaikan dengan terburu-buru. Seperti jalinan waktu yang mengalir dalam sebuah keluarga, penyelesaian persoalan dalam keluarga tersebut seolah dibiarkan selesai oleh waktu. Di dalam perjalanan waktu inilah penonton disuguhi tontonan watak dan karakter seorang Ibu.
Film ini ditutup dengan adegan yang sangat sederhana, sebuah acara foto keluarga. Sangat memikat melihat proses keriuhan ketika pengambilan foto dimulai dan diakhiri. Semua berjalan wajar dan normal, seperti jika sebuah keluarga besar hendak berfoto bersama, termasuk sekelebatan adegan kaki terinjak. Peristiwa foto bersama ini tampaknya tidak disia-siakan, pemotretan diakhiri dengan secara bertahap masing-masing anggota keluarga masuk ke dalam rumah dan kembali sibuk dengan pilihan aktivitasnya. Tertinggal Ibu sendiri di halaman rumah dengan sorot pandang mata yang jauh, kamera mengambil gambar ini dengan long shot. Itulah pemandangan yang pantas dinikmati. Suasana indah lalu sepi. Dan Ibunda tetap saja sendiri. Anak-anaknya, pada akhirnya, telah membangun kehidupannya sendiri-sendiri.
Ibunda, Album Keluarga
Sajian film ini dengan jelas memperlihatkan sebuah karakter seorang Ibu dengan budaya Jawa yang sangat kental. Usahanya untuk ngrungkepi (baca: merengkuh) semua hal di dalam keluarga besarnya menjadi sebuah foto keluarga besar dengan aneka rupa. Meski demikian, tetap saja Ibu menginginkan semuanya berada dalam satu ruang bersama-sama, berbagi gembira dan masalah.
Dalam sisi yang lain, perubahan-perubahan tampaknya juga hendak dimunculkan sebagai sebuah benturan baik dalam sikap maupun laku. Sang ibu berusaha menampung pergolakan perubahan tersebut, dan film ini pun menjembatani penjelasan bagaimana perjuangan seorang Ibu untuk menerima apapun kekurangan di dalam diri anak-anaknya: bagian keluarganya. Ibu mencintai keluarganya karena segala kekurangan yang mereka miliki, sehingga Ibu selalu berusaha keras dengan segala cara untuk menambal lubang-lubang itu.
Gambaran perjuangan inilah yang diam-diam disisipkan dalam adegan permainan teater (syuting film) Fikar tentang Ibunda karya Maxim Gorky. Perjuangan seorang Ibu dalam skema yang berbeda hendak ditunjukkan oleh pembuat film sebagai sebuah kualitas yang sama. Di panggung teater, perjuangan tersebut diperlihatkan dengan berdarah-darahnya seorang Ibu yang mencoba menyelamatkan anaknya dari vonis hukuman mati. Wilayah kontekstualitas perjuangan ibu lainnya dapat dilihat dari apa yang dilakukan Ibu Rakhim dalam usahanya menyelamatkan anak-anak dan keluarga besarnya.
Di tangan Teguh Karya, karya Maxim Gorky yang sempat tabu dibaca di Indonesia menjadi tontonan legal. Walaupun hanya berada sebagai satu sisipan, tetapi cerita ini tidak menimbulkan kejanggalan. Selain tidak mematahkan plot utama, cerita di balik cerita ini bahkan menjadi semacam transisi subtil dari satu adegan ke adegan yang lain. Seperti dalam adegan pertengkaran Fikar dengan seorang tante pasangannya, lalu adegan berganti pada adegan pembuatan film yang dimulai dengan sorot cahaya lampu di arena film. Dan adegan yang dibuat adalah adegan kembalinya si anak bertemu dengan Ibu dan istrinya.
Sebagai sebuah film yang sebenarnya mudah ditebak jalan ceritanya, film ini jauh dari membosankan. Seperti menikmati album foto keluarga yang sebenarnya itu-itu saja tetapi tetap saja keinginan menikmati itu harus sampai selesai. Alur ini mengalir dengan sangat baik, lancar, bergerak lurus. Permainan kamera selalu dipenuhi dengan motivasi yang tepat untuk mendapatkan adegan yang tidak sia-sia. Tak mengherankan jika pada FFI 1986, selain sebagai Film Terbaik film ini juga meraih Piala Citra untuk kategori lain yakni Sutradara, Pemeran Utama Wanita, dan Pemeran Pembantu Wanita.
[Sigit Giri Wibowo]
Ibunda (1986)
Sutradara: Teguh Karya
Skenario: Teguh Karya
Pemeran: Tuti Indra Malaon, Alex Komang, Ayu Azhari, Niniek L. Karim, Ria Irawan
Durasi: 103 menit
Newer
<b>Still Loving Youth #2</b>: Types Are Fun
Older
Kineruku Layar Tancep: <b>KidsFfest On Tour 2009</b>
Comments (3)
wah pengen film ini nih, pngen dong, gmna cara dapetnya.,..
iya nih bikin penasaran, info plis
Silakan datang ke Rumah Buku/Kineruku, kami mengoleksi film ini baik untuk disewakan maupun dijual.